Wednesday, January 05, 2005

All work and no play will make Jack a dull boy

Saya selalu mencoba membuat sebagian besar kegiatan di kelas adalah kegiatan bermain. Oh yes, I am a strict and firm person who will not ALLOW anything uncomplete or messy. Tapi, tetap saja setiap Selasa siang pikiran saya akan melantur memikirkan permainan atau kegiatan aneh-aneh yang 'matching' dengan tema yang sedang kami bicarakan bersama.

Play is the nature of children. Bukan cuma buat anak orang,bahkan anak cheetah juga belajar berburu dengan bermain bersama kakak adiknya. Sejak hari pertama saya ada di dalam kelas, kalimat tadi saya pegang betul. I really knew how frustrated it is pushing them fit into our world. Tahu kan, duduk, diam, dengarkan saya bicara. Siapa yang suka mendengarkan orang lain bicara tentang hal yang dia kira penting? Anak-anak saya juga tidak suka. Sepertinya mereka 'bingung' kalau disuruh diam saja. Bayangkan, saya beringsut sebentar mengambil buku, Dara sudah berteriak, "KITA NGAPAIN SEKARANG, BU?".

By the way, sejak saya tahu seperti apa frustrasinya, saya putuskan untuk menyerah pada 'nature' mereka. Sambil deg-degan tentu saja, karena tetap saja ada barisan objectives dan evaluasi di akhir sekiyan periode. Tetapi ternyata saya punya lebih banyak kesempatan untuk melakukan evaluasi secara gradual. Dan saya dapat lebih banyak kejutan ketika memperhatikan bagaimana 'nature' seseorang memasukkan konsep baru di kepalanya ketika kami bermain-main.

Ada suatu ketika kami sedang membahas tentang public place. Salah satu tempat yang kami kutak-kutik adalah bank. Saat itu anak-anak belum bisa menulis angka hingga ribuan.Kami sedang belajar cara menulis pecahan uang seperti Rp 1.000,00. Beberapa hari sebelumnya kami juga sempat menggambar tentang sopan santun di tempat umum. Jadi, kami bermain ATM-ATM-an. I don't want to take credits for this, because mostly they do it themselves. Dengan bantuan piring kertas, kardus bekas, spidol, dan kertas bekas, jadilah anak-anak membuat ATM berlayar dan bertombol angka. Mereka memotong-motong kertas bekas sambil bolak-balik ke meja saya. Bu Tia, bagaimana menulis uang dua puluh ribu? Bagaimana menulis uang lima ribu? Dan seterusnya. Semua waktu istirahat hari itu mereka habiskan untuk bergantian menjaga ATM (yang tentu saja tidak otomatis) dan antri mengambil uang.

Keesokan harinya, 'Bank' sudah bertambah dengan telepon bohongan plus customer service di belakangnya dengan ucapan, "Bank,Selamat Pagi. Ada yang bisa saya bantu?".

Lalu saya menemukan potongan kertas-kertas yang juga bertuliskan TAGIHAN TELEPON LUNAS. TAGIHAN LISTRIK LUNAS. Mereka menjelaskan balik pada saya bahwa bank tidak hanya untuk menabung atau ambil uang, tapi juga untuk membayar tagihan bulanan.

Tanpa saya programkan, pelajaran tentang tempat umum sudah 'extend' selama beberapa hari. Anak-anak yang cerdas dan kelebihan ide punya 'tempat' untuk berkreasi dan bangga sendiri karena punya ide. Anak-anak yang tidak seberuntung mereka punya kesempatan untuk meniru, dan akhirnya menyerap pengetahuan yang sama. Semua punya kesempatan sama untuk bertukar peran.

Saya? Nonton saja. Mengamati sambil terheran-heran.

Jadi kalau kebetulan ada yang berkunjung ke kelas kami (atau mengintip seperti yang dilakukan banyak tamu akhir-akhir ini) akan lebih sering terlihat kami sedang hiruk pikuk. Entah sedang bermain bingo,kuartet, memory, atau scrabble. Atau bergeletakan di kelas yang super berantakan dengan spidol, crayon, pensil, penggaris, penghapus, koran bekas, majalah bekas, lem, dan karton manila besar. Mungkin juga seperti kemarin, kami sedang cekikikan pura-pura jadi orang buta dan anjingnya.

I've seen some horrified parents-to-be-client yang mengintip. Sepertinya kok tidak cocok ya dengan gambar-gambar buatan anak-anak yang terpampang di luar. Lebih muskil lagi melihat map-map menulis mereka yang penuh dengan cerita, dongeng, laporan buatan sendiri. Kapan buatnya sih?

Oh, kami banyak waktu sebab kami senang kalau sibuk. Anak-anak melolong kalau lima menit saja tidak ada yang harus dikerjakan. Lagipula bahan-bahan permainan itu sudah diganti. Itu BINGO tentang perkalian. Kwartetnya tentang jam analog dan digital. Kartu-kartu memory itu tentang pahlawan nasional. Ketika bermain si buta dan si anjing anak-anak sedang mengenali 'rasanya' tergantung pada orang lain. 'rasanya' ditinggal orang yang tidak bertanggung jawab. Juga rasanya-rasanya yang lain.

Jadi, saya tidak terlalu setuju dengan istilah bermain sambil belajar atau sebaliknya. Sebenarnya, waktu bermain itulah mereka 'make sense' this whole new world. What we adults call; learning.
They just play. And let them play... as much as they want.

No comments: