Satu minggu menjelang terima rapor, kami sedang senang-senangnya menyanyikan lagu Rudolph The Red Nose Reindeer. Mey sangat senang. Ia sedang menunggu-nunggu tiga kado dari Sinterklas.
Mey : Bu Tia, Sinterklas itu datangnya jam berapa sih?
Saya : Hmmm.... mungkin tengah malam?
Medina : Sinterklas kan nggak ada.
Mey : Ada ya Bu? (Wajahnya penuh harap)
Saya : Menurutmu bagaimana Mey?
Saya tak berani menjawab tentang keberadaan Sinterklas, sebab saya tak tahu apa yang dikatakan ibunya. Tidak lucu kalau beberapa hari sebelum "kedatangan Sinterklas" saya menuduh ibunya bohong.
Bintang: Yang jelas, Sinterklas yang ada di mall-mall itu palsu semua.
Beberapa hari kemudian, kisah Sinterklas tenggelam oleh Hari Ibu. Di sela kesibukan anak-anak membuat kartu-kartu natal dan tahun baru, mereka juga membuat kartu untuk ibu.
Duh, sebenarnya saya ingin sekali bercerita pada mereka tentang kisah St. Nicholas yang murah hati dan kemudian hari dikenal sebagai Santa Claus atau Sinterklas.
Saya juga ingin bilang pada mereka bahwa Hari Ibu di negara kita bukanlah Mother's Day dimana kita merayakan motherhood. Tetapi bagaimana cara menerangkan pada mereka bahwa Hari Ibu adalah hari peringatan Kongres Perempuan pertama di Indonesia tahun 1928. Hari itu perempuan Indonesia berkumpul, memperjelas dukungan dan peran mereka untuk masa depan negaranya.
Saya bisa membayangkan hari itu ibu-ibu tidak bersenang-senang melupakan tugas domestiknya, tetapi menambah kesibukannya dengan membicarakan penolakan perkawinan di bawah umur, juga sekolah-sekolah dan beasiswa untuk anak perempuan. Mereka tidak mengeluh karena harus mengurus rumah, tapi beranggapan bahwa dirinya bisa melakukan lebih banyak hal untuk orang lain.
Tidak, barangkali tidak sekarang. Mungkin beberapa tahun lagi. Saat ini saya masih ingin membiarkan mereka menikmati perayaan dan mencoba membuat hari istimewa menjadi bermakna dengan cara mereka sendiri. Apakah dengan membuat surat untuk Sinterklas, atau menyatakan kasih sayangnya dalam kartu untuk Ibu.
Kelak kalau mereka sudah lebih mengerti, baru saya akan mengajak mereka memikirkan kembali pemaknaannya pada hari-hari istimewa. Baru pelan-pelan kita akan membentuk kembali sistem nilai dan kepercayaan yang paling mendekati benar, dan sesuai untuk mereka.
Sunday, December 24, 2006
Tuesday, December 19, 2006
Waktu Milik Mereka
Pernah bertemu seseorang yang ingin anak perempuan usia 5 tahunnya segera masuk SD? Biasanya alasan mereka si anak sudah bisa membaca. Ia jauh lebih cerdas dari anak-anak umur lima tahun lainnya. Nanti bosan sekolah kalau di TK semua serba mudah.
Saya sering mendengar keinginan orangtua yang seperti ini. Motto mereka makin cepat selesai sekolah makin baik. Keinginan pasar seperti ini diinterpretasikan dengan baik oleh bisnis pendidikan dengan terciptanya kelas-kelas akselerasi. (Ancaman) tidak naik kelas benar-benar bisa membuat para orangtua panik bukan kepalang.
Tetapi, benarkah anak-anak bisa diperlakukan seperti mi instan?
Saya ingat betul, Desember tahun lalu saya masih kesulitan untuk bisa mengobrol dengan Zaky. Ia hanya menjawab dengan satu atau dua frase. Asisten saya mengeluh, Zaky belum bisa bicara dalam 1 kalimat lengkap. Jangan tanya bagaimana saat kami sedang belajar menulis cerita. Kacau balau. Di saat yang sama teman-temannya menyerap dua bahasa sekaligus nyaris sama cepatnya.
Desember tahun ini, saya bisa mengobrol tentang segala rupa bersama Zaky. Suatu kali ia mengajak saya mengunjungi kampung halamannya di kaki Gunung Merapi. Katanya banyak sawah, sapi, dan ikan. Ia bercerita betapa dalam sungai tempatnya bermain. Lain hari ia berkomentar tentang galaksi. Tadi kami tertawa karena saya mendengar ia mengomentari temannya hiperaktif. Siangnya ia bertanya apa manfaatnya vitamin D. Ternyata ia sedang sibuk mengamati tabel kandungan gizi minuman kotak. Saat ini, jika Zaky sibuk membual saya pun bersyukur. Kalimat-kalimatnya yang mengalir dari mulutnya saya nikmati sebagai kemajuan besar.
Hari ini saya mulai mengisi rapor yang harus dibagikan Sabtu besok. Ketika sampai pada giliran Zaky, saya harus membolak-balik semua arsip nilai dan memeriksanya satu per satu. Saya hampir tak percaya ketika melihat jumlah nilai Zaky jauh lebih tinggi dari median nilai kelas. Nilainya naik sebelas poin dibandingkan Juni tahun ini.
Mengurutkan kembali nilai-nilainya membuat saya ingat bahwa kuartal ini saya hampir tak pernah duduk di sampingnya untuk membantu. Saya ingat juga bahwa saya lebih sering mendapati Zaky sibuk membantu temannya mengerjakan tugas sementara tugasnya sendiri tercecer. Saya ingat bahwa saya sering melerai Zaky dan teman-temannya saat bekerja kelompok karena sekarang Zaky pun ikut mengatur apa yang harus mereka kerjakan. Saya ingat bahwa saya dan teman-teman barunya pernah duduk dan mengagumi lapangan bola dari karton buatannya.
Ia tumbuh saat waktunya tiba. Saat kemampuan sosial emosionalnya sudah cukup, ia pun berteman, bermain, dan menekuni tugas-tugasnya seperti seharusnya. Saat berhasil, ia punya cukup cadangan rasa nyaman dan bangga pada dirinya. Orang lain menanggapi dengan penghargaan seperti sepantasnya. Zaky senang, merasa berharga, lebih termotivasi, dan tampaknya lebih mudah baginya mempelajari sesuatu.
Bersama Zaky, saya belajar bahwa masa tumbuh kembang anak-anak butuh waktu. Zaky butuh waktu untuk tumbuh. Barangkali kebutuhannya jauh lebih banyak dari teman-teman sebayanya.
Zaky membuat saya sadar bahwa waktu adalah bagian dari tumbuh kembang yang tak bisa kita curi. Anak-anak perlu waktu untuk menuntaskan jadwal pertumbuhan mereka di semua aspek. Tak hanya intelegensinya tetapi juga sisi-sisi manusia lainnya. Zaky perlu waktu dua tahun untuk menjadi murid kelas 3 yang siap dan gembira. Saya lega waktu itu kami berkeputusan memberinya kesempatan sekali lagi.
Saya sering mendengar keinginan orangtua yang seperti ini. Motto mereka makin cepat selesai sekolah makin baik. Keinginan pasar seperti ini diinterpretasikan dengan baik oleh bisnis pendidikan dengan terciptanya kelas-kelas akselerasi. (Ancaman) tidak naik kelas benar-benar bisa membuat para orangtua panik bukan kepalang.
Tetapi, benarkah anak-anak bisa diperlakukan seperti mi instan?
Saya ingat betul, Desember tahun lalu saya masih kesulitan untuk bisa mengobrol dengan Zaky. Ia hanya menjawab dengan satu atau dua frase. Asisten saya mengeluh, Zaky belum bisa bicara dalam 1 kalimat lengkap. Jangan tanya bagaimana saat kami sedang belajar menulis cerita. Kacau balau. Di saat yang sama teman-temannya menyerap dua bahasa sekaligus nyaris sama cepatnya.
Desember tahun ini, saya bisa mengobrol tentang segala rupa bersama Zaky. Suatu kali ia mengajak saya mengunjungi kampung halamannya di kaki Gunung Merapi. Katanya banyak sawah, sapi, dan ikan. Ia bercerita betapa dalam sungai tempatnya bermain. Lain hari ia berkomentar tentang galaksi. Tadi kami tertawa karena saya mendengar ia mengomentari temannya hiperaktif. Siangnya ia bertanya apa manfaatnya vitamin D. Ternyata ia sedang sibuk mengamati tabel kandungan gizi minuman kotak. Saat ini, jika Zaky sibuk membual saya pun bersyukur. Kalimat-kalimatnya yang mengalir dari mulutnya saya nikmati sebagai kemajuan besar.
Hari ini saya mulai mengisi rapor yang harus dibagikan Sabtu besok. Ketika sampai pada giliran Zaky, saya harus membolak-balik semua arsip nilai dan memeriksanya satu per satu. Saya hampir tak percaya ketika melihat jumlah nilai Zaky jauh lebih tinggi dari median nilai kelas. Nilainya naik sebelas poin dibandingkan Juni tahun ini.
Mengurutkan kembali nilai-nilainya membuat saya ingat bahwa kuartal ini saya hampir tak pernah duduk di sampingnya untuk membantu. Saya ingat juga bahwa saya lebih sering mendapati Zaky sibuk membantu temannya mengerjakan tugas sementara tugasnya sendiri tercecer. Saya ingat bahwa saya sering melerai Zaky dan teman-temannya saat bekerja kelompok karena sekarang Zaky pun ikut mengatur apa yang harus mereka kerjakan. Saya ingat bahwa saya dan teman-teman barunya pernah duduk dan mengagumi lapangan bola dari karton buatannya.
Ia tumbuh saat waktunya tiba. Saat kemampuan sosial emosionalnya sudah cukup, ia pun berteman, bermain, dan menekuni tugas-tugasnya seperti seharusnya. Saat berhasil, ia punya cukup cadangan rasa nyaman dan bangga pada dirinya. Orang lain menanggapi dengan penghargaan seperti sepantasnya. Zaky senang, merasa berharga, lebih termotivasi, dan tampaknya lebih mudah baginya mempelajari sesuatu.
Bersama Zaky, saya belajar bahwa masa tumbuh kembang anak-anak butuh waktu. Zaky butuh waktu untuk tumbuh. Barangkali kebutuhannya jauh lebih banyak dari teman-teman sebayanya.
Zaky membuat saya sadar bahwa waktu adalah bagian dari tumbuh kembang yang tak bisa kita curi. Anak-anak perlu waktu untuk menuntaskan jadwal pertumbuhan mereka di semua aspek. Tak hanya intelegensinya tetapi juga sisi-sisi manusia lainnya. Zaky perlu waktu dua tahun untuk menjadi murid kelas 3 yang siap dan gembira. Saya lega waktu itu kami berkeputusan memberinya kesempatan sekali lagi.
Tuesday, December 05, 2006
TV Talks
Smackdown tidak laku di kelas saya. Bagaimanapun, televisi menyumbangkan banyak obrolan makan siang yang menarik dan menunjukkan bagaimana spons di kepala mereka sangat efektif menyerap apapun yang terlihat di kotak ajaib, sebagaimana separuh murid-murid di sekolah kami fasih berbahasa Inggris berkat Disney Channel.
Setelah Mati
Anak 1: Bu, Bu… masa bu, kalau suka melawan orangtua nanti kalau sudah mati mayatnya bolong-bolong dimakan belatung.
Saya : Bukan dikutuk jadi batu? (Sure, they won’t understand my cynicism)
Anak 1: Bukan bu, bolong-bolong!
Saya : Do you remember that we talked about respect last term?
Anak 1 : Yes.
Saya : Why do your parents take care of you?
Anak 1 : Because they love me.
Saya : And why should you respect your parents?
Anak 1 : Because I love them.
Saya : I think that is the reason to respect others.
Anak 1: Iya, dan nanti kalau mati bisa bolong-bolong.
Orangtua, terpikirkah oleh anda kalau anak-anak bisa saja mengasosiasikan kita dengan belatung? Kami mendiskusikan penguraian bangkai beberapa minggu setelahnya.
Ciuman
Anak 2 : Ibu, kenapa sih kalau orang ciuman di tv itu mulutnya suka dibuka lebar-lebar baru ciuman.
Saya : Kenapa ya?
Anak 2 : Tidak tahu. Aku juga heran. Ciuman kok seperti mau makan orang.
Keguguran
Anak 1 : Eh, kemarin di TV ada itu lho, ada perempuan lagi hamil digugurin.
Anak 2 : Gugur itu apa sih bu? Meninggal ya?
Saya : Iya.
Anak 2 : Jadi kalau keguguran itu bayinya meninggal di perut ibunya?
Saya : Kurang lebih seperti itu.
Anak 1: Iya, terus kemarin yang menggugurkan itu dokter lho.
Anak 2 : Ih, gimana ya caranya menggugurkan bayi?
Anak 3 : Dipotong-potong kali.
Anak 2: Berarti dokterya jahat dong ya? Membunuh bayi.
Saya terkesima mendengar percakapan itu. Saya baru ingat kalau malam sebelumnya, saya sedang berbicara dengan seorang teman. Kira-kira saat itu pukul 8 malam. Di tengah obrolan kami, tiba-tiba ia menginterupsi dengan kalimat ini, “Gila, TV tambah aneh. Masa ini ada bapak-bapak nyukurin anaknya yang keguguran karena hamilnya di luar nikah.” Saya tanya, mengapa ia menonton. Katanya, kebetulan saja TV menyala.
Saya tidak sadar bahwa di rumah-rumah murid kecil saya TV-TV juga kebetulan menyala, atau kebetulan ditonton. Kebetulan saja ingat apa yang kebetulan ditonton saat kebetulan TV-nya menyala. Barangkali kebetulan juga kalau besok tak sengaja mereka membunuh seseorang, atau menganggap bayi mati adalah sesuatu yang wajar dan bisa diobrolkan sambil menelan. Kebetulan saja anak-anak ini masih berumur 7 tahun.
Kebetulan, adalah sesuatu yang ada di luar kontrol kita. Ya, kan ?
Semua pembicaraan itu membuat saya makin teguh hati untuk tidak akan punya televisi kalau saya punya anak sendiri.
Subscribe to:
Posts (Atom)