Saya selalu menikmati saat presentasi bersama anak-anak. Hari ini, anak-anak kelas 2 presentasi tentang Indonesia. Topiknya? Bebas. Saya hanya mengundi nama pulau supaya anak-anak tidak konsentrasi cerita tentang pulau Jawa Bali melulu. Supaya mereka tahu Kalimantan dan Sulawesi juga menyimpan cerita-cerita seru.
Hasilnya? Hari ini anak-anak riang gembira presentasi sampai lupa makan siang. Lebih seru lagi karena Dewa membawa serta the real ayam pop yang jadi bahan presentasinya. Fia juga membawa sepiring cenil. Anak-anak memelototi si cenil dengan penuh rasa ingin tahu.
"Ok, kita mulai dari Sumatera. Siapa yang presentasinya tentang Sumatera?"
Tiga tangan mengacung.
Anak-anak lain protes, "Yaaaa... Papua masih jauh. Aku kan pengen duluan."
Memang biasanya saya tak perlu mengacak nomor absen segala. Tinggal bertanya, "Siapa mau mulai?" Maka saya akan dapat setidaknya lima kandidat.
Pertengkaran tentang siapa yang maju lebih dulu itu kini menulari Rai. Ia tak suka jadi pusat perhatian, seringnya dia 'menghilang' di saat-saat presentasi. Hari ini ia berebut dengan Bintang.
"Aku duluan ya," Bintang menandai teritori.
"Aku yang duluan," Rai protes.
"Aku!"
"AKU!"
Saya menengahi, "Suit!"
"Kertas-gunting-batu!"
"Yeeee... aku duluan!", Bintang senang.
Anak-anak bercerita banyak. Mulai dari Tari Serampang Duabelas, hingga rumah pohon di Papua. Mereka berdebat tentang bedanya clurit, golok, dan keris. Mereka mendeskripsikan gudeg itu apa. Kami membandingkan cara menguburkan jenazah dari berbagai agama dan adat istiadat.
Tara sempat tertawa terheran-heran mendengar orang menguburkan jenazah di Tanatoraja dengan menyuruh si jenazah jalan sendiri. Anak-anak juga berusaha mencari logika mengapa rumah tongkonan tak boleh dimiliki perorangan. Mungkin Bu, kata mereka, supaya tidak ketakutan kalau ada hantu. Hihihihi....
Sebagai moderator, saya sering terpaksa menghentikan sesi tanya jawab supaya semua orang kebagian giliran bercerita.
Sekar bercerita tentang rumah pohon di Papua. Ia gambarkan bagaimana rumah itu dibangun di atas pohon tinggi dan menggunakan tangga sebagai pintu keluar masuk.
"Di pohon apa, rumah itu dibuat?" Tara ingin tahu.
"Aku juga tidak tahu. Tapi yang jelas pohonnya harus tinggi," Sekar menjelaskan.
"Aku tahu di pohon apa!" Dewa berbisik pada saya. "Pohon Kuat," katanya.
"Mana yang lebih dulu dibuat, rumahnya atau tangganya?"
"Rumahnya."
"Lalu bagaimana bisa naik ke atas membawa bahan-bahannya kalau tidak ada tangga? Kan susah."
"Hm, mungkin tidak susah untuk orang Papua, tapi susah buat kita karena kita tidak biasa manjat pohon?"
Bagaimana Fia tidak bilang, "Hari ini asyik ya Bu."
Ya, berbagi memang menyenangkan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment