Di koran langganan kami sering ada resensi film. Anak-anak ribut mencari resensi buku itu seperti apa. Setelah akhirnya kami menemukan beberapa resensi buku dalam koran langganan itu, Medina berkomentar, "Bu, resensi buku ini sih sama saja dengan laporan buku kita..."
Ya, memang.
Anak-anak di sekolah kami selalu meminjam buku di perpustakaan setiap minggu. Ibu guru yang suka iseng juga selalu melampirkan sebuah lembar bernama Laporan Buku alias book report tiap kali mereka meminjam buku. Ada versi fiksi dan non fiksi. Di dalam laporan buku fiksi saya minta mereka menulis siapa saja tokohnya dan bagaimana ringkasan ceritanya. Dalam lembar non fiksi, saya minta mereka menulis apa isi buku itu secara umum, dan pengetahuan baru apa yang mereka dapat. Apapun bukunya, saya selalu meminta mereka menggambar bagian buku yang paling mereka suka.
Awalnya, hanya agar anak-anak tidak cuma sekedar memilih buku lantas mengembalikannya kepada saya tanpa dibuka isinya.
Akhirnya, saya melihat banyak sekali kemajuan yang mereka buat. Pertama, anak-anak kelas 2 sudah tahu persis mana buku fiksi dan mana buku non fiksi. Mereka sudah tahu buku-buku mana yang bisa dijadikan referensi dan buku mana yang bisa mereka nikmati karena lucu atau ceritanya menarik.
Kemudian, anak-anak jadi begitu lihai meringkas buku. Laporan buku mereka makin hari makin baik. Tanpa perlu melihat bukunya saya sudah bisa menangkap isi seluruh buku. Bukan cuma lumayan namanya, kalau yang menulis masih seusia mereka. Ruang menulisnya saya buat terbatas. Jadi anak-anak tidak keasyikan menyalin atau kemudian menganggap hebat kalau bisa cerita rinci, bukan runtut.
Saya rasa para orang tua juga berperan besar dalam kemajuan mereka. Saya kan tidak duduk dan membaca di samping mereka selama akhir pekan.
Tetapi, kadang-kadang saya menerima komentar seperti
"Aduh bu, si adik nggak akan bisa menceritakan lagi bukunya. Bukunya kan bahasa inggris."
atau
"Bukunya tebal sekali. si kakak belum selesai-selesai membaca sendiri."
Sayang sekali.
Membaca buku bukan hanya tugas yang jadi alat melatih anak bisa membaca dan mengerti sendiri. Mengapa buku tidak dijadikan teman bersama?
Kalau bukunya kebetulan berbahasa asing, dan anak-anak belum lagi lancar membaca kata-kata sulit, mengapa tidak Ibu yang membacakan? Mengapa anak-anak tidak diajak melihat gambar dan menduga apa sebenarnya isi cerita yang dibacakan ibu? Bagaimana dengan membaca bergantian? Ayah yang membacakan narasinya anak-anak yang membacakan dialog pendeknya?
Kalau bukunya tebal, mengapa tidak duduk bersama dan membacanya bergantian? Anak-anak yang sudah bisa membaca tidak berarti harus membaca sendiri supaya tahu bagaimana caranya membaca. Dari dibacakan pun mereka belajar banyak tentang membaca, dan tentunya menikmati membaca. Mengapa tidak sesekali ayah dan ibu juga membuat "laporan buku" supaya anak-anak punya model yang bisa ditiru?
Karena, seringkali saya membiarkan anak-anak meminjam buku-buku yang ditujukan bagi anak-anak yang lebih besar dari mereka. Bukan berarti mereka harus bisa membaca dan mengerti tiap lembarnya sendiri. Saya pikir, kalau anak-anak tertarik, tidak ada salahnya. Kadang saya tinggalkan pesan di agenda agar ayah atau ibu membantu membacakan.
Saya pikir anak-anak tidak akan kehilangan kemampuannya membaca hanya karena dibacakan buku. Selagi acara membaca buku tetap menarik, isinya mengundang rasa ingin tahu dan ketagihan... mengapa tidak?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
Dahulu saya selalu membacakan 2 putri saya sebelum tidur, si kecil tidak mau diam..naik turun tempat tidur, berputar-putar, tetapi dia yang paling getol meminta saya bercerita atau memaksa kakaknya membacakan buku untuknya, sedangkan sang kakak bisa duduk dengan anteng menyimak sampai selesai. Saya sempat mengeluh kepada gurunya..saya takut si kecil tidak akan punya ketertarikan dengan buku dan membaca sendiri. Sekarang si kecil (kls 3SD) sudah meninggalkan saya dalam kecepatan & ketertarikan membaca. Semua buku dilahap, mungkin sebentar lagi saya yang akan meminta dia untuk bercerita tentang buku2 yang sudah dibacanya.
Kadang kami orang tua sering tidak sabar menunggu perkembangan anak kami, tetapi pada akhirnya terkaget-kaget sendiri ketika kadang perkembangan itu diluar ekspektasinya.
Hehehe...
saya juga sering merasa begitu. Anak-anak seringkali punya "jadwal" berkembang sendiri, dan "cara" tumbuh sendiri.
Tidak heran banyak kejutannya.
Salam buat si jagoan membaca :)
Post a Comment