- Sebelum mulai membaca, anda -- siapapun anda-- harus tahu bahwa saya tidak (belum) melakukan homeschooling. Saya mengajar di sebuah sekolah.--
Tiga hari terakhir ini saya terpaku pada aneka bacaan tentang homeschooling hingga dini hari. Sekarang kepala saya masih berdesing-desing saking sibuknya. Jadi supaya reda, sekarang saya ingin curhat. Karena curhat, kali ini saya dimaafkan, bukan, kalau saya tidak bercerita dengan runtut?
Beberapa kali saya iseng melontarkan ide homeschooling setiap kali ada permasalahan sistem dan struktur saat belajar di sekolah. Apalagi dengan keruwetan para orangtua yang mencari sekolah lanjutan untuk anak-anaknya. Lontaran iseng untuk memeriksa kedalaman air ini sering disambut dengan komentar ragu dan negatif. Kasihan anaknya nanti tidak bergaul. Tidak punya peer group. Tidak tahu rasanya bolos. Tidak normal. Sering juga disambut pertanyaan (yang sampai kini tak bisa saya jawab) homeschooling itu ngapain sih?
Seperti banyak kerabat saya berpikir pekerjaan saya adalah mengoceh di depan kelas sementara murid-murid saya mencatat, teman-teman yang bertanya agaknya beranggapan bahwa homeschooling itu adalah mengerjakan lembar kerja seharian di rumah. Sendirian.
Membosankan sekali.
Mengapa saya tertarik pada ide yang membosankan seperti itu?
Karena saya berkhayal tentang belajar di mana saja dengan siapa saja dan tentang apa saja. Setelah saya renungkan, empat tahun ini saya belajar satu hal penting dari murid-murid saya. Kegembiraan dan kesenangan belajar hal-hal baru di mana saja tentang apa saja. Saat-saat di mana anak-anak dengan tekun menyelusuri rasa ingin tahunya, melontarkan pertanyaan dan pendapatnya, semua itu sungguh menggairahkan.
Terlebih lagi, hasrat belajar itu muncul pada saat saya mengikuti apa yang mereka minati, bukan saat saya menentukan apa yang seharusnya mereka pelajari. Anak-anak di kelas saya sering mendapat hasil belajar yang jauh lebih tinggi dari yang saya pikir mereka bisa capai, di saat saya melayani apa yang mereka kehendaki. Aneh ya?
Dan kemudian saya pun berpikir bahwa ruang dan waktu yang cukup luas untuk anak-anak mengeksplorasi dan belajar hal yang baru adalah dengan membuat kegiatan belajar tidak terlalu terstruktur dan kaku seperti di sekolah. Tak ada jumlah minggu belajar yang mengkhawatirkan. Tak ada aneka pelajaran yang dipaksakan ada. Tak ada keluhan tentang nilai rapor dan seterusnya.
Pasti seru ya, setiap hari bergairah memikirkan kegiatan baru yang bisa dilakukan. Membuat portfolio sepanjang tahun. Bertemu sebanyak-banyaknya orang. Menjadikan apa saja sebagai sumber belajar. Menyebut semua teman dan tamu sebagai guru. Berjalan-jalan adalah mata pelajaran wajib.
Aduh, saya kepingin sekali (meski belum jelas siapa yang akan saya sekolahrumahkan...hihihi)
Di sisi lain saya pun berpikir, egois nggak ya saya, kalau suatu hari memutuskan untuk menyekolahrumahkan rumah saya, sementara saya tahu saya punya hasrat besar untuk bekerja, dan belajar bersama bermacam-macam anak-anak di sekolah.
Apa ya jalan keluarnya?
Kepala saya masih berdesing-desing.
Sunday, March 30, 2008
Wednesday, March 19, 2008
Hari Bicara
Saya menunggu-nunggu hari ini, hari pembagian rapor. Aneh ya? Tapi saya memang sedang ingin bertemu para orang tua, dan mengobrol dengan mereka; melaporkan kemajuan, kemunduran, lelucon, masalah, dan potensi anak-anak.
Maka sepanjang hari ini saya bicara dan bicara dan bicara.
Setelah itu, serombongan mahasiswa teman saya sudah menunggu untuk wawancara. Maka lagi-lagi saya bicara dan bicara dan bicara.
Kali ini, saya melaporkan apa yang saya pelajari di kelas. :)
Tentu saja tidak sulit, - apalah yang sulit- kalau guru-guru kecil saya hebat-hebat.
Maka sepanjang hari ini saya bicara dan bicara dan bicara.
Setelah itu, serombongan mahasiswa teman saya sudah menunggu untuk wawancara. Maka lagi-lagi saya bicara dan bicara dan bicara.
Kali ini, saya melaporkan apa yang saya pelajari di kelas. :)
Tentu saja tidak sulit, - apalah yang sulit- kalau guru-guru kecil saya hebat-hebat.
Thursday, March 06, 2008
Pakai saja!
Dulu, waktu kuliah (ini sungguh-sungguh dulu, karena teman saya baru saja mengajak reuni sepuluh tahun angkatan, astaga!) saya belajar banyak jargon-jargon baru. Jargon-jargon yang akrab tapi asing di telinga. Saya dan teman-teman akhirnya banyak memakai dan menyalahgunakan istilah-istilah itu di keseharian kami. Saat mengobrol. Saat menggosip. Saat bercanda. Saat belajar. Cara belajar yang efektif, karena kami jadi mengerti lahir batin bagaimana menggunakan istilah itu.
Ternyata sekarang, anak-anak di kelas saya juga menggunakan cara serupa. Kami sedang belajar tentang peribahasa. Saya tak menghujani mereka dengan daftar peribahasa dan artinya, tapi kami mengarang banyak ilustrasi cerita untuk memahami peribahasa itu. Bagaimana saya tahu mereka mulai mengerti atau tidak? Mereka mulai menggunakannya dalam percakapan sehari-hari, maka saya rasa mereka mulai paham.
Suatu ketika, saya pernah menawarkan mereka untuk bermain atau latihan pentas sebagai ganti pelajaran olahraga. Jawaban yang saya dapat, "Latihan saja bu, sambil menyelam minum air, kan sama-sama capeknya dengan olahraga."
Kalau sedang ribut bercanda waktu istirahat, kadang-kadang saya dengar juga selentingan satu atau dua kalimat.
Peribahasa menggali kubur sendiri juga sempat membuat kami ngobrol panjang tentang drugs abuse, masalah hormon dan teman saat puber menjelang, dan masa-masa sulit tapi seru itu. Diskusi kami ditutup dengan takkan harimau makan anaknya, jadi jangan pernah takut bercerita pada orang tua kalian.
Tadi siang kami bermain cerdas cermat untuk IPS. Ramainya bukan kepalang. Apalagi karena semua pasangan jengkel melihat Lika dan Bram terus melaju dan meninggalkan perolehan nilai yang lain. Saking bersemangatnya, Lika membunyikan angklung sebelum soal yang saya bacakan selesai. Ia dan Bram didiskualifikasi utk pertanyaan berikutnya. Sebentar kemudian, hal yang sama terjadi lagi. Bram mulai jengkel tapi tak bisa marah, maka ia pun berkomentar, "Tersandung batu yang sama dua kali. Eh, itu peribahasa juga kan, bu?"
Saya tertawa-tawa mendengarnya.
Satu pertanyaan berlalu, dan Lika lagi-lagi terburu-buru membunyikan angklung. Dengan suara lebih jengkel lagi, Bram berkomentar, "Tersandung batu yang sama, TIGA kali...."
Wah, kali ini saya benar-benar harus berhenti membacakan soal karena tak bisa berhenti tertawa. Kenapa ya? Tapi adegan itu tadi lucu sekali....
Ternyata sekarang, anak-anak di kelas saya juga menggunakan cara serupa. Kami sedang belajar tentang peribahasa. Saya tak menghujani mereka dengan daftar peribahasa dan artinya, tapi kami mengarang banyak ilustrasi cerita untuk memahami peribahasa itu. Bagaimana saya tahu mereka mulai mengerti atau tidak? Mereka mulai menggunakannya dalam percakapan sehari-hari, maka saya rasa mereka mulai paham.
Suatu ketika, saya pernah menawarkan mereka untuk bermain atau latihan pentas sebagai ganti pelajaran olahraga. Jawaban yang saya dapat, "Latihan saja bu, sambil menyelam minum air, kan sama-sama capeknya dengan olahraga."
Kalau sedang ribut bercanda waktu istirahat, kadang-kadang saya dengar juga selentingan satu atau dua kalimat.
Peribahasa menggali kubur sendiri juga sempat membuat kami ngobrol panjang tentang drugs abuse, masalah hormon dan teman saat puber menjelang, dan masa-masa sulit tapi seru itu. Diskusi kami ditutup dengan takkan harimau makan anaknya, jadi jangan pernah takut bercerita pada orang tua kalian.
Tadi siang kami bermain cerdas cermat untuk IPS. Ramainya bukan kepalang. Apalagi karena semua pasangan jengkel melihat Lika dan Bram terus melaju dan meninggalkan perolehan nilai yang lain. Saking bersemangatnya, Lika membunyikan angklung sebelum soal yang saya bacakan selesai. Ia dan Bram didiskualifikasi utk pertanyaan berikutnya. Sebentar kemudian, hal yang sama terjadi lagi. Bram mulai jengkel tapi tak bisa marah, maka ia pun berkomentar, "Tersandung batu yang sama dua kali. Eh, itu peribahasa juga kan, bu?"
Saya tertawa-tawa mendengarnya.
Satu pertanyaan berlalu, dan Lika lagi-lagi terburu-buru membunyikan angklung. Dengan suara lebih jengkel lagi, Bram berkomentar, "Tersandung batu yang sama, TIGA kali...."
Wah, kali ini saya benar-benar harus berhenti membacakan soal karena tak bisa berhenti tertawa. Kenapa ya? Tapi adegan itu tadi lucu sekali....
Tuesday, March 04, 2008
Sebulan Bersama Roald Dahl
Satu bulan lalu saya pergi ke toko buku dan membeli sepuluh buku karangan Roald Dahl. Saya membagikannya pada anak-anak dan meminta mereka membuat laporan tentang buku itu. Sepanjang minggu-minggu berikutnya, saya membuat beberapa pelajaran tentang penokohan dan perumpamaan menggunakan buku itu. Contoh-contohnya bisa dilihat di sini.
Tampaknya anak-anak cukup menyukai buku-bukunya sebab beberapa anak yang masih enggan membaca, atau biasanya kesulitan menceritakan kembali isi bukunya bisa bercerita dengan lancar tentang plot cerita dalam buku "jatahnya".
Kami melanjutkan kegiatan dengan melihat ekspresi apa saja yang digunakan Roald Dahl untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh-tokohnya. Kami mencoba menginderai; bagaimana Mrs. Trunchbull dalam Matilda bergerak, terlihat, terdengar, bahkan tercium. Segera saja seorang anak menemukan bahwa Dahl amatlah deskriptif dan suka menggunakan berbagai pengibaratan untuk menekankan suatu kesan.
Kami beranjak untuk melihat perumpamaan apa saja yang dibuat Dahl, mulai dari cokelat yang diperlakukan seperti emas hingga badan si Boggis yang sekurus pensil. Cukup menyenangkan.
Kemarin, anak-anak mengumpulkan laporan buku, terbaik dari empat laporan buku lainnya, tentang salah satu buku karangan Roald Dahl. Saya bangga dengan hasilnya.
Tahun depan, kalau saya masih mengajarkan topik yang sama, saya akan membahas lebih jauh tentang biografinya dulu dan apa hubungannya dengan cerita-cerita yang ditulis Roald Dahl. Mungkin lebih jauh lagi saya akan mengajak anak-anak membandingkan beberapa bukunya. Hehehe.
Tampaknya anak-anak cukup menyukai buku-bukunya sebab beberapa anak yang masih enggan membaca, atau biasanya kesulitan menceritakan kembali isi bukunya bisa bercerita dengan lancar tentang plot cerita dalam buku "jatahnya".
Kami melanjutkan kegiatan dengan melihat ekspresi apa saja yang digunakan Roald Dahl untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh-tokohnya. Kami mencoba menginderai; bagaimana Mrs. Trunchbull dalam Matilda bergerak, terlihat, terdengar, bahkan tercium. Segera saja seorang anak menemukan bahwa Dahl amatlah deskriptif dan suka menggunakan berbagai pengibaratan untuk menekankan suatu kesan.
Kami beranjak untuk melihat perumpamaan apa saja yang dibuat Dahl, mulai dari cokelat yang diperlakukan seperti emas hingga badan si Boggis yang sekurus pensil. Cukup menyenangkan.
Kemarin, anak-anak mengumpulkan laporan buku, terbaik dari empat laporan buku lainnya, tentang salah satu buku karangan Roald Dahl. Saya bangga dengan hasilnya.
Tahun depan, kalau saya masih mengajarkan topik yang sama, saya akan membahas lebih jauh tentang biografinya dulu dan apa hubungannya dengan cerita-cerita yang ditulis Roald Dahl. Mungkin lebih jauh lagi saya akan mengajak anak-anak membandingkan beberapa bukunya. Hehehe.
Monday, March 03, 2008
Beruntung Sekali
Saya menunda cerita tentang pementasan anak-anak akhir pekan lalu karena saya kehilangan kata-kata. Saya tidak tahu lagi bagaimana meletakkan indahnya, lucunya, harunya, merdunya, dan mengaggumkannya penampilan mereka dalam kata-kata saja. Jelas, sia-sia.
Tetapi melihat para orang tua tersenyum gembira (dan bangga, sepertinya), Ibu Kepala Sekolah yang tak kalah bahagianya, lalu sapaan selamat dan obrolan tentang pementasan itu pagi hari ini, saya tahu bahwa pementasan kemarin cukup berhasil.
Dan ketika pagi ini Mini memberikan sebuah amplop warna merah jambu dengan surat dan sebuah gelang biru buatannya sendiri, saya menyerah, saya harus menulis hari ini.
Mini mengucapkan terima kasih atas dukungan kami, guru-gurunya untuk pementasan yang mereka tampilkan Sabtu lalu. And, yes she did it again, mata saya kabur dengan air mata untuk beberapa detik pagi itu. Ah memang anak-anak ini, pinter bikin gurunya nangis!
Mini dan teman-temannya memang semestinya bangga pada apa yang sudah mereka kerjakan. Kelas lima ini benar-benar mengurusi segala sesuatunya sendiri, seperti yang pernah saya ceritakan. Saya dan para orang tua mengagumi determinasi mereka dan bagaimana mereka benar-benar bisa bekerja sama dan mengatasi konflik. Ya, siapa sih yang tidak bertengkar kalau sedang ada proyek bersama satu tim?
Selama satu bulan terakhir memperhatikan anak-anak berlatih, saya sering terkejut melihat bagaimana cepat mereka berkembang. Saya melihat Mini mau mendengarkan teman-temannya dan menanyakan pendapat mereka untuk setiap keputusan. Saya melihat Dito dan Leo berusaha setengah mati agar bisa menari sesuai irama. Saya melihat Bram ternyata begitu luwes dan begitu sabar mengajari teman-temannya. Saya melihat Dara mau bertenggang rasa pada teman-temannya. Saya melihat Lika dan Putu menjadi berani dan tampil dengan latang. Saya melihat Adam bertanggung jawab pada tugasnya melatih teman-temannya yang belum bisa menyanyi.
Kegiatan ini bukan tanpa masalah. Tentu kadang-kadang mereka bertengkar. Kadang-kadang mereka sulit mengambil keputusan bersama-sama. Seringkali ada yang mangkir latihan. Di hari H pun beberapa tetes air mata jatuh karena kecelakaan kecil merusak kostum. It didn't matter. Mereka tetap naik panggung dan menatap penonton sambil tersenyum seperti yang saya minta.
Saya dan seorang teman sependapat bahwa anak-anak ini adalah anak-anak yang beruntung. Beruntung karena mereka punya ruang yang amat luas untuk mencoba kemampuannya dan menantang dirinya sendiri.
Keberuntungan yang jadi berlipat-lipat karena mereka punya orang tua yang begitu penuh dukungan. Orang tua yang tak mencoba ikut campur menyelesaikan masalah anak-anak, orang tua yang sabar digeret-geret kian kemari dan dikacaukan jadwalnya hanya karena mereka ingin latihan di rumah Mita atau fitting kostum, dan masih pula mau mengantar pizza, aneka makanan kecil dan minuman untuk menghibur ketegangan anak-anak saat gladi resik.
Ayah, Ibu, saya rasa gelang dan surat terima kasih Mini (dan teman-temannya) juga pantas ditujukan untuk anda. Saya tahu lebih banyak orang tua yang terlalu cemas kalau anaknya tidak tampil sempurna di panggung, daripada anda yang mau mendampingi anak-anak berproses dengan cara mereka. Anda sepantasnya ikut bangga, mau menjadi orang tua yang memberi kesempatan untuk anak-anaknya. Tak heran kan, kalau anak-anaknya juga hebat seperti itu?
;)
Terima kasih untuk pizzanya, untuk pinjaman topengnya, untuk CD latihannya, untuk rekaman videonya, untuk tips mengikat kainnya, untuk pujiannya, dan untuk ... untuk datang, menonton, dan bergembira bersama kami.
Tetapi melihat para orang tua tersenyum gembira (dan bangga, sepertinya), Ibu Kepala Sekolah yang tak kalah bahagianya, lalu sapaan selamat dan obrolan tentang pementasan itu pagi hari ini, saya tahu bahwa pementasan kemarin cukup berhasil.
Dan ketika pagi ini Mini memberikan sebuah amplop warna merah jambu dengan surat dan sebuah gelang biru buatannya sendiri, saya menyerah, saya harus menulis hari ini.
Mini mengucapkan terima kasih atas dukungan kami, guru-gurunya untuk pementasan yang mereka tampilkan Sabtu lalu. And, yes she did it again, mata saya kabur dengan air mata untuk beberapa detik pagi itu. Ah memang anak-anak ini, pinter bikin gurunya nangis!
Mini dan teman-temannya memang semestinya bangga pada apa yang sudah mereka kerjakan. Kelas lima ini benar-benar mengurusi segala sesuatunya sendiri, seperti yang pernah saya ceritakan. Saya dan para orang tua mengagumi determinasi mereka dan bagaimana mereka benar-benar bisa bekerja sama dan mengatasi konflik. Ya, siapa sih yang tidak bertengkar kalau sedang ada proyek bersama satu tim?
Selama satu bulan terakhir memperhatikan anak-anak berlatih, saya sering terkejut melihat bagaimana cepat mereka berkembang. Saya melihat Mini mau mendengarkan teman-temannya dan menanyakan pendapat mereka untuk setiap keputusan. Saya melihat Dito dan Leo berusaha setengah mati agar bisa menari sesuai irama. Saya melihat Bram ternyata begitu luwes dan begitu sabar mengajari teman-temannya. Saya melihat Dara mau bertenggang rasa pada teman-temannya. Saya melihat Lika dan Putu menjadi berani dan tampil dengan latang. Saya melihat Adam bertanggung jawab pada tugasnya melatih teman-temannya yang belum bisa menyanyi.
Kegiatan ini bukan tanpa masalah. Tentu kadang-kadang mereka bertengkar. Kadang-kadang mereka sulit mengambil keputusan bersama-sama. Seringkali ada yang mangkir latihan. Di hari H pun beberapa tetes air mata jatuh karena kecelakaan kecil merusak kostum. It didn't matter. Mereka tetap naik panggung dan menatap penonton sambil tersenyum seperti yang saya minta.
Saya dan seorang teman sependapat bahwa anak-anak ini adalah anak-anak yang beruntung. Beruntung karena mereka punya ruang yang amat luas untuk mencoba kemampuannya dan menantang dirinya sendiri.
Keberuntungan yang jadi berlipat-lipat karena mereka punya orang tua yang begitu penuh dukungan. Orang tua yang tak mencoba ikut campur menyelesaikan masalah anak-anak, orang tua yang sabar digeret-geret kian kemari dan dikacaukan jadwalnya hanya karena mereka ingin latihan di rumah Mita atau fitting kostum, dan masih pula mau mengantar pizza, aneka makanan kecil dan minuman untuk menghibur ketegangan anak-anak saat gladi resik.
Ayah, Ibu, saya rasa gelang dan surat terima kasih Mini (dan teman-temannya) juga pantas ditujukan untuk anda. Saya tahu lebih banyak orang tua yang terlalu cemas kalau anaknya tidak tampil sempurna di panggung, daripada anda yang mau mendampingi anak-anak berproses dengan cara mereka. Anda sepantasnya ikut bangga, mau menjadi orang tua yang memberi kesempatan untuk anak-anaknya. Tak heran kan, kalau anak-anaknya juga hebat seperti itu?
;)
Terima kasih untuk pizzanya, untuk pinjaman topengnya, untuk CD latihannya, untuk rekaman videonya, untuk tips mengikat kainnya, untuk pujiannya, dan untuk ... untuk datang, menonton, dan bergembira bersama kami.
Subscribe to:
Posts (Atom)