Monday, March 03, 2008

Beruntung Sekali

Saya menunda cerita tentang pementasan anak-anak akhir pekan lalu karena saya kehilangan kata-kata. Saya tidak tahu lagi bagaimana meletakkan indahnya, lucunya, harunya, merdunya, dan mengaggumkannya penampilan mereka dalam kata-kata saja. Jelas, sia-sia.

Tetapi melihat para orang tua tersenyum gembira (dan bangga, sepertinya), Ibu Kepala Sekolah yang tak kalah bahagianya, lalu sapaan selamat dan obrolan tentang pementasan itu pagi hari ini, saya tahu bahwa pementasan kemarin cukup berhasil.

Dan ketika pagi ini Mini memberikan sebuah amplop warna merah jambu dengan surat dan sebuah gelang biru buatannya sendiri, saya menyerah, saya harus menulis hari ini.

Mini mengucapkan terima kasih atas dukungan kami, guru-gurunya untuk pementasan yang mereka tampilkan Sabtu lalu. And, yes she did it again, mata saya kabur dengan air mata untuk beberapa detik pagi itu. Ah memang anak-anak ini, pinter bikin gurunya nangis!

Mini dan teman-temannya memang semestinya bangga pada apa yang sudah mereka kerjakan. Kelas lima ini benar-benar mengurusi segala sesuatunya sendiri, seperti yang pernah saya ceritakan. Saya dan para orang tua mengagumi determinasi mereka dan bagaimana mereka benar-benar bisa bekerja sama dan mengatasi konflik. Ya, siapa sih yang tidak bertengkar kalau sedang ada proyek bersama satu tim?

Selama satu bulan terakhir memperhatikan anak-anak berlatih, saya sering terkejut melihat bagaimana cepat mereka berkembang. Saya melihat Mini mau mendengarkan teman-temannya dan menanyakan pendapat mereka untuk setiap keputusan. Saya melihat Dito dan Leo berusaha setengah mati agar bisa menari sesuai irama. Saya melihat Bram ternyata begitu luwes dan begitu sabar mengajari teman-temannya. Saya melihat Dara mau bertenggang rasa pada teman-temannya. Saya melihat Lika dan Putu menjadi berani dan tampil dengan latang. Saya melihat Adam bertanggung jawab pada tugasnya melatih teman-temannya yang belum bisa menyanyi.

Kegiatan ini bukan tanpa masalah. Tentu kadang-kadang mereka bertengkar. Kadang-kadang mereka sulit mengambil keputusan bersama-sama. Seringkali ada yang mangkir latihan. Di hari H pun beberapa tetes air mata jatuh karena kecelakaan kecil merusak kostum. It didn't matter. Mereka tetap naik panggung dan menatap penonton sambil tersenyum seperti yang saya minta.

Saya dan seorang teman sependapat bahwa anak-anak ini adalah anak-anak yang beruntung. Beruntung karena mereka punya ruang yang amat luas untuk mencoba kemampuannya dan menantang dirinya sendiri.

Keberuntungan yang jadi berlipat-lipat karena mereka punya orang tua yang begitu penuh dukungan. Orang tua yang tak mencoba ikut campur menyelesaikan masalah anak-anak, orang tua yang sabar digeret-geret kian kemari dan dikacaukan jadwalnya hanya karena mereka ingin latihan di rumah Mita atau fitting kostum, dan masih pula mau mengantar pizza, aneka makanan kecil dan minuman untuk menghibur ketegangan anak-anak saat gladi resik.

Ayah, Ibu, saya rasa gelang dan surat terima kasih Mini (dan teman-temannya) juga pantas ditujukan untuk anda. Saya tahu lebih banyak orang tua yang terlalu cemas kalau anaknya tidak tampil sempurna di panggung, daripada anda yang mau mendampingi anak-anak berproses dengan cara mereka. Anda sepantasnya ikut bangga, mau menjadi orang tua yang memberi kesempatan untuk anak-anaknya. Tak heran kan, kalau anak-anaknya juga hebat seperti itu?
;)

Terima kasih untuk pizzanya, untuk pinjaman topengnya, untuk CD latihannya, untuk rekaman videonya, untuk tips mengikat kainnya, untuk pujiannya, dan untuk ... untuk datang, menonton, dan bergembira bersama kami.

3 comments:

Anonymous said...

Ibu Tia, yang paling beruntung adalah sekolah tempat Ibu mengajar, karena punya seorang ibu guru yang memiliki "passion" begitu besar dalam mendidik, bukan sekedar mengajar. Saya jadi berpikir, ternyata kebingungan setelah lulus SD bukan memilih sekolah dengan sistem belajar ini atau itu, tapi memilih sekolah yang memiliki guru dengan "passion" seperti yang dimiliki Ibu Tia.
Orang tua murid.

Anonymous said...

tahun depan... akan lebih menyenangkan lagi kalau para guru naik panggung juga... ya ya ya...
:D

Tia said...

Orangtua Anonim :
Saya tersanjung :) Tapi saya tahu di luar sana guru-guru yang lebih passionate dan ulet dengan segala keterbatasan di sekitar mereka jauh lebih banyak lagi. Sayangnya, mereka tidak ada di sekolah-sekolah ternama dengan admission fee jutaan rupiah.


Carlo's Mum :
Nggak cukup yah kita teler nemenin anak-anak latihan? hahahaha....