Angka ketidakhadiran di kelas saya luar biasa tinggi. Isi kelas saya hampir tak pernah lengkap. padahal penghuninya cuma 14 orang. Selama 3 tahun ini baru kali ini saya gusar dengan angka ketidakhadiran. Tahun-tahun lalu selalu ada satu atau dua anak yang memang sering tidak hadir, karena alasan-alasan tertentu yang sudah membuat saya menyerah. Tetapi sisanya cukup aktif hadir di sekolah. Tentu saja absen karena sakit sekali atau dua kali wajar sekali. Saya juga begitu kok.
Saya pikir wajar juga kalau saya heran karena anak-anak di kelas saya tahun ini aktif bergantian tidak masuk sekolah. Tak lebih dari 10 hari selama satu kuartal saya bisa menemui kelas saya utuh berisi 14 anak.
Apakah cuaca begitu buruk sampai anak-anak sakit-sakitan? Saya membandingkan angka ketidakhadiran dari kelas 1 sampai 4, dan kelas saya tetap memegang rekor. Rekor kelas kami hanya dikalahkan oleh anak-anak TK yang sedang belajar sekolah.
Masa sih anak-anak di sekolah seperti ini kurang gizi? Hehe, orang-orang dewasa pun bisa kekurangan gizi tanpa melihat status sosial ekonomi. Itu hanya masalah gaya hidup. Lagipula agak sulit ya, mengajak anak-anak mau makan makanan yang sehat. Mereka sudah tahu enaknya sosis dan chicken nugget. Buah dan sayur lebih sulit disimpan dan disiapkan. Lagipula restoran-restoran makanan cepat saji jaraknya hanya sekedipan mata dari sekolah kami.
Jangan-jangan waktu beraktivitas fisik mereka yang kurang? Saya tidak tahu bagaimana di rumah. Di sekolah saya bisa melihat anak-anak punya waktu setidak-tidaknya satu jam untuk berlarian kian kemari dan masuk kelas dalam keadaan berkeringat berat. Lebih banyak titipan untuk memastikan anak-anak ganti pakaian bersih dan kering daripada titipan untuk menghalau anak-anak agar bergerak cukup.
Sebegitu joroknya kah sekolah kami? Saya masih merasa nyaman berkegiatan tanpa alas kaki. Kelas disapu setidaknya 3 kali sehari. Tidak ada sampah bergelimpangan. Anak-anak juga tidak minum air keran. Anak-anak pun punya kebiasaan cuci tangan sebelum dan sesudah makan. Jauh lebih terkontrol daripada saat saya seusia mereka. Ingat kan bagaimana kita dulu dengan gembira mengelapkan tangan kotor ke baju atau ke mana saja?
Bagaimana dengan istirahat yang cukup? Sayang sekali saya hanya bersama anak-anak sampai jam 1 siang. Di sekolah ada waktu istirahat dan makan 30 dan 45 menit, menyela 90 menit waktu belajar mereka. Saya pikir itupun cukup, karena kami tidak menyuruh mereka memotong waktu istirahatnya untuk antri sholat dan semacam itu. Di kelas, saya biasa mengatur waktu untuk anak-anak menyelesaikan tugas-tugas mereka yang tertinggal. Biasanya hanya 5 - 10 menit sehari memotong waktu istirahat.
Yang membuat saya lebih prihatin, anak-anak punya kecenderungan seperti mesin diesel. Panasnya agak lama. Setelah tidak masuk sekolah, mereka perlu waktu setengah sampai satu hari untuk menyesuaikan diri dengan irama kegiatan di sekolah. Saya juga bisa mengerti kalau ada rasa cemas yang tidak terungkap saat pelajaran seakan melompat ke satuan waktu yang berbeda buat mereka yang sebelumnya absen. Anak-anak seusia ini belum bisa bertanya pada temannya "Eh, gue kemarin ketinggalan apa. Pinjem catatan dooong... gue fotokopi."
Bagaimana pula saya bisa membayar kekurangan waktu berdiskusi, bekerja dalam kelompok kecil, atau melakukan kegiatan pengamatan di sekeliling sekolah pada anak-anak yang tidak masuk?Yang bisa saya lakukan hanya mengirimkan sebagian lembar kerja. Lembar kerja yang hanya berfungsi sebagai review. Apa yang mau direview?
Akhirnya saya membuat kesepakatan dengan anak-anak. Kami akan menghitung jumlah hari dimana semua anak hadir dan tidak terlambat. Jika sudah terkumpul 40 hari kami akan berpesta. Anak-anak sepakat bahwa pestanya akan berupa permainan petualangan mengumpulkan harta karun.
Kegiatan ini sudah berlangsung 2 minggu dan belum-belum anak-anak sudah kecewa. Tahu kenapa? Karena kami baru berhasil mengumpulkan 1 angka. Dalam dua minggu ini baru 1 hari saya ketemu mereka semua lengkap. Sekarang mereka lebih cerewet menanyai teman yang tidak masuk.
Saya sudah cukup prihatin sampai akhirnya, beberapa hari lalu saya sempat berkata pada anak-anak, "Pernahkah kamu membayangkan kamu tidak bisa sekolah padahal kamu ingin? Pernahkah kamu membayangkan bahwa ada anak-anak yang tidak bisa sekolah di luar sana, jumlahnya ribuan. Ada lho. Bersyukurlah kamu bisa sekolah dan senang di sekolah. Jika kamu sudah tidak senang lagi di sekolah, Bu Tia bisa menemukan anak seperti itu yang mau sekolah di sini."
Sudah sudah tidak tahu lagi mau bilang apa. Padahal mungkin saja apa yang saya katakan pada mereka sebenarnya tidak tepat sasaran untuk meningkatkan angka kehadiran di kelas. Toh saya tahu anak-anak tak pernah jalan kaki sendiri dari rumah ke sekolah.
Apakah perlu saya bertukar tempat dengan guru yang lebih suka mengirim lembar kerja ke rumah-rumah daripada merancang kegiatan yang macam-macam dan merepotkan?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment