Tuesday, August 07, 2007

Tiga Minggu Pertama

Minggu 1 : Menyesuaikan Diri

Meski kami sudah lama saling kenal, hari ini saya kembali merasa asing. Jika tertawa, tawa saya seperti tersangkut di awang-awang. Saat bicara, saya rikuh sendiri kehilangan nyali. Apa ya, yang kini membuat mereka tertarik?

Anak-anak sudah nyaris sama tinggi dengan saya.

Diam-diam nomor sepatu mereka sudah lebih besar dari nomor sepatu saya.

Tanpa perlu dibantu, anak-anak sudah bisa menjalankan kelas sendiri. Sudut-sudut kelas kami tetap rapi jali tanpa saya perlu mengomel sana sini dan serba menunjukkan ini itu.

Wah, anak-anak ini – mereka sudah besar. Apa masih mau disebut anak-anak?


Minggu 2 : Mulai Belajar

Baik, saya sudah mulai bisa menyesuaikan diri bahwa saya tak lagi terlalu dibutuhkan untuk mengurus mereka. Di meja, saya masih kalang kabut menyusun dan mempelajari bahan-bahan. Sudah kelas 5, sekarang kami benar-benar harus mempelajari sesuatu. Saya tak bisa lagi mengandalkan isi kepala saat harus memulai kelas. I have to read, and read, and read…

Contoh-contoh soal dan “rangkuman” bahan dari aneka sekolah sampai di meja saya. Sebuah batu bata besar tertelan rasanya. Ya ampun, segini banyak yang harus mereka ketahui? Do we have all the time in this world? Lama saya termangu. Lama saya butuh waktu untuk meyakinkan diri bahwa yang saya ingin anak-anak lakukan bersama saya di kelas adalah belajar dan berproses. Bukan mengingat setumpuk fakta dalam selembar kertas bersama rangkuman.

Nanti, saya gunakan contoh-contoh soal itu jika perlu. Sekarang, saya akan cari tahu dulu bagaimana saya bisa membuat anak-anak mempelajari semua itu tanpa saya perlu menyuapi mereka satu persatu.

Minggu 3 : Sebuah Sisi

Apa yang menarik dari ABA (Anak Baru ABG)? They are both children and adult. Mereka berbicara dengan lugas dan tandas, meniru sinisme orang dewasa, dan di saat yang sama tidak ragu menjadi anak-anak. Mereka tidak sungkan main petak umpet atau melonjak gembira karena tahu sedotan untuk percobaan IPA boleh dipakai main sumpit.

Pemahaman ruang dan waktu mereka sudah jauh lebih memadai untuk bisa memahami sejarah. Dunia mereka sudah lebih luas dari “aku dan aku”. Mereka sudah sepenuhnya mengerti bahwa setiap orang yang mereka temui adalah entitas yang berbeda dari mereka. Maka, pertanyaan, “Bagaimana Ibu dulu waktu seumur kami?” jadi begitu penting dan menarik.

Bagi anak-anak ini, teman, guru, orang tua dan saudara mereka bisa dilihat dari kacamata baru. Semua orang punya cerita, kami bisa mirip sekaligus berbeda. Jika saya bertanya, apa cita-citamu? Mereka balik bertanya, Bu Tia dulu ingin jadi apa? Ketika mereka berkeluh kesah dengan matematika, Mini dan Mita mendongak melihat pada saya penuh ingin tahu, “Did you like maths?” “Matematika waktu Bu Tia kelas 5 seperti apa?”

Melihat Mita yang selalu terkantuk-kantuk pagi hari, saya bertanya, “ I suppose you are a night person, Mita. Kamu pasti merasa lebih segar di sore dan malam hari.” Ia nyengir dan mengangguk mengiyakan. “Bu Tia juga?”

Saya tertawa. Saya? Sepenuhnya makhluk pagi.

Anak-anak ini seperti baru sadar (atau setidaknya saya baru melihat mereka demikian) mereka ada di sebuah dunia yang menarik dan tak habis-habis dikupas, dilihat dari berbagai sisi yang berbeda.

No comments: