Tadi saya memberikan dua potong kabel, sebuah baterai dan bola lampu kecil pada anak-anak. Saya bilang, ayo coba buat lampunya menyala.
Anak-anak mulai mengeluh, tapi bagaimana caranya aku tidak tahu.
Saya bilang, saya punya banyak waktu untuk menunggu. Coba saja sampai bisa!
Mereka kasak-kusuk mencoba. Serius sekali. Sampai ada yang terus-terusan memandangi lampu dan sebuah kabel yang dikaitkan, lalu bertanya mengapa lampunya tidak menyala. Saya tunjukkan baterai dan kabel lain yang belum dipasangnya. Ia cengengesan.
Duapuluh menit saja semua sudah bisa menyalakan lampu kecil itu sendiri. Senangnya bukan kepalang, "Boleh aku bawa pulang, ya Bu?"
Sama, saya juga senang tidak harus selalu menyuapi kalian.
Tuesday, January 30, 2007
Monday, January 29, 2007
Sesat Pikir
Anak-anak yang berbakat umumnya memunculkan ciri bisa membaca pada usia sangat dini.
Lantas orang-orang mengira bahwa kalau mereka membuat anak-anaknya bisa membaca pada usia sangat dini, maka mereka akan membuat anak-anaknya menjadi anak berbakat.
Ini sesat pikir namanya.
*Eh, saya jadi ingat utang saya...
Lantas orang-orang mengira bahwa kalau mereka membuat anak-anaknya bisa membaca pada usia sangat dini, maka mereka akan membuat anak-anaknya menjadi anak berbakat.
Ini sesat pikir namanya.
*Eh, saya jadi ingat utang saya...
Thursday, January 25, 2007
Fakta
Sudah dua hari anak-anak mengerjakan timeline biografi Alexander Graham Bell. Mereka (baru) sadar bahwa Alexander Graham Bell sudah meninggal dan mulai merasa kasihan. Saya bilang, manusia tak bisa hidup selamanya. Lihat saja tahun kelahiran Bell, kalau sekarang ia masih hidup usianya sudah 160 tahun. Tak ada orang bisa hidup selama itu.
Anak-anak mulai bicara tentang meninggal, lantas tentang kiamat.
Gita : Kiamat itu kapan, Bu?
Saya: Tidak ada yang tahu.
Gita : Kiamat kan datangnya kadang-kadang ya Bu?
Saya: Kadang-kadang? Kiamat cuma sekali, bukan?
Gita : Iya... datangnya kadang-kadang.
Saya : (Berpikir dulu..) Maksudmu TIBA- TIBA?
Gita : Oh, ya, tiba-tiba.
Medina dan anak-anak yang lain mulai berbagi pengetahuan dari Ustadz masing-masing. Tanda-tanda kiamat itu adalah... laki-laki mulai pakai baju perempuan... tidak ada lagi suara azan... gedung lebih tinggi dari pohon.
Gita memandang saya yang diam saja membiarkan mereka mengobrol,
"IBU... gedung kan memang lebih tinggi dari pohon!"
Saya tidak bisa berhenti tertawa.
Anak-anak mulai bicara tentang meninggal, lantas tentang kiamat.
Gita : Kiamat itu kapan, Bu?
Saya: Tidak ada yang tahu.
Gita : Kiamat kan datangnya kadang-kadang ya Bu?
Saya: Kadang-kadang? Kiamat cuma sekali, bukan?
Gita : Iya... datangnya kadang-kadang.
Saya : (Berpikir dulu..) Maksudmu TIBA- TIBA?
Gita : Oh, ya, tiba-tiba.
Medina dan anak-anak yang lain mulai berbagi pengetahuan dari Ustadz masing-masing. Tanda-tanda kiamat itu adalah... laki-laki mulai pakai baju perempuan... tidak ada lagi suara azan... gedung lebih tinggi dari pohon.
Gita memandang saya yang diam saja membiarkan mereka mengobrol,
"IBU... gedung kan memang lebih tinggi dari pohon!"
Saya tidak bisa berhenti tertawa.
Monday, January 22, 2007
Reverse Psychology
Salah seorang teman sedang pusing dengan nona kecilnya yang berumur kira-kira 4 tahun. Dia sedang melakukan aksi POKOKNYA TIDAK. Tidak mau tidur dan tidak mau pakai baju habis mandi. Dengan putus asa teman saya melempar topik ini saat makan siang.
Saya jadi ingat salah seorang dosen saya yang pernah menceritakan pengalaman serupa. Saat anaknya tak mau tidur, si ibu tidak melawan. Ya sudah mas, titip rumah ya... kami semua mau tidur. Semua orang di rumah itu masuk kamar dan mematikan lampu. Lama-lama si mas tidur sendiri.
Saya menyarankan hal yang sama. Nona manis ini mungkin ingin menikmati kebingungan dan keputusasaan orang dewasa di sekitarnya. Kalau dia menolak pakai baju?
Kalau saya, saya akan bilang.
Begitu? Tidak perlu baju lagi? Ok, kita bereskan yuk. Ibu mau masukkan kotak untuk diberikan ke panti asuhan.
Kira-kira apa ya reaksinya? Saya menduga, ia langsung pakai bajunya. Nggak siap dong, kalau seluruh harta bendanya diangkuti?
Hmmm... sebagai orang luar tentu mudah dimintai pendapat. Kalau saya yang punya anak sendiri (dan kemungkinan besar bertindak lebih parah dari itu mengingat kekeraskepalaan saya sendiri) mungkin reaksi saya adalah
AAAAAAARRRRRRGGGGHHHH!!!!
Saya jadi ingat salah seorang dosen saya yang pernah menceritakan pengalaman serupa. Saat anaknya tak mau tidur, si ibu tidak melawan. Ya sudah mas, titip rumah ya... kami semua mau tidur. Semua orang di rumah itu masuk kamar dan mematikan lampu. Lama-lama si mas tidur sendiri.
Saya menyarankan hal yang sama. Nona manis ini mungkin ingin menikmati kebingungan dan keputusasaan orang dewasa di sekitarnya. Kalau dia menolak pakai baju?
Kalau saya, saya akan bilang.
Begitu? Tidak perlu baju lagi? Ok, kita bereskan yuk. Ibu mau masukkan kotak untuk diberikan ke panti asuhan.
Kira-kira apa ya reaksinya? Saya menduga, ia langsung pakai bajunya. Nggak siap dong, kalau seluruh harta bendanya diangkuti?
Hmmm... sebagai orang luar tentu mudah dimintai pendapat. Kalau saya yang punya anak sendiri (dan kemungkinan besar bertindak lebih parah dari itu mengingat kekeraskepalaan saya sendiri) mungkin reaksi saya adalah
AAAAAAARRRRRRGGGGHHHH!!!!
Sunday, January 21, 2007
Hal-Hal Kecil dan Besar
Saya sedang duduk menemani Bintang dan teman-teman semejanya makan siang. Bintang bertanya pada saya,
Bintang: Bu, kenapa sih Adam Air jatuh?
Saya : Menurut Bu Tia, kemungkinan pesawatnya yang rusak.
Bintang: Kalau sudah tahu rusak kenapa boleh terbang. Harusnya kan ada yang memeriksa?
Saya : Hm, banyak kemungkinannya. Bisa jadi karena yang memeriksa tidak teliti, atau mereka menganggap enteng saja.
Bintang : Kenapa begitu?
Saya : Tidak tahu. Mungkin karena kebiasaan. Mungkin karena sejak kecil tidak terbiasa bersungguh-sungguh. Kalau kamu seperti itu, sejak sekarang tidak biasa bersungguh-sungguh, bisa saja nanti kalau sudah besar kamu menjatuhkan pesawat.
Kami tertawa bersama-sama. Pembicaraan beralih pada bagaimana ayah Bintang tak mengalihkan perhatiannya dari televisi saat mendengar berita itu pertama kalinya.
Untuk beberapa detik saya tahu Bintang menganggap serius kata-kata saya bahwa jika tidak terbiasa sungguh-sungguh, itu akan terbawa sampai besar dan mungkin berakibat buruk bagi orang lain (bukan cuma kita sendiri). Tidak apa-apa, nanti kalau salah satu dari kami lupa, kami bisa saling mengingatkan.
Bintang: Bu, kenapa sih Adam Air jatuh?
Saya : Menurut Bu Tia, kemungkinan pesawatnya yang rusak.
Bintang: Kalau sudah tahu rusak kenapa boleh terbang. Harusnya kan ada yang memeriksa?
Saya : Hm, banyak kemungkinannya. Bisa jadi karena yang memeriksa tidak teliti, atau mereka menganggap enteng saja.
Bintang : Kenapa begitu?
Saya : Tidak tahu. Mungkin karena kebiasaan. Mungkin karena sejak kecil tidak terbiasa bersungguh-sungguh. Kalau kamu seperti itu, sejak sekarang tidak biasa bersungguh-sungguh, bisa saja nanti kalau sudah besar kamu menjatuhkan pesawat.
Kami tertawa bersama-sama. Pembicaraan beralih pada bagaimana ayah Bintang tak mengalihkan perhatiannya dari televisi saat mendengar berita itu pertama kalinya.
Untuk beberapa detik saya tahu Bintang menganggap serius kata-kata saya bahwa jika tidak terbiasa sungguh-sungguh, itu akan terbawa sampai besar dan mungkin berakibat buruk bagi orang lain (bukan cuma kita sendiri). Tidak apa-apa, nanti kalau salah satu dari kami lupa, kami bisa saling mengingatkan.
Monday, January 15, 2007
Bertukar Tempat
Angka ketidakhadiran di kelas saya luar biasa tinggi. Isi kelas saya hampir tak pernah lengkap. padahal penghuninya cuma 14 orang. Selama 3 tahun ini baru kali ini saya gusar dengan angka ketidakhadiran. Tahun-tahun lalu selalu ada satu atau dua anak yang memang sering tidak hadir, karena alasan-alasan tertentu yang sudah membuat saya menyerah. Tetapi sisanya cukup aktif hadir di sekolah. Tentu saja absen karena sakit sekali atau dua kali wajar sekali. Saya juga begitu kok.
Saya pikir wajar juga kalau saya heran karena anak-anak di kelas saya tahun ini aktif bergantian tidak masuk sekolah. Tak lebih dari 10 hari selama satu kuartal saya bisa menemui kelas saya utuh berisi 14 anak.
Apakah cuaca begitu buruk sampai anak-anak sakit-sakitan? Saya membandingkan angka ketidakhadiran dari kelas 1 sampai 4, dan kelas saya tetap memegang rekor. Rekor kelas kami hanya dikalahkan oleh anak-anak TK yang sedang belajar sekolah.
Masa sih anak-anak di sekolah seperti ini kurang gizi? Hehe, orang-orang dewasa pun bisa kekurangan gizi tanpa melihat status sosial ekonomi. Itu hanya masalah gaya hidup. Lagipula agak sulit ya, mengajak anak-anak mau makan makanan yang sehat. Mereka sudah tahu enaknya sosis dan chicken nugget. Buah dan sayur lebih sulit disimpan dan disiapkan. Lagipula restoran-restoran makanan cepat saji jaraknya hanya sekedipan mata dari sekolah kami.
Jangan-jangan waktu beraktivitas fisik mereka yang kurang? Saya tidak tahu bagaimana di rumah. Di sekolah saya bisa melihat anak-anak punya waktu setidak-tidaknya satu jam untuk berlarian kian kemari dan masuk kelas dalam keadaan berkeringat berat. Lebih banyak titipan untuk memastikan anak-anak ganti pakaian bersih dan kering daripada titipan untuk menghalau anak-anak agar bergerak cukup.
Sebegitu joroknya kah sekolah kami? Saya masih merasa nyaman berkegiatan tanpa alas kaki. Kelas disapu setidaknya 3 kali sehari. Tidak ada sampah bergelimpangan. Anak-anak juga tidak minum air keran. Anak-anak pun punya kebiasaan cuci tangan sebelum dan sesudah makan. Jauh lebih terkontrol daripada saat saya seusia mereka. Ingat kan bagaimana kita dulu dengan gembira mengelapkan tangan kotor ke baju atau ke mana saja?
Bagaimana dengan istirahat yang cukup? Sayang sekali saya hanya bersama anak-anak sampai jam 1 siang. Di sekolah ada waktu istirahat dan makan 30 dan 45 menit, menyela 90 menit waktu belajar mereka. Saya pikir itupun cukup, karena kami tidak menyuruh mereka memotong waktu istirahatnya untuk antri sholat dan semacam itu. Di kelas, saya biasa mengatur waktu untuk anak-anak menyelesaikan tugas-tugas mereka yang tertinggal. Biasanya hanya 5 - 10 menit sehari memotong waktu istirahat.
Yang membuat saya lebih prihatin, anak-anak punya kecenderungan seperti mesin diesel. Panasnya agak lama. Setelah tidak masuk sekolah, mereka perlu waktu setengah sampai satu hari untuk menyesuaikan diri dengan irama kegiatan di sekolah. Saya juga bisa mengerti kalau ada rasa cemas yang tidak terungkap saat pelajaran seakan melompat ke satuan waktu yang berbeda buat mereka yang sebelumnya absen. Anak-anak seusia ini belum bisa bertanya pada temannya "Eh, gue kemarin ketinggalan apa. Pinjem catatan dooong... gue fotokopi."
Bagaimana pula saya bisa membayar kekurangan waktu berdiskusi, bekerja dalam kelompok kecil, atau melakukan kegiatan pengamatan di sekeliling sekolah pada anak-anak yang tidak masuk?Yang bisa saya lakukan hanya mengirimkan sebagian lembar kerja. Lembar kerja yang hanya berfungsi sebagai review. Apa yang mau direview?
Akhirnya saya membuat kesepakatan dengan anak-anak. Kami akan menghitung jumlah hari dimana semua anak hadir dan tidak terlambat. Jika sudah terkumpul 40 hari kami akan berpesta. Anak-anak sepakat bahwa pestanya akan berupa permainan petualangan mengumpulkan harta karun.
Kegiatan ini sudah berlangsung 2 minggu dan belum-belum anak-anak sudah kecewa. Tahu kenapa? Karena kami baru berhasil mengumpulkan 1 angka. Dalam dua minggu ini baru 1 hari saya ketemu mereka semua lengkap. Sekarang mereka lebih cerewet menanyai teman yang tidak masuk.
Saya sudah cukup prihatin sampai akhirnya, beberapa hari lalu saya sempat berkata pada anak-anak, "Pernahkah kamu membayangkan kamu tidak bisa sekolah padahal kamu ingin? Pernahkah kamu membayangkan bahwa ada anak-anak yang tidak bisa sekolah di luar sana, jumlahnya ribuan. Ada lho. Bersyukurlah kamu bisa sekolah dan senang di sekolah. Jika kamu sudah tidak senang lagi di sekolah, Bu Tia bisa menemukan anak seperti itu yang mau sekolah di sini."
Sudah sudah tidak tahu lagi mau bilang apa. Padahal mungkin saja apa yang saya katakan pada mereka sebenarnya tidak tepat sasaran untuk meningkatkan angka kehadiran di kelas. Toh saya tahu anak-anak tak pernah jalan kaki sendiri dari rumah ke sekolah.
Apakah perlu saya bertukar tempat dengan guru yang lebih suka mengirim lembar kerja ke rumah-rumah daripada merancang kegiatan yang macam-macam dan merepotkan?
Saya pikir wajar juga kalau saya heran karena anak-anak di kelas saya tahun ini aktif bergantian tidak masuk sekolah. Tak lebih dari 10 hari selama satu kuartal saya bisa menemui kelas saya utuh berisi 14 anak.
Apakah cuaca begitu buruk sampai anak-anak sakit-sakitan? Saya membandingkan angka ketidakhadiran dari kelas 1 sampai 4, dan kelas saya tetap memegang rekor. Rekor kelas kami hanya dikalahkan oleh anak-anak TK yang sedang belajar sekolah.
Masa sih anak-anak di sekolah seperti ini kurang gizi? Hehe, orang-orang dewasa pun bisa kekurangan gizi tanpa melihat status sosial ekonomi. Itu hanya masalah gaya hidup. Lagipula agak sulit ya, mengajak anak-anak mau makan makanan yang sehat. Mereka sudah tahu enaknya sosis dan chicken nugget. Buah dan sayur lebih sulit disimpan dan disiapkan. Lagipula restoran-restoran makanan cepat saji jaraknya hanya sekedipan mata dari sekolah kami.
Jangan-jangan waktu beraktivitas fisik mereka yang kurang? Saya tidak tahu bagaimana di rumah. Di sekolah saya bisa melihat anak-anak punya waktu setidak-tidaknya satu jam untuk berlarian kian kemari dan masuk kelas dalam keadaan berkeringat berat. Lebih banyak titipan untuk memastikan anak-anak ganti pakaian bersih dan kering daripada titipan untuk menghalau anak-anak agar bergerak cukup.
Sebegitu joroknya kah sekolah kami? Saya masih merasa nyaman berkegiatan tanpa alas kaki. Kelas disapu setidaknya 3 kali sehari. Tidak ada sampah bergelimpangan. Anak-anak juga tidak minum air keran. Anak-anak pun punya kebiasaan cuci tangan sebelum dan sesudah makan. Jauh lebih terkontrol daripada saat saya seusia mereka. Ingat kan bagaimana kita dulu dengan gembira mengelapkan tangan kotor ke baju atau ke mana saja?
Bagaimana dengan istirahat yang cukup? Sayang sekali saya hanya bersama anak-anak sampai jam 1 siang. Di sekolah ada waktu istirahat dan makan 30 dan 45 menit, menyela 90 menit waktu belajar mereka. Saya pikir itupun cukup, karena kami tidak menyuruh mereka memotong waktu istirahatnya untuk antri sholat dan semacam itu. Di kelas, saya biasa mengatur waktu untuk anak-anak menyelesaikan tugas-tugas mereka yang tertinggal. Biasanya hanya 5 - 10 menit sehari memotong waktu istirahat.
Yang membuat saya lebih prihatin, anak-anak punya kecenderungan seperti mesin diesel. Panasnya agak lama. Setelah tidak masuk sekolah, mereka perlu waktu setengah sampai satu hari untuk menyesuaikan diri dengan irama kegiatan di sekolah. Saya juga bisa mengerti kalau ada rasa cemas yang tidak terungkap saat pelajaran seakan melompat ke satuan waktu yang berbeda buat mereka yang sebelumnya absen. Anak-anak seusia ini belum bisa bertanya pada temannya "Eh, gue kemarin ketinggalan apa. Pinjem catatan dooong... gue fotokopi."
Bagaimana pula saya bisa membayar kekurangan waktu berdiskusi, bekerja dalam kelompok kecil, atau melakukan kegiatan pengamatan di sekeliling sekolah pada anak-anak yang tidak masuk?Yang bisa saya lakukan hanya mengirimkan sebagian lembar kerja. Lembar kerja yang hanya berfungsi sebagai review. Apa yang mau direview?
Akhirnya saya membuat kesepakatan dengan anak-anak. Kami akan menghitung jumlah hari dimana semua anak hadir dan tidak terlambat. Jika sudah terkumpul 40 hari kami akan berpesta. Anak-anak sepakat bahwa pestanya akan berupa permainan petualangan mengumpulkan harta karun.
Kegiatan ini sudah berlangsung 2 minggu dan belum-belum anak-anak sudah kecewa. Tahu kenapa? Karena kami baru berhasil mengumpulkan 1 angka. Dalam dua minggu ini baru 1 hari saya ketemu mereka semua lengkap. Sekarang mereka lebih cerewet menanyai teman yang tidak masuk.
Saya sudah cukup prihatin sampai akhirnya, beberapa hari lalu saya sempat berkata pada anak-anak, "Pernahkah kamu membayangkan kamu tidak bisa sekolah padahal kamu ingin? Pernahkah kamu membayangkan bahwa ada anak-anak yang tidak bisa sekolah di luar sana, jumlahnya ribuan. Ada lho. Bersyukurlah kamu bisa sekolah dan senang di sekolah. Jika kamu sudah tidak senang lagi di sekolah, Bu Tia bisa menemukan anak seperti itu yang mau sekolah di sini."
Sudah sudah tidak tahu lagi mau bilang apa. Padahal mungkin saja apa yang saya katakan pada mereka sebenarnya tidak tepat sasaran untuk meningkatkan angka kehadiran di kelas. Toh saya tahu anak-anak tak pernah jalan kaki sendiri dari rumah ke sekolah.
Apakah perlu saya bertukar tempat dengan guru yang lebih suka mengirim lembar kerja ke rumah-rumah daripada merancang kegiatan yang macam-macam dan merepotkan?
Monday, January 08, 2007
Selamat Tahun Baru!
Liburan selesai hari ini.
Saat saya sampai sekolah, kelas sudah ramai. Semua sudah sibuk berteriak-teriak, "Selamat Tahun Baru, Bu Tia!"
Kulit-kulit mereka tambah cokelat.
Setelah saya perhatikan baik-baik, ... sepertinya mereka tambah tinggi.
Teman Baru
Kami mendapat dua teman baru, seorang di kelas 2 dan seorang lagi di kelas 4. Anak-anak senang bukan kepalang. Dua kelas itu berduyun-duyun menggiring teman baru mereka berkenalan dengan seisi sekolah. Saya tak tahu bagaimana dengan anak baru di kelas 4, tapi Gita, murid di kelas saya tampak gembira. Ia sudah menggandeng teman-temannya dan berlarian ke sana kemari.
Anak-anak lain memegang janjinya bahwa mereka akan membantu Gita menyesuaikan diri. Gita ngambek karena merasa tidak bisa menulis sambung. Setelah saya beri contoh, ternyata tulisan sambungnya bagus. Saya memujinya, lihat Gita, tulisanmu lebih bagus dari Bu Tia. Hanya perlu berlatih lebih berani, tidak perlu takut-takut.
Mey, dengan tulisan sambung sempurna, melongok pekerjaan Gita dan tersenyum. Tahu nggak, kamu bisa membeli buku latihan menulis sambung, lalu latihan di rumah. Beres, deh!
Semangat Baru
Anak-anak benar-benar masuk dengan semangat baru. Saya jadi ketularan.
Mereka menulis ulang dongeng yang saya ceritakan dengan sangat rinci, sekurang-kurangnya 1 halaman folio. Mereka bertanya tentang semua kata-kata baru yang mereka dengar dalam dongeng itu. Meringis, 'g'nya berapa bu? Di istana itu ada pelayan atau nelayan? Apakah aku harus menulis Raja dengan R besar? Nama temannya Raja Manus tadi siapa ya, aku lupa? Pandai Emas tadi artinya apa?
Mereka juga membuat gambar-gambar yang indah ketika saya minta mereka menggambar hal-hal sederhana yang membuat mereka merasa senang.
Sekar menggambar, "Saat memeluk ibuku, aku merasa senang."
Sargie menggambar, "Saat main di rumah Sekar, aku merasa senang."
Zaky dan Rai menggambar, "Melukis membuatku senang."
Mey menggambar, "Saya senang saat membuat hadiah sendiri untuk orang lain."
Gita dengan sukacita menggambar dirinya sedang menyanyi. Menyanyi membuatnya senang.
Saat punya teman baru aku senang.
Saat kembali ke sekolah, ternyata saya juga senang...
Saat saya sampai sekolah, kelas sudah ramai. Semua sudah sibuk berteriak-teriak, "Selamat Tahun Baru, Bu Tia!"
Kulit-kulit mereka tambah cokelat.
Setelah saya perhatikan baik-baik, ... sepertinya mereka tambah tinggi.
Teman Baru
Kami mendapat dua teman baru, seorang di kelas 2 dan seorang lagi di kelas 4. Anak-anak senang bukan kepalang. Dua kelas itu berduyun-duyun menggiring teman baru mereka berkenalan dengan seisi sekolah. Saya tak tahu bagaimana dengan anak baru di kelas 4, tapi Gita, murid di kelas saya tampak gembira. Ia sudah menggandeng teman-temannya dan berlarian ke sana kemari.
Anak-anak lain memegang janjinya bahwa mereka akan membantu Gita menyesuaikan diri. Gita ngambek karena merasa tidak bisa menulis sambung. Setelah saya beri contoh, ternyata tulisan sambungnya bagus. Saya memujinya, lihat Gita, tulisanmu lebih bagus dari Bu Tia. Hanya perlu berlatih lebih berani, tidak perlu takut-takut.
Mey, dengan tulisan sambung sempurna, melongok pekerjaan Gita dan tersenyum. Tahu nggak, kamu bisa membeli buku latihan menulis sambung, lalu latihan di rumah. Beres, deh!
Semangat Baru
Anak-anak benar-benar masuk dengan semangat baru. Saya jadi ketularan.
Mereka menulis ulang dongeng yang saya ceritakan dengan sangat rinci, sekurang-kurangnya 1 halaman folio. Mereka bertanya tentang semua kata-kata baru yang mereka dengar dalam dongeng itu. Meringis, 'g'nya berapa bu? Di istana itu ada pelayan atau nelayan? Apakah aku harus menulis Raja dengan R besar? Nama temannya Raja Manus tadi siapa ya, aku lupa? Pandai Emas tadi artinya apa?
Mereka juga membuat gambar-gambar yang indah ketika saya minta mereka menggambar hal-hal sederhana yang membuat mereka merasa senang.
Sekar menggambar, "Saat memeluk ibuku, aku merasa senang."
Sargie menggambar, "Saat main di rumah Sekar, aku merasa senang."
Zaky dan Rai menggambar, "Melukis membuatku senang."
Mey menggambar, "Saya senang saat membuat hadiah sendiri untuk orang lain."
Gita dengan sukacita menggambar dirinya sedang menyanyi. Menyanyi membuatnya senang.
Saat punya teman baru aku senang.
Saat kembali ke sekolah, ternyata saya juga senang...
Subscribe to:
Posts (Atom)