Fakta bahwa seisi dunia sedang sibuk membentuk kubu-kubu dan menyerang kubu lain yang "berbeda" dari mereka sehingga menciptakan perang dan pembantaian masal membuahkan banyak pointers dalam kurikulum-kurikulum untuk mengajari anak-anak menerima perbedaan, mengembangkan sikap toleran dan menghargai sesama.
Lucunya, saya melihat bahwa anak-anak lebih bisa menerima perbedaan dan get along with it daripada orang-orang dewasa di sekitar saya.
Bagaimana Zaky diterima di kelas barunya dan tetap dianggap teman oleh kelas sebelumnya adalah contoh paling nyata. Di saat yang sama saya tahu ada orang tua yang merasa bersyukur Zaky tidak naik kelas sehingga tidak mengganggu anaknya. Saya juga tahu ada orangtua yang khawatir bahwa kehadiran Zaky mungkin berpengaruh pada kenyamanan dan kesehatan mental anaknya.
Pada mereka yang belum paham tentang kesulitan belajar dan kebutuhan khusus, anak-anak lah yang saya jadikan contoh tentang bagaimana seharusnya bersikap. Nih lihat, anak-anakmu sudah tahu dan sudah bisa menerima orang lain yang berbeda dengan tulus, tidak pura-pura.
Saya sendiri selalu tersentuh ketika anak-anak kelas 2 yang baru tidak mengungkit apapun tentang kehadiran Zaky di kelas, tetap mau mengobrol menggambar dan bermain bersama. Begitu juga ketika kelas 3 kadang-kadang datang mengintip ke kelas saya, melambai pada Zaky. Mereka mengundang Zaky main ke kelas 3 dengan ekspresi kangen dalam kata-katanya. Mereka main kejar-kejaran dan tertawa-tawa bersama.
Gagal atau berhasil di kelas, ia teman saya.
Menyebalkan atau menyenangkan, ia tetap teman saya.
Sama atau berbeda, bagaimanapun ia teman saya.
Itu yang saya tangkap dari sikap teman-teman Zaky.
Contoh lain yang menurut saya mengharukan muncul baru-baru ini. Di kelas saya ada seorang anak perempuan manis dengan kulit putih, mata sipit, senyum yang menawan dan pipi gembil menggemaskan. Ia berkawan akrab dengan semua orang di sekolah meski barangkali merasa bahwa penampilan fisiknya berbeda. Di tahun ajaran baru ini ia bertemu seorang anak kelas 1 dengan kulit putih, mata sipit, rambut panjang, senyum yang sama menawannya.
Teman-teman yang lain segera menyadari "kemiripan" mereka. Begitu juga anak perempuan kelas saya ini. Ia datang kepada saya menggandeng teman baru yang 'mirip' itu dan berkata, "Ibu, lihat, sekarang saya punya teman yang mirip dengan saya. "
Teman-teman yang lain juga datang dan berkata, "Ibu, Ibu, lihat Mey dan Nissa mirip ya? " Mereka mengatakan itu dengan ekspresi senang karena temannya senang mendapatkan sesuatu yang dikenalnya.
Saya tertawa-tawa saja. Sejujurnya mereka tidak mirip bagai pinang dibelah dua atau semacamnya. Kalau anda melihat barangkali kesimpulan anda hanya mereka berasal dari ras yang sama. Titik.
Tetapi, melihat mereka berbaur, bermain bersama tanpa prasangka apa-apa, tanpa kalimat-kalimat menyakitkan, saya merasa ada di dunia Imagine-nya John Lennon.
Barangkali toleransi pada perbedaan itu alamiah ada pada anak-anak. Ini sesuai dengan keinginan mereka mengeksplorasi segala sesuatu dan mengenal dunia lebih baik. Sama atau berbeda bagi mereka adalah bagian dari fakta yang mereka temukan di lingkungannya. Semua sama menariknya.
Kita, yang mengajari mereka memberi label dan harga. Kita yang sering memberitahu mereka bahwa kelompok A lebih baik, kelompok B lebih buruk dan kelompok C tidak ada harganya. Mereka, anak-anak, meniru kita orang dewasa untuk memiliki prasangka. Mereka melihat sikap tubuh dan ekspresi kita untuk belajar melakukan diskriminasi. Kita sama buruknya dengan sinetron-sinetron televisi.
Sepertinya kita yang harus belajar dan meniru anak-anak bagaimana itu bersikap toleran dan penuh rasa sayang. Lebih baik lagi, jangan mengajari anak-anak terlalu banyak. Kita akan menyesatkan mereka.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment