Wednesday, January 14, 2009

Kebenaran itu (tidak) Mutlak

Mulai bulan ini, anak-anak kelas 6 pensiun sementara dari kegiatan bersenang-senang ala ekstrakurikuler. Sebagai gantinya, mereka harus ikut latihan soal ujian. Maaf yaaa...

Saya menawarkan diri pada Ibu Guru Kelas 6 untuk membantunya melatih soal Bahasa Indonesia. Jadi hari ini saya datang ke kelas 6 membawa 25 soal dan 40 bendera 4 warna.

Bendera itu adalah akal-akalan saya untuk bisa melihat semua jawaban anak-anak dalam sekilas pandang. Saya bisa melihat jawaban mayoritas, atau jawaban-jawaban nyeleneh. Saya bisa memanggil siapa saja dan menuntut mereka menjelaskan mengapa memilih jawaban itu.
Lumayanlah, membantu kami tertawa-tawa di tengah kebosanan mengerjakan soal.

Apalagi, bersama mereka saya baru menyadari betapa sulitnya menyimpulkan apa itu "benar" dalam 4 pilihan saja. Beberapa kali anak-anak "terjebak" dalam jawaban-jawaban subjektif, yang bernilai nol dalam soal pilihan ganda.

Contoh! Ada gambar anak-anak sedang upacara bendera. Berbaris berderet-deret, dengan 3 orang di depan menaikkan bendera, dan sebuah meja berisi piala di samping barisan anak-anak. *bu Tia malas memindai gambarnya di sini*

Pertanyaannya adalah ; Kalimat yang paling tepat untuk menceritakan isi gambar di atas adalah...

a. Murid-murid sedang mengibarkan bendera untuk memperingati hari kemerdekaan.
b. Murid-murid sedang berbaris.
c. Petugas pengibar bendera sedang mengibarkan bendera.
d. Murid-murid menunggu piala dibagikan.

Bendera merah berkibar-kibar. Mayoritas menjawab A. Hanya satu bendera kuning muncul, yaitu jawaban C.

Kunci jawaban mengatakan ... C

Kami mendiskusikan mengapa jawaban C yang ada di kunci jawaban. (Iya kan, sebenarnya sih ke-empat jawaban benar juga, tapi nasib nilai mereka ada di lembar kunci jawaban yang harus dipatuhi seperti agama).

Anak-anak segera sadar bahwa mereka mengasosiasikan upacara bendera dengan tujuh belas agustus, karena selama di sekolah kami, itulah satu-satunya hari kami mengadakan upacara bendera. Sementara, gambar itu tidak menunjukkan tanda-tanda (umum) tentang tujuh belas agustus.

Lain soal, mengutip peraturan sekolah untuk "berpakaian sopan dan rapi sesuai ketentuan". Pilihannya adalah, boleh berpakaian bebas tapi rapi, atau berseragam rapi. Anak-anak menjawab pilihan pertama. Kunci jawaban memilih pilihan kedua.

Saya harus probing mereka, "Menurutmu, umumnya bagaimana cara berpakaian di sekolah pada umumnya?"

"Pakai seragam, bu...."

Pertanyaan berlanjut, "Ibu, nanti kalau kita ujian, bagaimana? Seragam kita kan cuma satu, padahal ujiannya tiga hari."

Halah. Benar juga, ya.


Kembali ke soal, kali ini soal gambar lagi. Di gambar ada seorang polisi mencengkeram bagian kerah leher belakang dua orang anak yang wajahnya marah dan tangannya saling mengacung. Soal meminta mereka memberi tanggapan yang tepat untuk gambar itu.

a. Perbuatan anak-anak itu sungguh tercela.
b. yada yada yada
c. Tidak apa-apa, nanti juga baik lagi.
d. lalalalala

ADA LHO yang menjawab c. Alasan mereka, "Iya sih bu, sepertinya A. Tapi kalau di sini, bu, biasanya memang c. Kalau habis berantem kita baikan lagi."

Yah, anak-anak sayang, memang kebenaran itu tidak mutlak. Benar itu seringkali hasil konsensus, tergantung siapa yang membuat konsensus. Bu Tia bangga kalian punya cara pandang dan value sendiri, tapi kalau seperti ini...bagaimana kita bisa dapat nilai sembilan saat ujian?

2 comments:

Anonymous said...

Nah..nah..nah..
Kalau Ulum saja kami gak pernah menggunakan itu kunci jawaban yang resminya sebab suka salah-salah.
Bagaimana itu? Gak tau deh.. Hehehe...
Selalu ada soal bonusnya sebab pilihan jawabannya ngaco semua. Bahkan pernah waktu kapan itu Ulum matematika, guru mathnya marah-marah sendiri karena kunci jawabannya salah sampai 5 soal. Rekan saya itu, langsung aja ngoreksi nyontek kunci jawaban, ya diprotes lah sama anak-anak jawabannya bener kok disalahin?

Tapi mungkin karena itu cuma Ulum. Mudah-mudahan soal UAN lebih baik ya bu...

Tia said...

matematika jawabannya mutlak.5 ya 5. kalau bahasa indonesia? ya itu tadi jadinya, kadang-kadang multitafsir. Jadi yang saya bagi ke anak-anak adalah mengajak mereka berpikir sebagaimana pembuat soal berpikir.

Ribet ya?