Tuesday, May 20, 2008

Baca Koran

Tahun ini UASBN (Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional) untuk tingkat SD mulai diberlakukan. Minggu lalu saya membaca sebuah artikel di surat kabar yang menarik.

Hanif Nurcholis menunjukkan dengan gamblang dan hati-hati (wah, saya yakin beliau mengajar dengan enak dan jelas di depan kelas) bagaimana UASBN untuk mata pelajaran Indonesia tidak valid mengukur hasil belajar yang sesuai dengan standar dan proses belajar di kelas.

Begini, sederhananya, pelajaran Bahasa Indonesia mencakup ketrampilan membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan. Jadi selama di Sekolah Dasar, anak-anak belajar berkomunikasi dengan empat cara itu. UASBN hanya menguji aspek membaca dan menulis saja. Dengan asumsi empat aspek itu sama pentingnya dan diajarkan dengan pembagian waktu yang merata, maka UASBN hanya menguji 50 % dari isi kurikulum nasional pelajaran Bahasa Indonesia.

Benar begitu?

Soal-soal UASBN adalah soal berbentuk pilihan ganda. Semua soal pilihan ganda. Bagaimana menilai ketrampilan menulis dalam soal pilihan ganda? Apakah pertanyaan pilihan ganda tentang penggunaan awalan ber-, misalnya, merefleksikan kemampuan anak mengekspresikan dirinya dalam menulis? Apakah soal pilihan ganda untuk memilih mana pantun, dan mana puisi menggambarkan kemampuan anak membuat puisi? Apakah memilih mana pembuka surat yang paling sopan bercerita tentang kemampuan anak menulis surat?

Rasanya sih tidak, ya.

Benar kata Hanif Nurcholis bahwa menulis adalah kemampuan produktif untuk mengembangkan gagasan di otak. Sedang membaca soal pilihan ganda tidak ada urusannya dengan memproduksi gagasan.

Berarti, sebenarnya UASBN hanya menilai aspek membaca saja. Lho, berarti tidak hanya 50 % tetapi 25 % dong.

Tulisan Hanif Nurcholis ini menguatkan apa yang selalu saya risaukan. Bahwa ujian semacam UASBN tidak selalu adil menilai proses belajar yang terjadi. Bahwa untuk ikut ujian anak-anak harus berlatih ekstra keras, menginap di rumah kepala desa, dan seterusnya, buat saya tidak masalah. No pain, no gain. Dengan kerja keras mereka akan ingat bahwa hasilnya tidak boleh disia-siakan. Tapi, apa gunanya kerja keras kalau ternyata alat ujinya tidak valid dan reliable?

Meski saya juga masih kalang kabut belajar mengajar Bahasa Indonesia, saya cukup kagum dengan perkembangan bahasa anak-anak di sekolah kami. Kelas 5 setidaknya sudah lima tahun bersama kami belajar menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Anak-anak tahu waktu dan tempat untuk menggunakan bahasa formal dan non formal. Mereka selalu presentasi dengan suara keras dan jelas. Anak-anak hampir tak pernah lagi bertanya di luar konteks pembicaraan. Mereka tahu bagaimana berdebat dan berbeda pendapat. Mereka menyelesaikan masalah dengan berbicara baik-baik. Kecepatan dan ketepatan membaca mereka 20 % di atas batas kecepatan dan ketepatan membaca yang disyaratkan oleh standar kompetensi nasional. Mereka bisa dan biasa menggunakan daftar isi, indeks, ensiklopedi, buku, dan kamus.

Kegiatan kami membuat laporan buku setiap kuartal sering membuat saya terkagum-kagum. Ketika guru SMA masih memberi tugas membuat sinopsis novel, anak-anak di kelas saya sudah membahas penokohan dan latar cerita. Beberapa anak melesat jauh menggunakan kalimat-kalimat yang mengagumkan seperti


...buku ini memiliki tema sederhana, namun pengembangannya amat menarik...

...Dini adalah anak yang suka berpikir tetapi sering memilih untuk diam, sehingga ia terkesan sebagai anak yang pendiam...

...sayang, pengarang buku ini kurang memberi ruang kepada pembaca untuk...

... buku ini memiliki alur bolak balik sehingga menarik untuk dibaca...

Beberapa yang lain juga berkembang jauh jika kita membaca tulisan pertama mereka, dan laporan buku yang terakhir diserahkan. Dibalik itu, mereka semua amat terbuka pada umpan balik dan biasanya selalu mau memperbaiki tulisannya untuk diperiksa ulang!

Semua ini tak akan tampak dalam soal pilihan ganda UASBN.

Saya sedang berpikir untuk mengajari anak-anak membuat portfolio. Semoga sempat ya, mengingat tiga minggu ke depan jadwal kami luar biasa padat. Saya ingin mengajak mereka mengumpulkan karya-karya terbaiknya, dan menjilidnya menjadi satu. Kelak, di sekolah manapun mereka diwawancara untuk masuk, saya akan minta mereka membawa porfolionya dan bercerita apa yang sudah mereka kerjakan.

No comments: