Hari ini saya membaca artikel yang ditulis anak-anak sebuah sekolah dasar islam. Mereka menulis tentang seragam dan headlinenya berjudul "Seragam Menghapus Perbedaan".
Saya langsung teringat salah satu unit pelajaran yang sedang saya siapkan. Judulnya toleransi. Kegiatan-kegiatan yang saya susun mengajak anak-anak melihat berbagai hal yang sama dan berbeda pada dirinya dan teman-temannya. Kegiatan-kegiatan itu memuat satu tujuan, memahami bahwa berbeda itu tidak apa-apa.
Anak-anak itu menulis sebuah anggapan yang saya ingat betul pernah didoktrinasikan guru-guru saya sekitar tahun delapan puluhan. Seragam membuat anak-anak yang miskin tetap terlihat sama dengan yang kaya. Tidak ada kecemburuan sosial. Oleh karena itu seragam diseragam-seragamkan sampai sepatu dan kaos kaki. Sayangnya, tas dan aneka kotak pensil tidak bisa diseragamkan. Cerita tentang liburan juga tak bisa diseragamkan.
Di sekolah tempat saya mengajar anak-anak tidak menggunakan seragam. Semua anak memakai apa yang mereka suka dan mereka anggap nyaman untuk berkegiatan. Ada anak-anak yang sejak kecil sudah menunjukkan cita rasa berpakaian dengan aneka eksprerimen atau keharusan menggunakan warna yang sama dari atas sampai bawah. Ada juga yang tak peduli dan cukup bahagia dengan aneka t-shirt dan celana jeans. Ada yang saling mencela? Tidak.
Saya ingat betul dua tahun lalu gadis-gadis kecil di kelas saya ingin janjian memakai rok tertentu. Hal pertama yang mereka lakukan sebelum memutuskan Hari H janjian itu, mereka bertanya pada salah seorang teman yang "kurang mampu", apakah ia punya jenis rok yang ingin mereka kenakan. Si teman menjawab tidak. Maka kumpulan gadis kecil itu berunding ulang, pakaian apa yang bisa mereka kenakan bersama-sama agar si teman "kurang mampu" bisa ikut serta.
Saya bangga sekali pada mereka.
Sejak itu saya berpendapat, prejudice tentang kelas sosial sebenarnya diajarkan orang dewasa.
Di dalam artikel yang saya baca tadi, anak-anak itu menuliskan beberapa saran untuk merawat pakaian seragam agar tetap bagus dan tidak mendadak jadi gombal.
Salah satunya, mereka menganjurkan anak-anak agar tidak bermain lari-larian waktu istirahat, melainkan makan lantas ke perpustakaan.
Wah, saya ingat lagi guru SD saya dulu. Ia marah sekali kalau anak laki-laki masuk kelas berkeringat. Semua disuruh tunggu di luar kelas sampai mereka kering. Sebaliknya saya justru membiarkan anak-anak di kelas saya berlarian jungkir balik saat istirahat tiba, sampai mereka tampak habis main di sungai. Kalau berkeringat, saya minta mereka ganti baju.
Anak-anak perlu bergerak supaya sehat. Anak-anak perlu berteriak-teriak untuk melepaskan ketegangan di dalam kelas. Anak-anak perlu keseimbangan antara tenang dan riuh, diam dan gerak. Anak-anak biar menjadi anak-anak. Tidak perlu menjaga citra dengan duduk manis diam-diam.
Saya kok agak ngeri kalau anak-anak yang pada dasarnya suka bermain lantas punya anggapan bermain itu dosa demi pakaian bersih. Kenapa mereka tidak dipakaikan pakaian tua saja supaya bisa main sampai jelek?
Di bagian lain artikel itu, mereka menceritakan pengalaman mereka menulis untuk media massa. Para penulis adalah perempuan. Mana anak laki-lakinya, tanya redaksi. Anak-anak itu menjawab, oh, anak laki-laki bagusnya di matematika. Lagipula tulisan tangan mereka jelek.
Saya terdiam lagi.
Anak-anak usia 10 tahunan ini sudah punya nilai bahwa perbedaan itu buruk dan harus dihapuskan atau tidak diperlihatkan. Mereka juga sudah punya nilai bahwa anak perempuan tidak bisa berpikir logis, bisanya cerewet dan rapi jali seperti bibi titi teliti.
Pikiran saya tidak bisa tidak beralih ke kelas saya. Oh baguslah, tulisan Tara bagus dan isinya menarik. Putri juga mengalami kemajuan luar biasa dalam bermatematika dan menggunakan komputer. Seingat saya semua anak suka main lari-larian, main sepak bola (laki-laki dan perempuan) maupun bermain drama keluarga-keluargaan.
Saya akan kembali pada unit pelajaran tentang toleransi itu, sampai besok ya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment