Thursday, August 09, 2007

Rokok, Iklan dan Kesan

Kami sedang membahas sistem pernafasan manusia. Sudah kenyang dengan aneka alat peraga dan uji coba untuk mengerti bagaimana manusia bernafas, saya melempar topik rokok pada anak-anak.

Anak-anak membaca bagaimana tar dan nikotin bekerja pada sistem pernafasan manusia. Saya menjelaskan, lari ke mana tar dan nikotin itu. Apa yang terjadi pada tubuh kita.Tentu saya tidak membual tentang rokok dan kanker.

Tidak sekalipun saya mengatakan pada mereka apakah sebaiknya mereka merokok atau tidak. Saya juga berbagi cerita bahwa orang-orang dekat saya perokok. Mereka, mungkin mengalami situasi yang sama. Anak-anak pun seru berbagi tentang pengalaman mereka mencoba rokok, menjadi perokok pasif, bahkan menyatakan pilihannya.

“Aku sudah pernah mencoba rokok dan aku tidak suka. Bu Tia sudah pernah coba?”

“Sudah, dan Bu Tia memilih untuk tidak merokok.”

Tangan Mita terkembang, “Join the club, Bu!”

Saya menggoda mereka. Lihat saja nanti, kalian pasti ingin coba. Saat teman-teman kalian bilang merokok itu keren. Saat kalian pikir merokok membantu kalian untuk bisa berpikir lebih baik, menghilangkan kesal, dan masih banyak lagi.

“No way. Aku sudah tahu isinya. I am not stupid.”

“Lagian aku dan Mini akan temenan terus. Kami kan sudah tahu rokok itu seperti apa.”, protes Mita lagi.

Saya cuma cengar-cengir, “Ada yang namanya peer pressure, nak. You have to deal with it."

Pembahasan kami berlanjut pada iklan rokok.

“Bu, aku tidak mengerti mengapa di iklan rokok itu ada tulisan, merokok menyebabkan kanker, serangan jantung, dan seterusnya itu. Iklan kan dibuat untuk menarik pelanggan. Kalau ditulis seperti itu, siapa yang mau beli? Kan jadinya aneh,” Bram bertanya.

“Ya orang yang merokok sih tidak peduli lagi. Itu peraturan pemerintah," sahut yang lain.

Saya ikut nimbrung, “Ya betul, itu peraturan pemerintah. Kira-kira untuk apa?”

“Supaya orang yang tidak merokok tidak ikut-ikutan?"

“Kalau itu tujuannya, apakah tidak lebih baik jika iklan rokok dilarang?” saya memancing.

Beberapa suara bergumam setuju. Mini memotong, “Ya Ibu tahu kan orang Indonesia, yang penting uang…”

Keesokan harinya saya menunjukkan artikel berisi cuplikan penelitian yang menunjukkan bahwa banyak anak mulai merokok sebelum usia mereka sepuluh tahun. Anak-anak tetap berpikir bahwa iklan adalah salah satu penyebab utama, selain anak-anak mencontoh dari orang dewasa di sekitarnya.

Anak-anak berbagi cerita tentang bagaimana mereka pernah tertarik pada produk yang ditawarkan iklan.

Lika berpendapat, “Menurutku Bu, iklan rokok di tv itu bagus-bagus lho, Aku suka.”

Teman-temannya menanggapi dengan menceritakan adegan iklan yang mereka sukai dan menyanyikan jingle-nya. Saya setuju dengan mereka.

“Tapi Bu, aku perhatikan kok iklan rokok tidak pernah menampilkan orang yang merokok.” kata Putu.

“Betul sekali pengamatanmu. Itu memang dilarang dalam peraturan membuat iklan rokok. Tapi bagaimana iklan bisa menarik pelanggan kalau tidak menunjukkan orang merokok?”

“Karena gambar-gambarnya bagus?” seseorang menebak.

"Gambar-gambar apa yang kamu lihat?"

“Ok, kalau kamu menonton iklan rokok, seperti rokok M misalnya. Kesan apa yang kamu tangkap?”

“Seru, Bu!’

“Berpetualang!”

“Keren!”

"Beramai-ramai."

Ya, itulah yang mereka ingin kamu ingat tentang rokok mereka. Tidak perlu pakai rokok, juga sudah bisa kelihatan, kan? Sekarang, ayo kita main buat-buat iklan. Bisa tidak kamu buat iklan tentang pizza yang enak tanpa membuat gambar pizza?Sambil bercanda anak-anak berpura-pura jadi copywriter iklan sampai datang guru matematika untuk memulai pelajaran.


No comments: