Monday, October 29, 2007

Mengapa Memilih Yang Ini?

Di paruh pagi tadi Bu Evie menemui beberapa orang yang datang berkunjung. Tampaknya mereka tertarik untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah kami.
"Di sini anak-anaknya jumpalitan ya?"

Hihihi.... mungkin saja.

Bu Evie juga bercerita pada saya, bahwa mereka mengagumi tulisan anak-anak tentang cita-citanya di pintu kelas, juga bertanya. Sebuah pertanyaan paling umum di sekolah macam sekolah kami ini,

"Nanti kira kira SMP-nya bisa masuk SMP seperti apa ya?"


Sekarang, saya ingin sekali bertanya kembali, "Sekarang ini, apa yang membuat anda berpikir untuk menyekolahkan anak di sekolah seperti ini?"

Kalau jawabannya adalah karena saya ingin anak saya senang di sekolah, belajar dengan aktif, jadi anak yang kritis, yang percaya diri.... wah, itu tidak akan selesai dalam enam tahun di sekolah kami. Percaya deh...

Perlu dipikirkan juga bagaimana melanjutkannya nanti, di SMP, di SMA, dan entah sampai kapan.

Berpikir bahwa sekolah di sekolah 'jumpalitan' seperti ini membuat anak-anak tidak bisa beradaptasi di sekolah biasa, menurut saya jadi aneh. Maksud saya, agak aneh rasanya kalau saya membiasakan anak-anak melakukan riset dan kritis bertanya, lantas saya menuntut mereka untuk serba nurut kalau disuapi. Setelah kami menebar bibit-bibit untuk berani membuat perubahan, lantas disuruh beradaptasi dengan lingkungan yang menuntut untuk selalu seragam dan konformis. Barangkali memang tak akan nyambung...


It is like this, anda mengajari anak-anak anda supaya selalu berbuat jujur. Dengan harapan, kelak ketika tinggal bersama para pencoleng ia akan tetap jujur.

Mungkin bisa sih, kalau belum keburu digebukin yang lain.


Begini, saya baru sadar bahwa saya memang tak pernah mempersiapkan mereka, murid-murid saya, untuk bisa fit and proper di sekolah-sekolah banyak penggemar di luar sana. Saya tak mengharapkan kelak mereka bekerja di perusahan-perusahaan nyaman. Lebih dari itu, saya menggantungkan harapan agar kelak mereka yang cukup nekat untuk bilang "tidak, yang betul itu seperti ini. Mari ikut saya, kita kerjakan sama-sama."

Ya, saya percaya murid-murid adalah seperti apa yang diharapkan gurunya. Kalau gurunya berpikir mereka hanya bisa mengeja, maka mereka akan hanya bisa mengeja. Kalau gurunya berpikir bahwa murid-muridnya bisa memahami sastra, maka jadilah begitu. Saya tebarkan saja harapan-harapan saya. APapun yang mereka capai tentu lebih dari apa yang sebenarnya bisa diharapkan dari mereka. Saya rasa orangtua manapun juga melakukan hal yang sama untuk anak-anaknya.


Fit dan proper di sekolah negeri unggulan sama sekali tidak pernah menjadi visi saya ketika saya beraktivitas di kelas bersama mereka. Ya, sayangnya saya tidak punya bayangan itu.

Jadi, sepertinya kalau ada yang bertanya lagi pada saya, nanti kalau anak saya sekolah di sini, dia akan sukses tidak ya melanjutkan di sekolah nomor sekian?

Saya akan bilang tidak. Sadly, tidak. Mereka akan stress dan sulit beradaptasi. Kecerdasan mereka memecahkan masalah, menanggapi fakta di lingkungan sekitarnya, melakukan riset, beradu pendapat, mengapresiasi seni, semua akan hilang tanpa dilatih.

Saya tahu kok, energi untuk bisa fit dan proper pada lingkungan yang seragam, konformis, dan interaksinya searah jauh lebih BESAR daripada energi untuk melakukan hal-hal di atas.

Jadi, mengapa anda memilih yang ini?

3 comments:

Anonymous said...

saya??.. kalau saya sih karena dari pertama kali baca totto chan langsung berandai2 ada sekolah seperti ini... kirain ngga ada.. ternyata ADA!!.. heheheh.. biarpun ngga terlalu tomoe sih.. hahahaha..

urusan fit and proper.. well.. ini urusan orang tua untuk "lead the way" untuk menjadi kreatif dan fleksibel di luar sana.. energi yang lebih BESAR itu yang membuat manusia "hidup"

Tia said...

Betul sekali. energi yang BESAR itu memang untuk BERTAHAN hidup. :)

Tapi kalo defense terus kapan golnya ya? Kapan menangnya ya?

hihihihihi

Anonymous said...

"Tapi... Tapi... Bu... 'kan yang bagus bisa sekolah di sekolah negeri unggulan...."
Huahahahaha...

Setelah itu masuk ke universitas negeri, lulus cepat, IP tinggi, terus bekerja di perusahaan asing.. eh, merasa bangga bekerja di tempat yang pendapatannya sebagian besar kembali untuk menjajah bangsa ini, merasa diri punya pencapaian dengan menjadi pegawai untuk perusahaan, tidak peduli pajak, merasa korupsi adalah hal yang lumrah, menikah, punya anak... kemudian memaksa anaknya menggunakan bahasa asing bahkan sebelum mereka bisa mengeja namanya sendiri dalam Bahasa Indonesia...


Dan yang paling parah... merasa sudah "melakukan" sesuatu.
Huahahaha...

Selamat Bu!
Para orang tua muda Indonesia memang banyak yang masih se-primitif itu berpikirnya... Maafkan mereka ya, Bu.... Mereka tidak bermaksud buruk kok. Memang belum "sampe" aja otak dan hatinya. Hihihi...