Friday, August 31, 2007

Kongres Pemuda

Saya rasa anak-anak sudah mulai jenuh dengan berbagai pengetahuan baru tentang sejarah Indonesia. Mini sudah mulai mengerang, "Aduh buu... aku bingung banyak sekali tahun-tahunnya!"

Mengenal saya yang tidak menyukai acara hafal-menghafal, anak-anak juga sudah bisa menduga hal-hal mana yang akan jadi perhatian saya dan mungkin keluar dalam soal-soal ulangan, dan mana yang tidak. Untuk meyakinkan diri mereka sering bertanya

"Tanggal berdirinya PETA ini harus aku hafalkan, tidak?"

"Bu Tia tidak akan menanyakan tentang jadwal dan tempat-tempat rapat dalam kongres pemuda, kan?"


Saya sendiri nyaris mati langkah membuat sejarah jadi menyenangkan. Minggu lalu, saya meminta anak-anak merekonstruksi kembali Kongres Pemuda II. Mereka memilih peran-peran sebagai Muhammad Yamin, WR.Supratman, Sugondo Joyopuspito dan teman-teman dari berbagi Jong.

Dhara sudah siap dengan kertas untuk dijadikan papan nama, "Aku mau jadi Jong Ambon. Nah, siapa yang berasal dari Ambon, Bu?"

Saya memberinya buku pelajaran IPS dan ia segera menemukan nama Leimena.
Mini dan Lika memilih tokoh-tokoh perempuan. Sebagai pemimpin kongres, Mita memilih peran Sugondo Joyopuspito. Saras memilih tokoh yang "paling banyak bicara, Bu. Aku mau jadi M.Yamin."

Adam dipanas-panasi teman-temannya untuk menjadi W.R Supratman. Mendengar tugasnya adalah menyanyikan lagu Indonesia Raya, Adam setuju.

Maka anak-anak mengubah posisi meja dan kursi mereka menjadi sebuah meja panjang. "Kalau rapat kan mejanya seperti ini, ya Bu."

Mereka juga membuat papan-papan nama untuk menunjukkan peran mereka masing-masing. Dasar anak-anak ini, sebelum mulai mereka terus-terusan bertanya. Ini rapat yang ke berapa bu? Satu, dua atau tiga? Kalau rapatnya yang terakhir tidak usah memperkenalkan diri lagi, ya? Rapat ke satu, dua, atau tiga ini juga mereka gunakan untuk menentukan salam pembuka.
Selamat pagi, selamat siang, atau selamat sore.

Saya duduk di sisi kelas menjadi Belanda yang mengawasi jalannya rapat (sambil memegang lembar observasi, tentunya).

Anak-anak mencoba rapat sambil mempraktekkan sopan santun kongres menurut mereka. Isinya? Tentu tidak seseru dan liat seperti apa yang kita pikir jika membayangkan semua pemuda dari seluruh penjuru nusantara duduk bersama. Anak-anak bilang, mereka sedang memikirkan strategi yang tepat untuk melawan Belanda. Mereka cepat sampai pada keputusan bahwa sebaiknya mereka bekerja bersama-sama dan bersatu.

Sungguh sulit melakukan observasi sambil tersenyum-senyum mendengar mereka bergantian menyampaikan ide dengan bahasa dan sikap seresmi mungkin. Tapi saya jadi tersentuh ketika Mohammad Yamin aka Saras menyampaikan idenya tentang sumpah pemuda. Teman-temannya berseru riuh menyetujui ide itu. Saras mengajak mereka semua mengucapkannya bersama-sama, dan anak-anak mengucapkan sumpah pemuda dengan lantang.

Saya tidak tahan untuk tidak tepuk tangan. Para peserta kongres pun memandang saya dengan gusar dan berkomentar, "Belanda kok setuju."

Kini giliran Adam menyanyikan lagu Indonesia Raya. Ia memberi pengantar, "Mari kita nyanyikan bersama-sama!"

Suara protes pun bermunculan. Tidak boleh, Adam, kalau terdengar Belanda nanti kamu ditangkap. Nyanyikan saja dengan biolamu. Lagipula Adam, ini kan baru sekali kamu mainkan. Kita belum tahu dong lagunya seperti apa!

Jadilah Adam, dengan muka setengah kesal, menirukan bunyi biola dengan penggaris di tangannya.

Berakhirlah kongres Pemuda mengingat jam matematika sudah hampir tiba.

3 comments:

atiek said...

mbak tia
kelasnya keren sekali
coba bisa diterapkan teori multiplikasi buat kelasnya.. jadi makin banyak anak cerdas.. hehehe

Tia said...

hai atiek...

terimakasih. :)

Anonymous said...

hahahahhaha... ikutan ketawa terbahak2 ni baca "Saya tidak tahan untuk tidak tepuk tangan. Para peserta kongres pun memandang saya dengan gusar dan berkomentar, "Belanda kok setuju."... hahahahahahha....