Dari berbagai jenis anak-anak yang pernah saya temui, mulai yang amat pemalu sampai mudah menangis, saya paling sedih jika bertemu dengan anak-anak dengan negative thinking kronis.
Apapun di sekitarnya menyebalkan.
Teman-temannya tak ada yang baik.
Gurunya galak.
Tak peduli sebaik apa ia diperlakukan, banyak dipuji, ditemani dengan tulus, dibuat senang, dimaklumi, tetap saja, semua buruk.
Temanku mendiamkan aku.
Kelompokku tak bisa bekerja sama.
Aku selalu diejek.
Semua tahu aku benci si anu.
Aku capek.
Semua tak peduli.
Sungguh miris rasanya. Khawatir saya dalam hati. Saya tahu betul hal-hal seperti ini cenderung menetap. Kebiasaan berpikir buruk tentang apa saja menetap hingga tua. Hingga menjadi orang yang tidak bisa bahagia serta lelah tak putus-putus. Dan, entah bagaimana, sepertinya semua kejadian buruk suka pada orang seperti ini.
Selain mencontohkan, selain tak bosan-bosan mengingatkan, selain tekun hanya menegur tingkah laku yang salah, bukan person yang saya benci... apa lagi yang bisa saya lakukan sebagai orang dewasa di dekat anak-anak seperti ini?
Bagaimana cara berbagi bahwa bahagia, bahkan surga itu hanya sebatas berpikir positif dan punya harapan?
Friday, June 27, 2008
Tuesday, June 17, 2008
Pelajaran Bernama PLKJ, eh, PLBJ
Jadi, pada semua sekolah dasar di Jakarta, ada sebuah mata pelajaran muatan lokal bernama PLKJ, eh, ternyata baru saja saya tahu namanya menjadi PLBJ (Pendidikan Lingkungan Budaya Jakarta).
Apa isinya?
Macam-macam; permainan tradisional, cerita rakyat, kesenian Jakarta dan masalah lingkungan seperti air, polusi, sampah, dan sebagainya.
Sepintas tampak menarik, tapi kalau melihat bagaimana materi disajikan dalam buku pelajaran aneka penerbit , atau bagaimana permainan tradisional DIUJIKAN dalam pilihan ganda, kadang-kadang saya pun ikut putus asa.
Tetapi, untuk apa mengomel terus? Di kuartal terakhir ini saya tidak membuat kuis, evaluasi, atau bentuk tertulis apapun tentang PLKJ atau PLBJ itu. Kelas 5 membahas tentang ruang terbuka hijau dan selama berminggu-minggu kami berkutat membuat maket kota dengan ruang hijau 30 %.
Kami sudah tahu, Jakarta padat luar biasa. Kami juga sudah tahu orang-orang yang tinggal dan bekerja di Jakarta tak mungkin diusir. Kami tahu bahwa seharusnya ada 30 % ruang terbuka hijau di sebuah kota, sementara Jakarta hanya punya 7 % saja. Sebagian berupa lapangan golf, yang tentu saja tak bisa dinikmati banyak orang. Can we do something about it?
Dengan aneka persediaan art and craft di kelas, ditambah barang-barang bekas, jadilah anak-anak membuat maket kota dengan syarat, 30 % ruang terbuka hijau.
Saat presentasi tiba. Kelompok Lika, Mita, dan Dito menggotong maketnya ke depan kelas dan mulai bercerita. Mereka menempatkan hutan kota di sebelah tempat parkir mobil yang padat. Mereka membuat taman atap dan mengganti semua pagar besi dengan tanaman merambat atau tanaman yang bisa dijadikan pagar. Mereka membuat peraturan setiap rumah harus menanam satu pohon (atau meletakkan pot-pot tanaman) dan memperlebar bahu jalan sehingga orang bisa bersepeda atau berjalan kaki. Mereka bahkan menambahkan ide jembatan akar (seperti yang ada di Sumatera Barat) untuk menghubungkan gedung satu dan lainnya!
Teman-teman yang lain terkesan dengan presentasi mereka sehingga berkomentar, "Ini sepertinya agak belum selesai (menunjuk bagian putih kosong dan pondasi supermarket). Kamu selesaikan saja, lalu kirim ke pemerintah."
Kelompok Adam, Bram, Putu dan Saras membuka presentasi dengan kalimat, "Kelompok kami lebih fokus pada life style."
Maksudmu?
Mereka menunjukkan maket kota yang amat sibuk dan penuh gedung-gedung tinggi, berikut mobil sport warna cerah yang melintas. Adam menunjukkan restoran cepat saji dekat taman kota yang tidak menyediakan kemasan plastik. "Pengunjung harus bawa gelas sendiri, dan di kota ini trendnya begitu."
Mereka membuat area khusus jalan kaki dan bersepeda yang cukup luas. Hanya jalan utama saja yang bisa dilintasi mobil. Selebihnya, harus jalan kaki atau naik sepeda, kata mereka. Kemudian, Adam dengan bangga menunjukkan kompleks pemakaman yang hijau dan penuh bunga-bunga hasil karyanya. Teman-teman tertawa, tapi mereka setuju bahwa kelompok ini pun berusaha menghijaukan kotanya.
Saya tak perlu ujian bukan, untuk melihat apakah anak-anak mengerti tentang apa gunanya ruang hijau dan bagaimana menambah ruang hijau. Apakah mereka akan ingat materi ini?
Beberapa hari kemudian, saat makan siang, seseorang bercerita dengan nada kesal pada saya,
"Bu, ternyata ada lho peraturannya bahwa setiap rumah itu harus ada pekarangan dan pohonnya!"
Apa isinya?
Macam-macam; permainan tradisional, cerita rakyat, kesenian Jakarta dan masalah lingkungan seperti air, polusi, sampah, dan sebagainya.
Sepintas tampak menarik, tapi kalau melihat bagaimana materi disajikan dalam buku pelajaran aneka penerbit , atau bagaimana permainan tradisional DIUJIKAN dalam pilihan ganda, kadang-kadang saya pun ikut putus asa.
Tetapi, untuk apa mengomel terus? Di kuartal terakhir ini saya tidak membuat kuis, evaluasi, atau bentuk tertulis apapun tentang PLKJ atau PLBJ itu. Kelas 5 membahas tentang ruang terbuka hijau dan selama berminggu-minggu kami berkutat membuat maket kota dengan ruang hijau 30 %.
Kami sudah tahu, Jakarta padat luar biasa. Kami juga sudah tahu orang-orang yang tinggal dan bekerja di Jakarta tak mungkin diusir. Kami tahu bahwa seharusnya ada 30 % ruang terbuka hijau di sebuah kota, sementara Jakarta hanya punya 7 % saja. Sebagian berupa lapangan golf, yang tentu saja tak bisa dinikmati banyak orang. Can we do something about it?
Dengan aneka persediaan art and craft di kelas, ditambah barang-barang bekas, jadilah anak-anak membuat maket kota dengan syarat, 30 % ruang terbuka hijau.
Saat presentasi tiba. Kelompok Lika, Mita, dan Dito menggotong maketnya ke depan kelas dan mulai bercerita. Mereka menempatkan hutan kota di sebelah tempat parkir mobil yang padat. Mereka membuat taman atap dan mengganti semua pagar besi dengan tanaman merambat atau tanaman yang bisa dijadikan pagar. Mereka membuat peraturan setiap rumah harus menanam satu pohon (atau meletakkan pot-pot tanaman) dan memperlebar bahu jalan sehingga orang bisa bersepeda atau berjalan kaki. Mereka bahkan menambahkan ide jembatan akar (seperti yang ada di Sumatera Barat) untuk menghubungkan gedung satu dan lainnya!
Teman-teman yang lain terkesan dengan presentasi mereka sehingga berkomentar, "Ini sepertinya agak belum selesai (menunjuk bagian putih kosong dan pondasi supermarket). Kamu selesaikan saja, lalu kirim ke pemerintah."
Kelompok Adam, Bram, Putu dan Saras membuka presentasi dengan kalimat, "Kelompok kami lebih fokus pada life style."
Maksudmu?
Mereka menunjukkan maket kota yang amat sibuk dan penuh gedung-gedung tinggi, berikut mobil sport warna cerah yang melintas. Adam menunjukkan restoran cepat saji dekat taman kota yang tidak menyediakan kemasan plastik. "Pengunjung harus bawa gelas sendiri, dan di kota ini trendnya begitu."
Mereka membuat area khusus jalan kaki dan bersepeda yang cukup luas. Hanya jalan utama saja yang bisa dilintasi mobil. Selebihnya, harus jalan kaki atau naik sepeda, kata mereka. Kemudian, Adam dengan bangga menunjukkan kompleks pemakaman yang hijau dan penuh bunga-bunga hasil karyanya. Teman-teman tertawa, tapi mereka setuju bahwa kelompok ini pun berusaha menghijaukan kotanya.
Saya tak perlu ujian bukan, untuk melihat apakah anak-anak mengerti tentang apa gunanya ruang hijau dan bagaimana menambah ruang hijau. Apakah mereka akan ingat materi ini?
Beberapa hari kemudian, saat makan siang, seseorang bercerita dengan nada kesal pada saya,
"Bu, ternyata ada lho peraturannya bahwa setiap rumah itu harus ada pekarangan dan pohonnya!"
Sunday, June 15, 2008
I hate saying goodbye
Sekali lagi, satu tahun ajaran berlalu. Saya tak perlu lagi bercerita betapa sibuk dan rusuhnya kami tahun ini. Anda sudah menikmatinya bersama kami, - tanpa terasa- sepanjang tahun ini.
Saya belum pernah merasa puas mengakhiri suatu kelas seperti kali ini. Secara statistik peta nilai anak-anak semakin 'merapat ke tengah'. Ini berarti saya makin jarang menemui nilai 3 atau 4. Sebaliknya anak-anak yang biasa berada di jajaran nilai tinggi masih awas bahwa jika tidak menguasai materi, nilai mereka bisa menggelinding ke tengah. Mita yang biasanya mudah panen nilai 90 dan 100 misalnya, agak lama merenungi nilai ulangan umum IPA yang hanya 82. "Aku ketiduran Bu, waktu belajar."
Dan, saat saya duduk di meja membaca lembar-lembar self evaluation anak-anak, saya makin terharu-bangga-sedih lagi.
"Akhirnya bu, aku bisa bilang aku suka matematika. Aku rasa matematika bisa menantang aku berpikir".
Anak ini sejak dulu saya kenal anti matematika. Ia selalu berkeluh kesah dan menggigiti kuku juga ngantuk saat jam matematika tiba. Coba tebak, hasil akhir evaluasi matematikanya adalah 92!
"Aku bangga sekali dengan peta Kalimantan yang kubuat. Ini tugas paling sulit kuartal ini, perlu ketelitian dan hati-hati. But I made it!"
Ia dilaporkan psikolognya punya kesulitan visual motorik yang salah satunya berarti sulit menyalin. Ia berhasil memperbesar peta Kalimantan dua kali lipat dengan tangannya sendiri dan hasilnya amat mengaggumkan.
"Aku sangat suka dengan tugas pariwisata. Aku jadi sadar bahwa Indonesia itu besar, kaya, dan amat indah. Cara presentasi kami kemarin juga sangat menantang!"
"Aku tidak pernah berwisata. Tapi ternyata aku bisa membuat program wisata yang seru. Aku mau buat lagi yang lebih bagus!'
"Aku pikir tahun ini aku sudah lebih mandiri dan bertanggung jawab. Aku bisa mengatur sendiri tugas-tugasku agar selesai tepat waktu."
Semua yang mereka tulis sama dengan catatan-catatan saya tentang mereka. Saya dan mereka ternyata dapat menilai perkembangan mereka dari sudut pandang yang sama. Buat saya ini hal yang amat penting. Anak-anak punya self concious yang tinggi. Inilah bekal mereka untuk mengenali dirinya sendiri. Jika mereka sudah kenal dirinya sendiri, bisa mengukur kekuatannya, mengenali kelemahannya dan tahu strategi apa yang mereka butuhkan untuk maju,..
...saya rasa mereka sudah siap pula untuk berkembang sendiri.
Anak-anak pun berbaik hati menulis evaluasi tentang saya. Yang mengharukan adalah, pernyataan mereka menunjukkan bahwa mereka mengenali tujuan saya.
"You know how to teach us in the way we like, Bu Tia."
"Aku senang Bu Tia selalu menegur kalau ada yang berbuat salah. Aku jadi ingin berusaha untuk tidak membuat kesalahan."
Seusai berdoa di hari terakhir kelas kami Jumat lalu, anak-anak enggan mengucap selamat siang. Kami hanya saling memandang dan berkata selamat siang dengan lirih.
"Terima kasih untuk tahun ini," kata saya sebelum mulai berkaca-kaca lagi.
Anak-anak lalu berlarian keluar menyanyi tentang liburan.
Oh, i hate saying good bye.
Saya belum pernah merasa puas mengakhiri suatu kelas seperti kali ini. Secara statistik peta nilai anak-anak semakin 'merapat ke tengah'. Ini berarti saya makin jarang menemui nilai 3 atau 4. Sebaliknya anak-anak yang biasa berada di jajaran nilai tinggi masih awas bahwa jika tidak menguasai materi, nilai mereka bisa menggelinding ke tengah. Mita yang biasanya mudah panen nilai 90 dan 100 misalnya, agak lama merenungi nilai ulangan umum IPA yang hanya 82. "Aku ketiduran Bu, waktu belajar."
Dan, saat saya duduk di meja membaca lembar-lembar self evaluation anak-anak, saya makin terharu-bangga-sedih lagi.
"Akhirnya bu, aku bisa bilang aku suka matematika. Aku rasa matematika bisa menantang aku berpikir".
Anak ini sejak dulu saya kenal anti matematika. Ia selalu berkeluh kesah dan menggigiti kuku juga ngantuk saat jam matematika tiba. Coba tebak, hasil akhir evaluasi matematikanya adalah 92!
"Aku bangga sekali dengan peta Kalimantan yang kubuat. Ini tugas paling sulit kuartal ini, perlu ketelitian dan hati-hati. But I made it!"
Ia dilaporkan psikolognya punya kesulitan visual motorik yang salah satunya berarti sulit menyalin. Ia berhasil memperbesar peta Kalimantan dua kali lipat dengan tangannya sendiri dan hasilnya amat mengaggumkan.
"Aku sangat suka dengan tugas pariwisata. Aku jadi sadar bahwa Indonesia itu besar, kaya, dan amat indah. Cara presentasi kami kemarin juga sangat menantang!"
"Aku tidak pernah berwisata. Tapi ternyata aku bisa membuat program wisata yang seru. Aku mau buat lagi yang lebih bagus!'
"Aku pikir tahun ini aku sudah lebih mandiri dan bertanggung jawab. Aku bisa mengatur sendiri tugas-tugasku agar selesai tepat waktu."
Semua yang mereka tulis sama dengan catatan-catatan saya tentang mereka. Saya dan mereka ternyata dapat menilai perkembangan mereka dari sudut pandang yang sama. Buat saya ini hal yang amat penting. Anak-anak punya self concious yang tinggi. Inilah bekal mereka untuk mengenali dirinya sendiri. Jika mereka sudah kenal dirinya sendiri, bisa mengukur kekuatannya, mengenali kelemahannya dan tahu strategi apa yang mereka butuhkan untuk maju,..
...saya rasa mereka sudah siap pula untuk berkembang sendiri.
Anak-anak pun berbaik hati menulis evaluasi tentang saya. Yang mengharukan adalah, pernyataan mereka menunjukkan bahwa mereka mengenali tujuan saya.
"You know how to teach us in the way we like, Bu Tia."
"Aku senang Bu Tia selalu menegur kalau ada yang berbuat salah. Aku jadi ingin berusaha untuk tidak membuat kesalahan."
Seusai berdoa di hari terakhir kelas kami Jumat lalu, anak-anak enggan mengucap selamat siang. Kami hanya saling memandang dan berkata selamat siang dengan lirih.
"Terima kasih untuk tahun ini," kata saya sebelum mulai berkaca-kaca lagi.
Anak-anak lalu berlarian keluar menyanyi tentang liburan.
Oh, i hate saying good bye.
Wednesday, June 11, 2008
Si Anak Tengah
Suatu ketika, saya pernah membaca buku yang ditulis seorang guru. Ia menceritakan pengalamannya mengajar di salah satu kelas, dari sekian puluh kelas yang pernah diajarnya puluhan tahun.
Saya ingat, dalam salah satu halamannya, ada murid guru ini yang berkomentar bahwa gurunya adalah guru yang baik karena sangat peduli pada murid-muridnya yang perlu perhatian khusus dan sangat menghargai anak-anak yang cerdas. Murid kecil ini adalah "si anak tengah" di kelas. Anak yang tidak pernah merepotkan, tapi juga tidak menonjol. Murid kecil ini melanjutkan, tapi kadang-kadang saya senang kalau Ibu juga punya waktu untuk saya.
Jawaban itu membuat saya tersentuh.
Hari ini saya mendapat teguran serupa. Kemarin, saya meninggalkan kelas siang hari karena ada keperluan lain. Anak-anak menulis refleksi akhir tahunnya ditemani Ibu Andin. Baru tadi pagi saya berkesempatan membaca tulisan anak-anak.
Salah seorang menulis begini, untuk saya
"Ibu, hati-hati kalau tahun depan ada yang kesusahan. Soalnya saya sering."
Apakah kalimat itu membingungkan? Baik, mudahnya seperti ini: Ibu, tahun depan coba lebih perhatian pada anak-anak yang (diam-diam) mengalami kesulitan. Saya sering mengalami kesulitan (dan tidak tahu harus bagaimana).
Murid saya ini adalah anak yang amat ceria dan murah hati. Hanya saja ia sering mengalami kesulitan mengekspresikan dirinya dan menangkap ekspresi orang lain dengan tepat. Dalam urusan pelajaran, ia SELALU antusias; tak pernah mengeluh, tapi jarang juga mendapat hasil yang benar-benar baik. Ada kalanya saya menganggap itulah usaha maksimalnya dan saya tidak selalu mendorongnya hingga ke puncak.
Kalimat yang ia tulis membuat saya amat merasa bersalah sekaligus sedih.
Murid saya hanya sepuluh dan saya guru yang amat antusias. Tetapi, tetap saja, ada yang terlewat dari perhatian saya dan ternyata hal itu adalah hal penting baginya. Bukankah saya semestinya peka?
Ah, Nak, maafkan Bu Tia ya, kalau ternyata saya masih harus banyak belajar membagi perhatian bahkan pada hal-hal yang tak terlihat kasat mata di depan saya tapi sebenarnya ada.
Saya ingat, dalam salah satu halamannya, ada murid guru ini yang berkomentar bahwa gurunya adalah guru yang baik karena sangat peduli pada murid-muridnya yang perlu perhatian khusus dan sangat menghargai anak-anak yang cerdas. Murid kecil ini adalah "si anak tengah" di kelas. Anak yang tidak pernah merepotkan, tapi juga tidak menonjol. Murid kecil ini melanjutkan, tapi kadang-kadang saya senang kalau Ibu juga punya waktu untuk saya.
Jawaban itu membuat saya tersentuh.
Hari ini saya mendapat teguran serupa. Kemarin, saya meninggalkan kelas siang hari karena ada keperluan lain. Anak-anak menulis refleksi akhir tahunnya ditemani Ibu Andin. Baru tadi pagi saya berkesempatan membaca tulisan anak-anak.
Salah seorang menulis begini, untuk saya
"Ibu, hati-hati kalau tahun depan ada yang kesusahan. Soalnya saya sering."
Apakah kalimat itu membingungkan? Baik, mudahnya seperti ini: Ibu, tahun depan coba lebih perhatian pada anak-anak yang (diam-diam) mengalami kesulitan. Saya sering mengalami kesulitan (dan tidak tahu harus bagaimana).
Murid saya ini adalah anak yang amat ceria dan murah hati. Hanya saja ia sering mengalami kesulitan mengekspresikan dirinya dan menangkap ekspresi orang lain dengan tepat. Dalam urusan pelajaran, ia SELALU antusias; tak pernah mengeluh, tapi jarang juga mendapat hasil yang benar-benar baik. Ada kalanya saya menganggap itulah usaha maksimalnya dan saya tidak selalu mendorongnya hingga ke puncak.
Kalimat yang ia tulis membuat saya amat merasa bersalah sekaligus sedih.
Murid saya hanya sepuluh dan saya guru yang amat antusias. Tetapi, tetap saja, ada yang terlewat dari perhatian saya dan ternyata hal itu adalah hal penting baginya. Bukankah saya semestinya peka?
Ah, Nak, maafkan Bu Tia ya, kalau ternyata saya masih harus banyak belajar membagi perhatian bahkan pada hal-hal yang tak terlihat kasat mata di depan saya tapi sebenarnya ada.
Monday, June 09, 2008
Taking Pictures
Saya tidak pandai memotret, tidak sebaik saya menulis. Tapi sepanjang tahun mengajar, saya senang memotret anak-anak dalam berbagai kegiatannya. Setelah sekian tahun, saya baru menyadari bahwa saya menyimpan foto-foto anak-anak sejak mereka masih ompong (karena gigi susunya baru tanggal) sampai sekarang gigi mereka sudah tumpang tindih. Hehehe.
Satu hal yang tidak berubah dari foto-foto itu. Sejak dulu sampai sekarang mereka selalu tampak engaged dengan keadaan sekitarnya. Di mana-mana saya selalu melihat mata yang antusias, tangan yang sibuk, dan senyum yang selalu terkembang. Ditambah kelas berantakan dan pakaian warna-warni mereka, foto-foto itu jadinya nggak jelek-jelek amat.
Satu hal yang tidak berubah dari foto-foto itu. Sejak dulu sampai sekarang mereka selalu tampak engaged dengan keadaan sekitarnya. Di mana-mana saya selalu melihat mata yang antusias, tangan yang sibuk, dan senyum yang selalu terkembang. Ditambah kelas berantakan dan pakaian warna-warni mereka, foto-foto itu jadinya nggak jelek-jelek amat.
Saturday, June 07, 2008
Tersisa Satu Minggu (1)
Satu minggu sebelum ulangan umum di sekolah adalah minggu paling rusuh. Susah sekali mendapatkan jatah ruang terbuka karena hampir semua kelas memilih untuk melakukan permainan di luar ruangan.
Satu minggu sebelum ulangan umum.
Anak-anak justru sibuk teriak-teriak kegirangan dan berlarian.
Sekolah aneh.
Satu minggu sebelum ulangan umum.
Anak-anak justru sibuk teriak-teriak kegirangan dan berlarian.
Sekolah aneh.
Wednesday, June 04, 2008
Lagi, tentang Indonesia
Melanjutkan cerita Planet Kesepian, akhirnya anak-anak jadi juga bermain peran jadi agen wisata dan wisatawan. Kegiatan yang saya jadwalkan hanya satu kali pertemuan molor jadi dua kali pertemuan. Bergantian anak-anak mempresentasikan program wisatanya pada teman-teman yang berlagak jadi wisatawan (dengan topi, backpack, dan kacamata hitam).
Serius lho, mereka berjualan program dan cerewet bertanya pada teman. Ada yang membawa kain songket dan tenun ikat Nusa Tenggara segala untuk ditunjukkan pada calon-calon klien. Kelas kami riuh rendah dengan suara lima orang pedagang paket tur dan lima orang klien super cerewet. Saya berkeliling sambil mendengarkan ocehan mereka.
Adam : Jadi apa lagi yang bisa saya lihat.
Lika : Oh, ini ada adu kerbau yang menarik. (Sedang bercerita tentang Sumatera Barat).
Adam : Wah, jangan itu. Saya takut adu kerbau.
Lika : Selain itu Bapak bisa juga berkunjung ke Jam Gadang. Bapak bisa foto-foto di sana.
Adam : oooo.... Jam Gadang seperti di New York ya?
Lika : (hening sejenak) Hm, maksud bapak seperti di London?
Adam : hihihi, ya ya ya. Itu maksud saya. Terima kasih ya (sambil menepuk-nepuk bahu Lika).
Mereka meneruskan pembicaraan sampai ke acara jalan-jalan ke Nias. Lika bercerita tentang masakan dari daging anjing. Adam yang sedang jatuh cinta pada golden retriever peliharaannya langsung protes.
Adam : Daging anjing? Apa tidak kasihan itu mereka? Aduuh, tur anda kok serem sekali ya. Saya jadi mikir-mikir mau ikut atau enggak.
Lika : (Jengkel dengan pertanyaan-pertanyaan Adam yang amat rinci) Itu bukan salah saya Pak, itu salah daerahnya.
Huahahahahaha.
Anak-anak benar-benar menyiapkan diri dengan pilihan penginapan dan transportasi, paket harga, dan rangkaian acara. Kadang-kadang mereka jadi lebih asyik memilih hotel daripada mencari tahu tentang keistimewaan tiap daerah sehingga saya mesti mengingatkan.
Kegiatan ini seru. Tapi lain kali, saya akan memberi panduan yang lebih jelas supaya mereka tidak kehilangan arah atau terlalu repot mencari informasi sekunder. Ujicoba ini saya nilai cukup berhasil. Anak-anak jadi tahu lebih banyak tentang berbagai tempat di Indonesia.
Di akhir kegiatan saya minta mereka mengurutkan tujuan wisata favorit mereka. Papua, Kalimantan, dan Sumatera nyaris sama banyak peminatnya.
Serius lho, mereka berjualan program dan cerewet bertanya pada teman. Ada yang membawa kain songket dan tenun ikat Nusa Tenggara segala untuk ditunjukkan pada calon-calon klien. Kelas kami riuh rendah dengan suara lima orang pedagang paket tur dan lima orang klien super cerewet. Saya berkeliling sambil mendengarkan ocehan mereka.
Adam : Jadi apa lagi yang bisa saya lihat.
Lika : Oh, ini ada adu kerbau yang menarik. (Sedang bercerita tentang Sumatera Barat).
Adam : Wah, jangan itu. Saya takut adu kerbau.
Lika : Selain itu Bapak bisa juga berkunjung ke Jam Gadang. Bapak bisa foto-foto di sana.
Adam : oooo.... Jam Gadang seperti di New York ya?
Lika : (hening sejenak) Hm, maksud bapak seperti di London?
Adam : hihihi, ya ya ya. Itu maksud saya. Terima kasih ya (sambil menepuk-nepuk bahu Lika).
Mereka meneruskan pembicaraan sampai ke acara jalan-jalan ke Nias. Lika bercerita tentang masakan dari daging anjing. Adam yang sedang jatuh cinta pada golden retriever peliharaannya langsung protes.
Adam : Daging anjing? Apa tidak kasihan itu mereka? Aduuh, tur anda kok serem sekali ya. Saya jadi mikir-mikir mau ikut atau enggak.
Lika : (Jengkel dengan pertanyaan-pertanyaan Adam yang amat rinci) Itu bukan salah saya Pak, itu salah daerahnya.
Huahahahahaha.
Anak-anak benar-benar menyiapkan diri dengan pilihan penginapan dan transportasi, paket harga, dan rangkaian acara. Kadang-kadang mereka jadi lebih asyik memilih hotel daripada mencari tahu tentang keistimewaan tiap daerah sehingga saya mesti mengingatkan.
Kegiatan ini seru. Tapi lain kali, saya akan memberi panduan yang lebih jelas supaya mereka tidak kehilangan arah atau terlalu repot mencari informasi sekunder. Ujicoba ini saya nilai cukup berhasil. Anak-anak jadi tahu lebih banyak tentang berbagai tempat di Indonesia.
Di akhir kegiatan saya minta mereka mengurutkan tujuan wisata favorit mereka. Papua, Kalimantan, dan Sumatera nyaris sama banyak peminatnya.
Subscribe to:
Posts (Atom)