Thursday, February 10, 2005

Gimana dong?


Dua hari yang lalu, sepupu saya menelepon dari Surabaya. Ia ibu muda dengan tiga anak berusia 7 tahun, 5 tahun, dan 4 tahun.

"Tia, gimana ini anakku?"
"Kenapa, mbak?"
"Oki ini lho... dia nggak mau belajar. Terus Nino, sudah bisa mbaca tapi ndak bisa nulis."
"Begitu? Oki kelas satu kan."
"Iya... Nino tahun ini juga masuk kelas satu."
"Oki sekolah dari jam berapa sampai jam berapa, mbak?"

Meluncur lah cerita si mbak tentang Oki kecil yang sekolah di sebuah sekolah bernuansa Islam. Full day program. Masuk jam 7 pagi, pulang jam 2 siang. Istirahat dua kali, masing-masing 30 menit tapi pakai sholat dhuha, sholat dzuhur plus makan. Si Mbak yang sudah mulai stress dengan berbagai ulangan umum, ulangan harian, blah blah blah, pusing sekali melihat anaknya menolak disuruh menghadapi buku lagi sesampainya di rumah.
"Aku tuh capek ma... aku sudah seharian duduk di kelas mendengarkan bu guru. Aku mau main.!"

Siapa yang tidak, Ki?
Waktu tante Tia kelas 1 SD, sekolahnya cuma dua jam. Kalau istirahat kami makan kue sebentar lalu main kejar-kejaran. Kadang-kadang berjinjit dan mengintip kelas 3 yang sudah keren karena sudah belajar peta buta. Tante Tia tidak ingat capek mendengarkan bu guru, tapi ingat banyak permainan bersama teman-teman. Tentu saja ada PR, tapi tidak segunung. Hanya beberapa lembar yang menantang untuk dikerjakan sendirian.

Saya katakan pada sepupu saya, anaknya perlu bermain. Anaknya perlu waktu tidak terstruktur untuk dirinya sendiri. Saya juga capek dan tidak mau belajar lagi kalau saya sekolah 7 jam sehari dengan posisi duduk manis disuruh mendengarkan lalu menghafalkan. Believe me sis, i've been through that in my highschool years and i did exactly the same thing like your son.

Santai sajalah, Mbak. Anakmu masih kelas 1 SD. Jalan masih panjang. Asalkan dia tidak tertinggal, tidak perlu lah dipaksa menjadi yang terbaik, atau menjadi sesuai dengan standarmu. Biarlah semangatnya untuk maju tumbuh seiring dengan perkembangan kognitif dan sosial-emosionalnya. Biarlah dia menikmati bermain sepeda sampai bilur bilur terluka. Ia sedang belajar memahami dunianya yang makin hari makin besar.

Nanti kalau suaranya sudah tidak tegang lagi, saya juga ingin berbagi bahwa belajar tidak berarti duduk manis menghadapi buku dan mengerjakan PR. Sambil memasak kita bisa belajar, sambil jalan-jalan naik mobil, bisa juga belajar. Sambil main tebak-tebakan dan tertawa histeris, kita bisa belajar sesuatu. Learning is always fun when we have that perspective.

2 comments:

Nauval Yazid said...

Tia,
lucu yah, kalo dah gede, kita jadi punya tuntutan macem2 ama anak-anak kecil ini, kasian mereka, kadang jadi object pengharapan orang tuanya yang ga kesampaian waktu mereka kecil dulu, heheheheh! makanya dipaksa2 ikut ini lah, itu lah ...

jadi inget ama pengalaman persis sama waktu adek-ku dulu sekolah di SD Islam yang ada di Jaka Permai *wink*, waduh, pulang jam 2 sore, untungnya nyokap gue membebaskan dia maen sepeda ama tetangga2 kalo dah jam 4.30 keatas, kalo ngga, kasian juga adek gue dan anak-anak laen dikasih label yang menyedihkan, i.e.:

masa kecil kurang bahagia!

:)

Anonymous said...

i really hope that when i become a mother i will remember this story !
Haya Aqilah