Minggu ini kami sedang berdiskusi tentang bagaimana olahraga membuat kita menjadi lebih sehat. Setelah anak-anak ribut sendiri tentang jantung yang memompa darah, paru-paru, pembuluh vena dan arteri serta celetukan Dhiadri,
Di rumah ibuku punya alat itu. Alat pompa jantung
...
Maksudmu, pengukur tekanan darah, Dhi?"
Ya. Mungkin.
saya mencoba mengajak anak-anak merasakan detak nadi mereka. Ini adalah tugas yang menantang bagi mereka (dan ternyata saya). Saya dan Bu Novi harus mencari nadi dipergelangan tangan mereka dulu, baru kemudian meminta mereka menggantikan jari saya. Itupun ditingkahi komentar "MANA BU? MANA BU? TIDAK ADA? KOK TIDAK TERASA?" Ketika kami mencoba di bagian leher, lebih parah lagi. Because you have to be quiet. Mana bisa terasa kalau pasiennya sibuk bicara.
Disitulah tantangannya untuk kelas saya yang ingin serba cepat dan serba instant dan serba lantang. Diam, itu adalah tantangan besar.
Tetapi, melihat binar mata mereka ketika menemukan ada 'sesuatu' di balik tubuh mereka, saya jadi ikut tertawa.
Untuk menambah tingkat kesulitan, saya mencoba mengajak anak-anak menghitung nadi mereka ketika dalam keadaan tenang dan santai, serta habis berlari-lari.
Berdasarkan pengalaman tahun lalu, saya cukup optimis kegiatan ini berhasil. Optimisme saja tahun ini tidak cukup, ternyata. Pada percobaan pertama, setelah waktu menghitung 10 detik berlalu, saya bertanya pada mereka
Coba, berapa hasil hitunganmu!
13 bu!
Aku 35.
Aku 5
Aku 1
Satu?
Iya. Satu. Habis itu berhenti.
Haduh!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment