Pagi ini saya mengeluarkan beberapa set UUD 1945 dan memasang wajah gembira.
"Pernah lihat UUD 45, tidak?"
Anak-anak membalas dengan tatapan, "Tolong kasihani kami.."
"Ini akan jadi hari yang panjang sekali...," keluh mereka.
Saya memulai kuliah pagi. Ini kan tentang negara kalian. Ini cara menjalankan negara. Nanti kalau giliran kalian yang mengurus negara ini, bagaimana?
"Siapa juga bu yang mau jadi presiden, repot. Tidak salah pun tetap diomeli rakyatnya."
Saya melanjutkan kuliah yang lain. Tentu saja tidak akan menyenangkan kalau dari awal kalian sudah menutupi kepala dengan pikiran ini tak akan menyenangkan. Yah, kira-kira lanjutannya adalah himbauan untuk berpikir positif.
Ketika wajah-wajah itu makin memelas, barulah saya mengeluarkan kartu terakhir. "Kita akan lakukan kegiatan ini, atau kita hafalkan saja UUD ini?"
"Ok, bu, kita kerjakan saja!", semua cepat menukas.
Semua berdiri dan mulai duduk dengan teman sekelompoknya sambil membawa-bawa sebundel UUD dan kertas kerja. Saya meminta mereka mencari sebenarnya kita punya hak apa saja sebagai warganegara. Nilai tambah untuk yang bisa mencari kewajiban kita sebagai warga negara dan kewajiban pemerintah.
Pertanyaan mulai muncul di sana-sini. "Berserikat itu apa, Bu?", "Hak Asasi maksudnya apa bu?", "Diskriminasi itu seperti apa sih?"
"Wah! Ternyata kita berhak berkeluarga dan memiliki keturunan!", Adam gembira sekali.
"... melalui perkawinan yang SAH!" sahut Mini dari meja sebelah.
"Oh, aku pikir tidak boleh mencuri itu cuma peraturan saja. Ternyata ada di UUD, bahwa kita boleh punya hak milik dan tidak boleh diambil dengan sewenang-wenang." Saras serius memahami kalimat demi kalimat dari balik kacamatanya.
Di meja lain, Lika dan Bram saling pandang, "Hei, harusnya kita sekolah dibayari pemerintah!"
Dara mendatangi saya, "Kenapa membela negara itu hak dan kewajiban juga? Boleh aku tulis (sebagai) dua-duanya?"
"Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara? Mana? Nggak pernah!"
"Banyak sekali yang tidak dikerjakan pemerintah itu!"
Setelah tiga puluh menit berlalu saya bertanya, "Berapa menit lagi?"
"Belum, Bu, belum! Aku masih mencari. Tunggu dulu!"
Ketika akhirnya saya meminta mereka untuk kembali berkumpul di karpet dan menceritakan apa saja yang mereka dapatkan, saya tahu mereka sudah terserap dalam UUD 1945. Lancar mereka bercerita bahwa kita berhak atas pendidikan, berhak mendapat informasi, berhak hidup yang layak, berhak menyampaikan pendapat, dan berhak memiliki benda pribadi dan berhak bebas dari penyiksaan.
Pertanyaan!
"Bu, pemerintah juga banyak tugasnya, seperti mengurusi fakir miskin dan menyediakan sekolah. Kenapa tidak? Kenapa orang diam saja?"
"Mengapa menurutmu? Bagaimana kamu bisa menuntut hakmu kalau kamu tidak tahu apa hakmu? Makanya tadi Bu Tia memintamu melakukan kegiatan itu."
Semua terdiam.
"Boleh kita fotokopi UUD itu untuk dibagikan pada orang-orang?"
"Iya Bu, aku mau tunjukkan pada ibuku. Bisa tidak sih dibeli di toko buku?"
Teman di sebelahnya berbisik agak keras, "Kamu mau tunjukkan pasal bebas dari penyiksaan itu ya?"
Saya tertawa sampai keluar air mata.
Saya rasa saya tak perlu lagi meminta mereka menghafalkan pasal dan ayat UUD. Saya tak perlu memaksa. Mereka sudah terpancing untuk ingin tahu, dan besok akan saya sodorkan lagi UUD itu agar mereka tahu lebih banyak. Sekarang, cukup tahu dulu. Dari tahu, banyak hal bisa dimulai.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment