Tuesday, August 14, 2007

Buku Sejarah

Beberapa minggu lalu saya sempat heran dengan heboh-heboh tentang lagu Indonesia Raya. Ya, lagu Indonesia Raya terdiri dari tiga stanza. Lalu? Itu bukan berita baru.

Putu bertanya pada saya, stanza itu apa sih?

Esoknya saya membawa versi lengkap Indonesia Raya untuk anak-anak. Saya pikir, mereka mungkin belum tahu, dan tentu akan tertarik mengingat mereka sedang senang-senangnya membaca aneka berita dari media massa.

Apa tanggapan mereka?
"Iya memang, Bu. Indonesia Raya memang ada tiga bait lirik. Kan sudah pernah di kelas 3 atau kelas 2, gitu..."

Jadi, bagaimana caranya seorang pakar tidak tahu bahwa IndonesiaRaya terdiri dari tiga stanza, sementara anak-anak di kelas saya yang bahkan baru lahir saat perubahan politik tahun 1998 terjadi sudah tahu sejak beberapa tahun yang lalu?

Saya menyimpan keheranan ini sambil terus mengumpulkan bahanbahan untuk membahas tema Sejarah Indonesia. Barulah saya mengerti mengapa si pakar (dan mungkin banyak orang di negeri ini) tidak paham sejarah.

1. Buku teks sejarah untuk sekolah tidak memerhatikan (apalagi membahas) garis waktu.

Untuk membahas tentang Perang Nusantara pada periode 1800 -1900an saya membaca satu buku tulisan R.P Suyono (nanti saya edit kalau salah). Ketika membandingkannya dengan teks sejarah di buku IPS untuk kelas V SD, saya menemukan kejanggalan. Di salah satu sub judul Perang Bone, foto yang tercantum adalah foto Sultan Hassanudin. Cerita tentang Sultan Hassanudin hanya dua kalimat, lanjutannya adalah tentang Perang Bone pasca Traktat Bonga.

Setelah membaca lebih jauh lagi di buku Pak Suyono, saya temukanbahwa Sultan Hassanudin hidup di masa VOC dan melakukan perlawanan pada VOC.

Barangkali penulis buku IPS Kelas V saat menulis buku itu masihmenganggap asal Belanda sama saja. VOC atau pemerintah Hindia Belanda, sama saja. Toh sama-sama orang Belanda.

Masih pada buku yang sama, di dalam BAB YANG SAMA, para penulismenyusun sejarah Indonesia menjadi tiga bagian:
A. Penjajahan Belanda di Indonesia
B. Penjajahan Jepang di Indonesia
C. Pergerakan Nasional di Indonesia

Sebelum anak-anak sama lieur-nya dengan para penulis, saya membuat garis waktu dan menjelaskan tiap perpindahan periode bahasan dengan anak-anak.

2. Penjabaran sebab dan akibat yang suka-suka gue.

Kalimat berikut ini menjadi pengantar dalam pembuka sub bab Pergerakan Nasional Indonesia dan Tokohnya;

Baik Portugal, Inggris, maupun Belanda mencobamenaklukkan
kerajaan-kerajaan yang ada di nusantara. Mereka menindas rakyat Nusantara dan memanfaatkan kekayaan alam Nusantara untuk kepentingan mereka sendiri.

Penjajahan itu kemudian menciptakan rasa kebersamaan diantara penduduk di
wilayah Nusantara. Mereka merasa sama-sama berada di bawah penindasan penjajah. Karena itu mereka bekerja sama untuk memperoleh kemerdekaan. Mereka semua ingin merdeka sebagai satu kesatuan dalam suatu negara baru, yaitu Indonesia.

Pembahasan dilanjutkan dengan terbentuknya Budi Utomo. Coba pikirkan, saudara-saudara, apakah di awal tahun 1900 sms sudah begitu murahnya sehingga semua orang di nusantara bisa saling kirim sms untuk menceritakan beban senasib sepenanggungan mereka?

Lalu apa manfaatnya aktivis-aktivis muda itu membuat pergerakan kalau rakyatnya sudah merasa senasib dan ingin merdeka? Perlu waktu setidaknya 20 tahun sejak Budi Utomo berdiri, hingga para pemuda itu berpikir bahwa mereka adalah satu bangsa. Apa yang terjadi dua puluh tahun kemudian tidak bisa menjadi penyebab kejadian hari ini, bukankah demikian?

Saya hampir melempar buku ini keluar jendela kalau saya tidak ingat bahwa saya tetap butuh panduan buku ini agar saya tahu apa yang harus saya berikan agar anak-anak lulus ujian.

Apa yang saya lakukan di kelas? Saya jelaskan pada anak-anak tentang Politik Etis. Bisa kok, menjelaskan politik etis dengan sederhana dan tetap membuat anak-anak menyusun fakta sejarah di kepalanya dengan lurus pikir, bukan sesat pikir.

3. Fakta dan opini campur baur menjadi satu.

Saras membawa sebuah buku untuk tingkat SMP. Kebetulan materinya juga tentang Pergerakan Nasional. Selagi anak-anak sibuk menjelajah internet dan membaca buku-buku untuk menulis riwayat hidup para tokoh Pergerakan Nasional, saya mengambil buku yang dibawa Saras dan membacanya.

Salah satu bagian membahas tentang perpecahan Sarikat Islam. Kalimat-kalimat yang menjelaskan siapa itu Semaun sungguh penuh dengan opini. Ringan saja si penulis menghubungkan satu ideologi dengan tekad untuk menghancurkan satu agama. Dan, ya, tentu saja, si penulis tahu bahwa pembaca bukunya adalah anak-anak, yang tentu saja serba percaya. Sayang buku itu tidak ada pada saya sekarang, jadi saya tidak bisa tulis contohnya.

Ya, sejarah ditulis oleh pihak yang menang. Mungkin sekali ada kecenderungan untuk membuat lawan yang sudah kalah tampak jadi pendosa. Saya ingat betul, cerita tentang Perang Padri saat saya kecil. Susunan kalimatnya jelas pro Padri dan kontra Adat.

Dengan beberapa sumber yang lebih baik, saya menyusun bacaan tentang Perang Padri, dan dengan sengaja menunjukkan sudut pandang Kaum Padri dan Kaum Adat, serta apa yang mereka pertentangkan.

Ketika membacanya, Saras mulai menggaruk-garuk dagunya sambil berkomentar, "Susah juga ya Bu. Dua-duanya benar dan dua-duanya salah. Aku setuju kalau Kaum Padri ingin memperbaiki jalannya ajaran Islam. Tapi kalau sampai membunuh begitu, aku rasa salah juga. Kaum Adat juga mungkin salah karena melakukan hal-hal yang dilarang agama, tapi hmm... harusnya tidak begini. "

Saya tersenyum-senyum di sebelahnya, "Kamu lihat miripnya dengan situasi sekarang."

"Hehe, iya sih."

Di saat berdiskusi Lika menambahkan, "Boleh saja memberitahu orang lain apa yang kita anggap benar, tetapi tidak boleh memaksa apalagi dengan kasar."

Barangkali memang benar, memberi keleluasaan anak-anak untuk terbiasa dengan sudut pandang yang berbeda bisa jadi masalah besar. Masalahnya, mereka jadi tahu caranya berpikir, dan mungkin bisa beradu argumentasi dengan kita; guru, orangtua dan orang dewasa lainnya. Sebelum bahaya terjadi, baiknya kita racuni saja mereka dengan opini-opini kita. Searah. Selesai masalahnya.


Jadi, kembali ke buku sejarah. Ngomong-ngomong, kenapa ya, buku sejarah banyak yang dibakar? Pasti bukan karena berisi opini ketimbang fakta, dong? Juga bukan karena tidak pakai garis waktu, kan?

No comments: