Sunday, July 13, 2008

Mengeluh

Ini adalah keluh kesah lama yang sudah amat lama pula bersarang di kepala saya. Terpicu kembali dengan nilai UAN seseorang di ujung desa yang lantas tidak bisa masuk sekolah negeri karena nilai UANnya kurang sedikit.

Saya tahu di sebuah sekolah maha unggulan di Jakarta ini menyeleksi calon siswanya hanya dari nilai ujian akhir sejak namanya EBTANAS sampai UAN. Rata-rata nilai yang dibutuhkan untuk menembus sekolah maha unggulan itu ((ketika hanya 3 mata pelajaran diujikan, pada suatu tahun) adalah lebih dari 9,5. Ya, kalau 9, 5 boleh deg-degan belum tentu diterima deh. Mungkin tahun ini, dugaan saya, sekitar 9.

Maka keluh kesah lama saya mencuat lagi.

Apa sebenarnya kriteria sekolah maha unggulan itu? Sekolah yang isinya anak-anak super pandai dengan fasilitas maha lengkap?

Mengapa logika itu tak masuk-masuk di kepala saya? Sebab menurut saya tidak ada susahnya mengumpulkan anak paling pandai seantero Jakarta, lalu berbangga hati karena sekolah itu selalu berhasil memasukkan mantan murid-muridnya ke sekolah-sekolah lanjutan terbaik. Atau diberi nama unggulan karena alasan itu. Atau selalu dapat kemudahan memperoleh fasilitas terbaik hanya karena mengumpulkan anak pintar?

Hah, bukannya anak sepintar UAN dengan rata-rata nyaris 10 itu dilepas di lapangan berumput juga tetap pintar, ya?


Sepertinya saya memang salah mikir.

Seorang teman saya mewawancara calon murid baru di kelas 1 dan bercerita saat makan siang.

Eh, saya tadi bertemu seorang anak dari sekolah A. Dia mau masuk sekolah kita. Lalu, kami mengobrol, dan saya pikir sebaiknya dia masuk sekolah kita.

Kenapa, saya tanya.

Dia manis sekali. Mengerjakan apa-apa selalu rapi. Ditanya juga selalu menjawab, dan jawabannya baik. Pintar juga. Tapi bukan itu alasan saya.

Lalu, apa?

Dia tidak bisa senyum. Ketawanya malu-malu. Saya pikir ia harus ada di sekolah kita supaya bisa lebih lepas tertawa dan berani.

Kami saling pandang dan cengar-cengir.


Tidakkah seharusnya sekolah unggulan bisa berpikir lebih hebat dari obrolan kami itu? Sekolah unggulan mestinya bisa mengembangkan siapa saja yang masuk ke sana menjadi jauh lebih baik. Mestinya sekolah unggulan tidak bangga karena berhasil menyeleksi anak-anak yang pandai, tapi anak-anak yang butuh. Sebab mestinya sekolah unggulan yakin bahwa mereka bisa memenuhi kebutuhan murid-muridnya. Mestinya sekolah unggulan tidak bangga karena statistik kelulusan dan penerimaan di sekolah lanjutan bergengsinya amat tinggi. Mestinya sekolah unggulan bangga karena murid-muridnya jadi tahu minat dan kemampuan mereka dan berhasil mencari jalan menuju sekolah-sekolah terbaik sesuai minat dan kemampuan mereka.


Sekolah unggulan mestinya sudah lebih unggul dari bicara tentang angka. Mereka mestinya sudah lebih maju dan bicara tentang bangsa.


Saya hanya bisa berharap, mereka yang tak mampu masuk sekolah unggulan karena nilai UANnya tidak sempurna, tak berpikir bahwa mereka kurang berharga. Bahwa mereka tidak punya kesempatan untuk menjadi orang yang lebih baik, atau bahwa mereka merepotkan orang tua yang tidak bisa berbangga hati. Semoga mereka tak termakan sistem pendidikan di negara ini yang memberi pesan bahwa a good learner should be perfect.

4 comments:

m.friya said...

sejarah berulang... setiap tahun... bayangkan.. setiap tahun!!... dan lucunya.. kita juga mengeluh.. setiap tahun!!... hehehehhehe

ditambah lagi.. ada 3 keponakan terjebak di persoalan menahun ini sedih deh...

Tia said...

hm, ngomongin ini memang sering bikin emosi.

CaTLio said...

I could not agree more with you on this topic. SMA kita dulu itu sebenarnya omong-kosong belaka yah?

Over 90% acceptance in Public University is expected if you already selected the top 25% of Students in Jakarta, right?

If they chose, all the academically weak or clueless students and convert them into Einstein, Mozart, Steve Jobs or Steven Spielberg, itu baru sekolah unggulan.

Tia said...

hihihihi... catlio, setelah 13 tahun AKHIRNYA elo stuju sama gue. Why does it take so looong?