Monday, April 25, 2005

Tico and Sepasang Sayap Emas

Cerita ini tentang seekor burung bernama Tico. Tico tidak punya sayap. Ia bisa menyanyi, ia bisa melompat, tetapi Tico tidak bisa terbang.
Tico selalu bertanya-tanya seperti apa rasanya terbang di pucuk pohon. Seperti apa segarnya angin di langit yang biru. Tico tidak pernah tahu. Untung Tico punya teman-teman yang baik hati. Teman-teman Tico selalu membawakan Tico oleh-oleh berupa buah-buahan yang segar dari perjalanan mereka.

Tetapi, Tico tetap bermimpi suatu hari ia akan memiliki sepasang sayap emas yang kuat dan kokoh. Tico terus berharap hingga suatu malam seekor burung berwarna putih seperti mutiara mendatanginya. Tico, aku adalah burung yang mengabulkan permintaan. Sebutkanlah keinginanmu dan aku akan menjadikannya kenyataan. Tico ingat pada mimpinya yang paling istimewa; sepasang sayap emas!

Keesokan paginya Tico bangun dengan sepasang sayap emas yang indah di sisi-sisinya. Tico mengepakkan sayapnya dan... ia terbang!!! Dengan gembira Tico terbang mengitari pohon yang paling tinggi dan langit yang biru jernih. Tico menghampiri teman-temannya di Pohon Besar.

Teman-teman Tico tidak gembira melihat sayap baru Tico. Tico, kamu pikir sayapmu paling bagus di dunia ya? Kamu pikir kamu hebat dengan sayap emasmu? Kamu pasti ingin berbeda dengan kami. Teman-teman Tico terbang pergi. Tinggal Tico sendiri.

Tico tidak mengerti apa yang salah dengan dirinya. Bukankah sekarang ia bisa ikut teman-temannya terbang kemana mereka suka? Dengan sedih Tico terbang sendirian. Ia bertemu dengan seorang perajin keranjang yang miskin. Si perajin menangis sedih. Ia tak punya uang untuk anaknya yang sakit. Tico berpikir keras, apa yang bisa ia lakukan untuk si perajin?
Tico mencabut selembar bulunya yang kuning emas dan memberikannya pada si Perajin. Terimakasih banyak Tico! Dan lihatlah sayapmu kini! Tempat bulu yang dicabut Tico terisi selembar bulu hitam sehitam tinta India.

Tico mengerti sekarang! Kemudian, dengan bulunya, Tico membelikan seorang nenek alat pemintal benang. Ia juga membeli satu set boneka baru untuk pemain boneka. Ia membeli sebuah kompas untuk nelayan yang selalu tersesat. Bulu emas yang terakhir diberikan Tico pada seorang calong pengantin yang amat cantik.

Kini, sayap Tico tidak lagi berkilau keemasan. Sayap Tico kini adalah sepasang sayap hitam yang sama dengan sayap teman-teman Tico. Di Pohon Besar Tico disambut gembira oleh teman-temannya. Kini kau sama dengan kami, Tico! Mereka bernyanyi berdekatan. Tico senang, tapi hatinya berkelana pada kenangan tentang Pak Perajin, Nenek Tua, Nelayan, Pemain Boneka, dan Pengantin Yang Cantik. Tico tidak merasa sama dengan teman-temannya. Apa yang sudah ia lalui telah membuat Tico menjadi burung yang berbeda.

"We are all different. Each has his own memories and his invisible golden dreams."

Diceritakan kembali dari buku Tico And The Golden Wings oleh Leo Lionni.

Cerita ini saya bawakan untuk anak-anak tadi pagi. Mereka terpesona. Mereka berbagi bagaimana mereka sama dan berbeda dengan satu sama lain. Mereka mengakui bahwa setiap dari kami adalah ... Unik. Ya, Dara menemukan kata yang tepat. Unik.

Therefore, we are going to develop a tolerance for our uniqueness.

1 comment:

Tin said...

storytelling? salah satu cara utk ngasih tips utk anak" dan manjur :P