Saturday, October 27, 2007

Sampah dari Saya


Berapa banyak sampah yang dihasilkan orang Jakarta setiap harinya? Dari hasil comot sana sini, kami mengira-ngira bahwa setiap hari, setiap orang membuang satu kilogram sampah.
Setelah dikali jumlah orang satu kelas, dikali jumlah hari dalam sebulan dan dikali jumlah bulan dalam setahun, kami menemukan angka yang besar sekali.

Kami pun mulai sadar bahwa sampah yang kami buang ke tempat sampah hari ini, lalu diangkut ke bak sampah di depan sekolah, tidak hilang begitu lenyap dari pandangan. Adam mulai berpikir bahwa suatu hari ia tidak bisa keluar rumah karena semua tempat penuh dengan sampah. Padahal menurutnya, Jakarta saja sudah padat luar biasa.

Mini tertarik sekali dengan cara-cara mendaur ulang sampah plastik menjadi tas. Ia sama hebohnya dengan anak-anak yang membawakan saya aneka cara mengolah sampah mulai dari pemisahan sampah, incinerator, pembuatan kompos, dan berbagai cara daur ulang.

Saya katakan pada mereka bahwa seringkali hal sederhana saja sudah bisa mengurangi jenis sampah.Tidak repot membuat kompos atau membuat tas dari sampah plastik pun tak mengapa. Bagaimana caranya?

Sederhana saja, saya selalu berusaha menolak kantong plastik kalau membeli barang-barang kecil yang muat masuk dalam tas saya. Apalagi saya hobi membawa tas nenek (tas besar berisi aneka barang). Mita langsung mengiterupsi dengan cerita tentang tas neneknya yang berisi segala rupa; permen hingga termos air, buku bahkan gunting kuku. Teman-temannya curiga dalam tas itu juga ada sikat gigi.

Mita bilang, barangkali kantong kertas akan lebih ramah lingkungan. Ia menunjuk sebuah restoran burger cepat saji yang suka memakai kantong kertas sebagai wadah. Saya tertawa. Coba kamu ingat-ingat, bukankah mereka suka mewadahi gelas kertas ke dalam plastik, mengantonginya dengan kantong kertas lalu memasukkannya dalam plastik lain lagi? Pabrik sampah.


Saya tanya lagi, pernahkah kalian belanja di supermarket besar? Belanja beberapa troli dan memasukkannya ke dalam plastik-plastik? Apakah biasanya kalian pergi dengan mobil, atau dengan kendaraan umum? Kalau dengan mobil, bolehkah membawa troli hingga sangat dekat dengan bagasi mobil? Sesampainya di rumah, jauhkah tempat parkir mobil dengan pintu? Akan merepotkan tidak kalau kalian mondar mandir beberapa kali untuk memasukkan barang ke rumah? Bagaimana kalau kita minta agar belanjaan itu tidak lagi dikantongi plastik?

Tak ada yang pernah berpikir begitu sebelumnya.


Anak-anak ikut tertawa dan kami mulai berandai-andai. Saya bilang, saya belum pernah mencoba meminta restoran cepat saji mengisikan minuman soda ke dalam gelas yang saya bawa. Mungkinkah mereka mengijinkan saya mengisikan makanan ke dalam kotak makanan yang saya bawa?

Mata-mata yang menatap saya tertawa dan tertarik di saat yang sama. Mengapa tidak kita yang membuat trend baru? Kalian adalah anak-anak yang sangat mungkin mempengaruhi orang lain. Kalau kalian anggap ini cara yang keren, maka kerenlah cara ini. Seandainya saja, kami bisa mempengaruhi 500 orang (estimasi dari hasil sensus keluarga yang kami buat minggu lalu) anggota keluarga murid sekolah kami untuk punya kebiasaan memilah dan mengurangi sampah, dan barangkali jumlah sampah berkurang jadi setengahnya, kami sudah mengurangi kira-kira 7500 kg sampah sebulan.

Restoran cepat saji yang mengelilingi sekolah kami memang sering jadi pemasok makan siang. Terutama kalau si mbak belum pulang dari kampung, sehingga belum ada yang memasak di rumah. Anak-anak segera sadar kalau hari itu saja, separuh dari mereka membawa masuk kotak-kotak styrofoam berisi makan siang yang akhirnya jadi sampah.

Obrolan ini tampaknya membekas di hati.

Siang ini Saras mengambil makan siangnya, masuk ke kelas dengan wajah merah padam. "Shame on me." Teman-temannya tertawa melihat Saras masuk dengan kotak styrofoam berisi makan siang.

"Ya ampun Saras, kamu menyumbang sampah yang tidak bisa hancur."
Saras malu hati, tapi masih bisa tertawa-tawa menimpali temannya. "Aduh, pakai sumpit kayu lagi!"

Agaknya Saras jadi kehilangan selera makan. Karena merasa bersalah.

Ia bertanya pada saya, "Bu, kalau styrofoam itu butuh berapa lama sampai bisa hancur?"

"Dari informasi yang dibawa Dhara tadi sih, katanya styrofoam tidak bisa hancur."

Saras langsung melenguh.

Kasihan dia hari ini tak enak makan.


Hari ini saya menikmati duduk dan makan siang bersama mereka. Saya menikmati komentar-komentar witty yang mulai muncul. Saya memperhatikan bagaimana mereka mulai bisa menertawakan diri sendiri. Saya juga tahu bahwa mereka mulai sadar bahwa mereka berperan serta dalam lingkungannya.

Mau tidak ya mereka memulai perubahan?

2 comments:

Anonymous said...

mereka pasti mau kok bu melakukan perubahan... yang susah yaaaaa... para orang tua mereka pastinya... karena kerepotan si mba'e belum pulang... hihihihi...

Anonymous said...

Saya merasa tertampar dengan bahasan di kelas hari itu.Bagaimana tidak, sudah 2 hari ini saya membeli bubur untuk sarapan dengan kotak styrofoam (bukan berarti sebelumnya saya tidak pernah menggunakannya loh... hi.hi..hi jadi malu). Besoknya saya membawa wadah untuk bubur dari rumah dengan diiringi pertanyaan " kok tumben bawa wadah ?" kata bapak condro. saya langsung deh bercerita tentang usaha kami (kelas 5) MEMULAI PERUBAHAN.
Semoga dia juga akan mendukung kami (siap yah bapak condro?, heheh)

bagaimana dengan yang lainnya??????????????