Wednesday, January 23, 2008

Batas

Pagi ini saya dan anak-anak mendiskusikan sebuah kelas pilihan yang mereka keluhkan terlalu ribut seperti 'shipwreck'.

"Gurunya sih baik, Bu. Baik banget malah. Jadinya nggak pernah marah. Kasihan juga aku jadinya.

"Tahu kan, Bu, dua anak kelas 4 itu tidak bisa berhenti bicara.Mana kalau bicara keras banget lagi. Masa aku yang menyuruh diam? Tidak bisa diam juga."

"Barangkali baik juga kalau ada asistennya, Bu. Jadi mungkin kelasnya bisa lebih terkontrol. Soalnya anaknya banyak. " Banyak disini maksudnya tujuh belas.

"Mau mendengarkan juga susah Bu, soalnya berisik sekali. Aku nggak bisa konsentrasi. Lagipula, karena waktunya habis untuk menegur anak-anak yang ribut, akhirnya ceritanya diulang-ulang terus."

"Some children take this class as their free time. You know, time when you can chat or just exchange letters with the other children."

Panjang dan lebar mereka menceritakan keadaan di kelas itu dan berbagi pendapat dan saran (iya, saran, mereka memberi saran harusnya bagaimana) tentang kelas itu. Mereka bercerita dengan manis tanpa menuduh siapapun dan membuat saya juga tidak bisa menyalahkan siapapun tetapi tetap memahami situasinya.

Satu hal yang saya pelajari dari obrolan pagi ini, anak-anak, berapapun usia mereka, perlu batas-batas yang jelas. Mereka perlu tahu dengan jelas do and dont's dalam ruang gerak mereka. Bukannya anak-anak senang dibebaskan? Bukannya mereka lebih sehat kalau kita berhenti bilang tidak?

Mereka tahu, dan sangat menikmati banyak hal. Belajar, mengeksplorasi, mendengarkan, dan semua itu sungguh menyibukkan. Batasan yang jelas memberi anak-anak rasa aman, bahwa setiap kali mereka lupa atau lengah, akan ada yang mengingatkan mereka untuk kembali. Dengan demikian mereka tidak harus selalu mengontrol dirinya sendiri. Tidakkah itu terlalu melelahkan? Selalu mengontrol diri agar jadi anak baik?

Batas-batas yang jelas ternyata memberi rasa aman. Seperti lega, begitu, bahwa "saya" tidak perlu terlalu sibuk mengontrol diri sendiri. Orang lain sudah mengambil tugas itu. Saya bisa sibuk dan menikmati eksplorasi saya. Saya tahu saya tidak akan ada dalam bahaya.

Setengah tahun ini, saya sendiri berusaha untuk membuat kelas yang jelas batasannya. Saya ulang berulang ulang tentang apa yang saya harapkan dari mereka. Berulang-ulang. Saya sengaja memberi mereka kesempatan juga untuk menentukan do and dont's-nya. Saya yang sudah siap tempur menghadapi ABG jadi pengangguran karena ternyata saya nyaris tak perlu marah pada mereka. Satu teguran kecil dan sim salabim, semua kembali normal.
Yang agak mengejutkan, kecenderungan anak-anak untuk saling menekan (bullying) teman berkurang. Ada apa? Apakah mereka tiba-tiba insyaf?

Ternyata, saya baru mengerti bahwa pada satu titik, anak-anak berusaha untuk menguasai situasi jika tak ada orang lain yang bisa diandalkan untuk itu. Usaha-usaha mereka untuk membuat situasi terkontrol kadang-kadang diterjemahkan dengan cara mengancam teman, mengucilkan seseorang, atau malah menyulut pertengkaran. Nampaknya, ketika mereka tahu bahwa situasi sudah terkontrol, jelas dan aman, anak-anak jadi lupa untuk berusaha mengontrol.
Dunia pun jadi lebih damai.

No comments: