Tiap kali saya sedang melodramatis dan menganggap bahwa tanpa dukungannya barangkali saya tidak akan memilih menjadi guru, saya sering ditanggapi dengan decakan, "Ah, it's in your blood."
Kemarin, saya menerima sebuah sms.
"Kamu dibeliin puzzle sama mama tuh, katanya untuk murid TK kamu. "
Saya senang sekali mendengarnya. Puzzle itu sampai ke tangan saya hari ini. Tiga buah puzzle gajah, kanguru, dan kepiting. Saya menelepon si tante untuk mengucapkan terimakasih.
"Tante, terimakasih ya puzzlenya."
"Iya, itu untuk murid-murid TK kamu. Jadi ingat aja waktu tante mengajar dulu."
Ah ya, saya lupa bercerita. Tante ini dulu seorang guru TK, sudah berhenti mengajar lebih dari tiga puluh tahun yang lalu.
So, i think teaching is in her blood.
Tuesday, June 26, 2007
Monday, June 25, 2007
Tetap Mereka, Anak-anak Itu
Selama anak-anak libur kali ini, saya tidak libur.
Ada yang harus saya kerjakan dengan cepat. Sehingga saya menghabiskan berjam-jam setiap hari untuk membaca, mengetik, dan mendiskusikan rencana-rencana saya dengan rekan kerja yang baru (dan sangat antusias).
Saya baru ingat bahwa sepanjang tahun ajaran saya mendambakan waktu-waktu ini. Waktu-waktu di mana saya bisa mencurahkan tenaga saya untuk melayani isi kepala ini tanpa diganggu oleh keberadaan anak-anak.
Sulit sekali membaca dengan ekstensif kalau setiap tiga puluh menit harus berhenti dan mengurusi anak-anak. Belum lagi saat selintas ada ide menarik yang harus segera dicatat, tetapi jam pelajaran saya sudah hampir di mulai. Lebih sulit lagi karena saya adalah "orang pagi" yang begitu matahari hilang mulai kesulitan memusatkan perhatian. Mengurusi ide dan konsep di sore hari bukanlah ide yang baik untuk saya.
Dua minggu ini saya punya kesempatan itu. Mengetik dan membaca tidak berhenti kecuali untuk mengunyah.
Tapi, rasanya ada yang hilang.
Anak-anak itu.
Ada yang harus saya kerjakan dengan cepat. Sehingga saya menghabiskan berjam-jam setiap hari untuk membaca, mengetik, dan mendiskusikan rencana-rencana saya dengan rekan kerja yang baru (dan sangat antusias).
Saya baru ingat bahwa sepanjang tahun ajaran saya mendambakan waktu-waktu ini. Waktu-waktu di mana saya bisa mencurahkan tenaga saya untuk melayani isi kepala ini tanpa diganggu oleh keberadaan anak-anak.
Sulit sekali membaca dengan ekstensif kalau setiap tiga puluh menit harus berhenti dan mengurusi anak-anak. Belum lagi saat selintas ada ide menarik yang harus segera dicatat, tetapi jam pelajaran saya sudah hampir di mulai. Lebih sulit lagi karena saya adalah "orang pagi" yang begitu matahari hilang mulai kesulitan memusatkan perhatian. Mengurusi ide dan konsep di sore hari bukanlah ide yang baik untuk saya.
Dua minggu ini saya punya kesempatan itu. Mengetik dan membaca tidak berhenti kecuali untuk mengunyah.
Tapi, rasanya ada yang hilang.
Anak-anak itu.
Saturday, June 09, 2007
300
Tiga ratus lema tepat pada hari terakhir tahun ketiga saya menjadi guru kelas dua SD.
Kebetulan yang menarik.
Alexander The Great berpendapat bahwa saya punya hutang besar untuk menginspirasi orang lain. Karena, anak-anak ini sudah begitu banyak menginspirasi saya.
Sampai bertemu lagi.
Kebetulan yang menarik.
Alexander The Great berpendapat bahwa saya punya hutang besar untuk menginspirasi orang lain. Karena, anak-anak ini sudah begitu banyak menginspirasi saya.
Sampai bertemu lagi.
Wednesday, June 06, 2007
Malah Bingung
Tiga hari menjelang akhir tahun ajaran. Anak-anak di kelas 2 malah makin sulit membedakan mana kegiatan "belajar" dan mana kegiatan "bermain". Hm, mungkin pembagian ini memang hanya ada di kepala kita, orang dewasa.
Kemarin, untuk evaluasi materi kuartal 3 dan 4 kami bermain kuis Who Wants To Be A Millionare. Seru! Saya membuat 119 pertanyaan dan dihabiskan anak-anak tanpa sisa, meskipun pilihannya cukup menjebak. Anak-anak juga menggunakan pilihan Ask The Audience dan 50:50. Karena semua teman baik hati dan mau membantu menjawab, hampir semua kelompok memilih Ask The Audience kalau sudah terdesak.
Usai makan siang, Bintang bertanya di mana saya meletakkan soal-soal kuis itu.
Ternyata, ia mengulang lagi kuis itu dengan teman-teman sebagai peserta dan dia sebagai host-nya.
Hm, bukannya ini sama saja dengan mengerjakan ulang soal ulangan umum?
Kebiasaan lain yang sering saya lakukan di akhir kuartal adalah membuat daftar tugas sepanjang minggu lalu membiarkan anak-anak mengatur sendiri apa dan kapan mereka mau mengerjakan semua itu. Tugasnya tidak susah-susah, misalnya, membuat sampul buku untuk kumpulan hasil karya mereka, atau mengecat batu untuk alat permainan.
Lama kelamaan anak-anak jadi lebih sering menghabiskan waktu istirahat di dalam kelas, mengoceh sambil menyelesaikan pekerjaannya. Maka, saat ulangan Bahasa Indonesia saya katakan pada mereka,
"Nanti, waktu istirahat kalian main saja ya. Tidak usah mengerjakan apa-apa."
Sambil terus menulis, Fia bertanya, "Memangnya kenapa, Bu?"
"Istirahatlah, nanti capek."
"Lho, memangnya main juga nggak capek?"
See?
Kemarin, untuk evaluasi materi kuartal 3 dan 4 kami bermain kuis Who Wants To Be A Millionare. Seru! Saya membuat 119 pertanyaan dan dihabiskan anak-anak tanpa sisa, meskipun pilihannya cukup menjebak. Anak-anak juga menggunakan pilihan Ask The Audience dan 50:50. Karena semua teman baik hati dan mau membantu menjawab, hampir semua kelompok memilih Ask The Audience kalau sudah terdesak.
Usai makan siang, Bintang bertanya di mana saya meletakkan soal-soal kuis itu.
Ternyata, ia mengulang lagi kuis itu dengan teman-teman sebagai peserta dan dia sebagai host-nya.
Hm, bukannya ini sama saja dengan mengerjakan ulang soal ulangan umum?
Kebiasaan lain yang sering saya lakukan di akhir kuartal adalah membuat daftar tugas sepanjang minggu lalu membiarkan anak-anak mengatur sendiri apa dan kapan mereka mau mengerjakan semua itu. Tugasnya tidak susah-susah, misalnya, membuat sampul buku untuk kumpulan hasil karya mereka, atau mengecat batu untuk alat permainan.
Lama kelamaan anak-anak jadi lebih sering menghabiskan waktu istirahat di dalam kelas, mengoceh sambil menyelesaikan pekerjaannya. Maka, saat ulangan Bahasa Indonesia saya katakan pada mereka,
"Nanti, waktu istirahat kalian main saja ya. Tidak usah mengerjakan apa-apa."
Sambil terus menulis, Fia bertanya, "Memangnya kenapa, Bu?"
"Istirahatlah, nanti capek."
"Lho, memangnya main juga nggak capek?"
See?
Saturday, June 02, 2007
Selama ini...
Akhir tahun ajaran sudah hampir datang lagi. Cepat ya? Kali ini bahkan saya belum sempat merasa sedih karena hampir berpisah.
Beberapa hari lalu saya menunjukkan lembar foto-foto kelas yang akan dimuat di buku tahunan. Alexander The Great membantu saya menyusunkan foto-foto dan memberi ruang bagi anak-anak untuk menggambar. Rencananya begitu, tapi sayangnya kami tak bisa melakukan apa yang kami rencanakan. Ada yang menganggap gambar anak-anak itu sama dengan scribbling. Sementara saya - seperti para orangtua yang bangga pada anaknya- menganggap gambar mereka mahakarya. Susah juga kan, kalau berbeda pendapat.
Tetapi saya sempat mengajak anak-anak berdiskusi, apa yang akan kami gambar dan tulis dalam ruang kosong. Tadinya anak-anak mau menulis apa yang mereka senangi di kelas dua. Tempatnya tidak cukup. Lalu anak-anak berpikir untuk menuliskan kembali pertanyaan-pertanyaan, "yang banyak dan sering membuat bu tia pusing", tetapi kebanyakan sudah lupa waktu itu bertanya apa. Hanya Fia yang ingat bahwa Bintang pernah bertanya apa itu stroke. Memang foto mereka sedang membaca artikel tentang stroke ada dalam lembar foto itu.
Akhirnya, kami sepakat untuk melengkapi kalimat ini dengan kata-kata yang sesuai.
Di Kelas Dua, kami suka ....
Anak-anak melengkapinya dengan
... bertanya
... berdiskusi
... menggambar
... membaca
... tertawa
... presentasi
... bermain .... dan
... mencoba hal-hal baru!
Ternyata tahun ini tidak cepat berlalu. Ternyata selama ini kami ... SIBUK!!
Beberapa hari lalu saya menunjukkan lembar foto-foto kelas yang akan dimuat di buku tahunan. Alexander The Great membantu saya menyusunkan foto-foto dan memberi ruang bagi anak-anak untuk menggambar. Rencananya begitu, tapi sayangnya kami tak bisa melakukan apa yang kami rencanakan. Ada yang menganggap gambar anak-anak itu sama dengan scribbling. Sementara saya - seperti para orangtua yang bangga pada anaknya- menganggap gambar mereka mahakarya. Susah juga kan, kalau berbeda pendapat.
Tetapi saya sempat mengajak anak-anak berdiskusi, apa yang akan kami gambar dan tulis dalam ruang kosong. Tadinya anak-anak mau menulis apa yang mereka senangi di kelas dua. Tempatnya tidak cukup. Lalu anak-anak berpikir untuk menuliskan kembali pertanyaan-pertanyaan, "yang banyak dan sering membuat bu tia pusing", tetapi kebanyakan sudah lupa waktu itu bertanya apa. Hanya Fia yang ingat bahwa Bintang pernah bertanya apa itu stroke. Memang foto mereka sedang membaca artikel tentang stroke ada dalam lembar foto itu.
Akhirnya, kami sepakat untuk melengkapi kalimat ini dengan kata-kata yang sesuai.
Di Kelas Dua, kami suka ....
Anak-anak melengkapinya dengan
... bertanya
... berdiskusi
... menggambar
... membaca
... tertawa
... presentasi
... bermain .... dan
... mencoba hal-hal baru!
Ternyata tahun ini tidak cepat berlalu. Ternyata selama ini kami ... SIBUK!!
Friday, June 01, 2007
Mind Map
Saya sedang mencoba mengajak anak-anak menggunakan mind map. Agak terlambat sebenarnya, mengingat tahun ajaran akan berakhir satu minggu lagi. Masalahnya, saya agak ragu bahwa anak-anak seusia kelas 2 SD bisa membuat mind map.
Lalu saya kembali pada pemikiran bahwa kita tak pernah tahu batas anak-anak ini kalau tidak dicoba. Sering sekali, dan mudah sekali, kita memandang anak-anak lebih rendah dari sebenarnya (sungguh ini terjemahan bebas dari underestimate, hehehehhe). Kalau selalu melihat seperti itu, bisa-bisa saya tidak pernah menemukan kejutan-kejutan menyenangkan tentang kemajuan mereka.
Bersama kelas ini saya jadi sering berpikir, oh well, coba saja. Beri stimulasi saja. Nanti mereka, anak-anak ini, pasti bisa menentukan sendiri sejauh apa mereka ingin dan bisa pergi.
Maka, saya mengajak mereka membuat mind map paling sederhana untuk mengingat berbagai fakta tentang Jepang. Kemarin saya mengajak mereka lagi membuat mind map tentang proses orang jatuh sakit, dan menjaga kesehatan.
Karena anak-anak sangat terbiasa memvisualkan apa yang mereka pikirkan lewat gambar (daripada menghafal buku teks), mereka sangat menikmati kegiatan gambar menggambar ini. Bintang bilang, ia akan menggambar sebagus-bagusnya lalu akan ditempel di dinding kamar untuk menjadi pengingat. Ia marah pada Zaky yang berusaha meniru gambarnya, "Hei, kamu, gambar sendiri. Ini kan ide ku. Kalau kamu pakai ideku kamu nggak bisa ingat isinya nanti. Cara kita mengingat-ingat kan berbeda."
Sargie bertanya berulang-ulang, "Benar Bu, kegiatannnya cuma ini?"
Setiap kali mereka sudah selesai, dan memberikan kertasnya pada saya, saya akan berkata, "Ok, Rai, ayo ceritakan apa yang kamu buat." Maka meluncurlah kata-kata dari mulut mereka, menceritakan apa yang mereka tahu.
"Ini bu, kalau minum obat harus bilang ayah dulu. Lihat dosisnya, jangan terlalu banyak. Kalau kebanyakan kita bisa keracunan dan mati. Selain itu lihat juga tanggal kadaluarsanya."
"Ini kalau kita sakit. Sakit itu karena senjata dalam tubuh kita kalah perang dengan kuman. Aku gambar senjata-senjatanya di sini, sel darah putih, air liur, ini lho. "
Good. Dengan alami saya bisa tahu apa yang tinggal di kepala mereka dan apa yang tidak. Hehehehe.
Lalu saya kembali pada pemikiran bahwa kita tak pernah tahu batas anak-anak ini kalau tidak dicoba. Sering sekali, dan mudah sekali, kita memandang anak-anak lebih rendah dari sebenarnya (sungguh ini terjemahan bebas dari underestimate, hehehehhe). Kalau selalu melihat seperti itu, bisa-bisa saya tidak pernah menemukan kejutan-kejutan menyenangkan tentang kemajuan mereka.
Bersama kelas ini saya jadi sering berpikir, oh well, coba saja. Beri stimulasi saja. Nanti mereka, anak-anak ini, pasti bisa menentukan sendiri sejauh apa mereka ingin dan bisa pergi.
Maka, saya mengajak mereka membuat mind map paling sederhana untuk mengingat berbagai fakta tentang Jepang. Kemarin saya mengajak mereka lagi membuat mind map tentang proses orang jatuh sakit, dan menjaga kesehatan.
Karena anak-anak sangat terbiasa memvisualkan apa yang mereka pikirkan lewat gambar (daripada menghafal buku teks), mereka sangat menikmati kegiatan gambar menggambar ini. Bintang bilang, ia akan menggambar sebagus-bagusnya lalu akan ditempel di dinding kamar untuk menjadi pengingat. Ia marah pada Zaky yang berusaha meniru gambarnya, "Hei, kamu, gambar sendiri. Ini kan ide ku. Kalau kamu pakai ideku kamu nggak bisa ingat isinya nanti. Cara kita mengingat-ingat kan berbeda."
Sargie bertanya berulang-ulang, "Benar Bu, kegiatannnya cuma ini?"
Setiap kali mereka sudah selesai, dan memberikan kertasnya pada saya, saya akan berkata, "Ok, Rai, ayo ceritakan apa yang kamu buat." Maka meluncurlah kata-kata dari mulut mereka, menceritakan apa yang mereka tahu.
"Ini bu, kalau minum obat harus bilang ayah dulu. Lihat dosisnya, jangan terlalu banyak. Kalau kebanyakan kita bisa keracunan dan mati. Selain itu lihat juga tanggal kadaluarsanya."
"Ini kalau kita sakit. Sakit itu karena senjata dalam tubuh kita kalah perang dengan kuman. Aku gambar senjata-senjatanya di sini, sel darah putih, air liur, ini lho. "
Good. Dengan alami saya bisa tahu apa yang tinggal di kepala mereka dan apa yang tidak. Hehehehe.
Subscribe to:
Posts (Atom)