Sejak dulu saya tidak pernah mengerti bagaimana orang bisa menangis histeris sampai pingsan hanya karena bertemu bintang pujaan. Buat saya itu aneh banget.
Hari ini saya agak mengerti karena setelah bertemu seseorang, saya gemetar beberapa saat lamanya. Ketika ia bicara, saya tidak bisa mengalihkan perhatian. Saya tidak bisa tidak meluap-luap dan hampir berkaca-kaca mendengarnya bercerita tentang sekolah Qaryah Thayyibah. Sekolah favorit buat saya. Satu-satunya sekolah yang membuat saya berpikir untuk pindah ke Salatiga begitu kelak saya punya anak.
Ya, hari ini saya ketemu Pak Bahruddin pemrakarasa sekolah Qaryah Thayyibah itu dalam sebuah seminar. Saya nekat menyapa. Saya polos berkata, "saya fans berat sekolah bapak..." Dan lebih konyol lagi, saya berkomentar, "Kok bisa sih pak... dalam tiga tahun anak-anak bisa berubah dan berpikir seperti itu?"
Sekarang saya jadi malu.
Enough being emotional.
Pak Bahruddin hari ini membawakan kami video dan bercerita tentang anak-anaknya di Kalibening, Salatiga. Anak-anak usia SMP yang matanya bening, meluap-luap oleh semangat dan kesenangan belajar. Anak-anak ini fasih berbahasa Inggris, terpapar internet kapanpun mereka mau, dan memiliki banyak karya. Beberapa diantaranya adalah dua lusin buku yang dituis sendiri oleh anak-anak itu. Belum terbilang rekaman, film pendek, video klip, dan entah apa lagi.
Anak-anak ini lulus SMP dengan menolak ikut UAN. Mereka membuat disertasi-disertasi yang dekat dengan kehidupan sehari-hari meski kalau mendengar temanya membuat orang seperti kita ternganga. Agrobisnis. Energi alternatif. Limbah. Mereka menolak masuk SMU Unggulan, tetapi memilih menyelenggarakan pendidikan setaraf SMU sendiri.
Itu yang saya maksud dari pertanyaan konyol saya pada Pak Bahruddin yang sepertinya jengah dengan puja puji banyak orang. Kok bisa sih, dalam waktu tiga tahun mencetak anak-anak dengan watak belajar seperti itu. Tiga tahun. Tiga tahun ini saya mengajar di ruang kelas dua yang sama dan hanya membuat perubahan dua sentimeter, not a big leap.
Tiga tahun dan anak-anak ini punya rasa percaya diri untuk apa saja. Untuk bicara, menyusun konsep, membuat penelitian, empatik dan penuh perhatian, kritis, aduh sebut saja. Saya kehilangan kata-kata.
Mendengarkan Pak Bahruddin bicara ditingkahi pertanyaan-pertanyaan para peserta, saya berkesimpulan itu adalah masalah sudut pandang. Paradigma berpikir. Para pendamping (bukan pengajar, catat itu) sangat berbesar hati untuk berdiri di sisi yang sama dengan anak-anak yang didampinginya. Mereka rendah hati untuk tidak berkata saya tahu segalanya dan saya akan beritahu kamu segala yang benar dan baik. Mereka mendampingi anak-anak menemukan dirinya dan terus belajar tentang segala hal. Mereka punya keyakinan besar untuk mempercayai setiap anak bahwa mereka bisa melakukan hal-hal hebat meski tinggal di ujung gunung.
Dengan ringan Pak Bahruddin bilang, "Anak-anak belajar banyak ketika kita berhenti mengajar mereka."
Seisi ruangan protes, "Lalu kita kerja apa?"
Sementara itu isi kepala saya bergerak pada saat-saat menakjubkan di kelas ketika anak-anak menunjukkan kemampuan yang luar biasa saat saya bilang pada mereka, "Terserah kalian!"
Cara berpikir seperti ini yang tidak dimiliki kebanyakan penonton seminar tadi. Ada yang bertanya, bagaimana bisa membuat anak-anak dapat fit di lingkungannya kalau mereka tidak punya ijasah dan tidak bisa kuliah. Saya bengong. Itu buku-buku di depan, apa? Buku-buku itu anak-anak yang menulis lho. Disertasi-disertasi tadi ditulis anak-anak berdasarkan masalah di lingkungannya. Ijasah apa lagi yang bisa membuat anak-anak tadi fit di lingkungannya.
Aduh, saya begitu bersemangat sampai tidak menemukan padanan kata fit dalam Bahasa Indonesia saat ini.
Kalau belajar di tengah sawah begitu bagaimana membuat anak-anak disiplin? Saya ingin balik bertanya, perlu disiplin macam apa lagi yang bisa membuat anak-anak tekun mengerjakan lebih dari dua buku dalam setahun? Membuat penelitian sendiri?
Kalau mereka tidak punya ijasah bagaimana bisa jadi dokter dan insinyur?
Sambil mencatat pertanyaan-pertanyaan ajaib ini saya ingat di dalam film pendek tentang sekolah Qaryah Thayyibah ada seorang anak perempuan bertutur manis bahwa ia ingin jadi presenter. Alasannya di kelas sering ada presentasi, dan ia sering ditugasi mewawancara orang-orang sekitarnya. Menurutnya kegiatan itu menarik.
Saya tidak heran. Di tahun 2000 sekian ini cita-cita memang tidak terbatas pada dokter dan insinyur. Keinginan mereka jauh berada di atas keinginan membanggakan nenek, kakek, buyut, canggah, ayah, ibu, kakak, adik, sepupu dan seluruh keluarga besar dengan ijasah dokter dan insinyur.
Anak-anak di ujung gunung ini bisa melihat cakrawala dunia lebih luas daripada kita yang terperangkap di dalam bis kota. Mereka tahu bagaimana bisa bermanfaat bagi dunianya dan mereka sudah memulainya dengan puluhan penelitian dan buku-buku tulisan sendiri.
Semua orang di dalam ruangan tadi meragukan keberhasilan metode belajar kontekstual gila-gilaan yang diterapkan Qaryah Thayyibah jika diaplikasikan di ruang belajar mereka saat ini. Saat Pak Bahruddin menjawab dengan lugas tentang cara pandangnya pada BISA dan TIDAK BISA, saya miris dalam hati. Sepertinya jelas bahwa sistem pendidikan yang ada sekarang berantakan. Kita semua mengeluhkannya di sana sini. Ketika ada pembaharuan datang dengan bukti nyata seperti skor UAN tertinggi di wilayahnya, serta deretan hasil karya, tetap saja ada yang bertanya mana kesesuaian pembaharuan ini dengan sistem yang lama?
Ada yang salah tidak ya?
Bagaimanapun, lepas dari omelan panjang pendek dan perasaan penuh yang mendera saya semalaman, hari ini saya belajar banyak tentang peran saya di ruang pekerjaan saya.
Saya ingin makin memantapkan hati untuk tidak menjawab, saya adalah seorang guru yang mengajar, jika ada orang bertanya apa pekerjaan saya.
Saya Tia. Pekerjaan saya, menemani anak-anak belajar sambil saya sendiri belajar.
My Great Alexander, saya betul-betul butuh kamu untuk duduk di sebelah saya tadi siang. Saya butuh tambahan mulut yang tidak ada remnya seperti mulut saya. Saya butuh partner untuk menertawakan diri sendiri, juga untuk berharap dunia itu bisa jadi lebih baik.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
6 comments:
mbak tia, kalau boleh tau mbak nonton film pendek tentang sekolah Qaryah Thayyibah dimana ya? saya pengen nonton juga.
hei hei, sorry lama gak liat ada komentar kamu.
Nonton di mana ya? kelihatannya sih itu salah satu rekamannya metro tv.
Nanti kalau aku tahu, dikasih tau juga deh.
Aku juga mau tahu lho... Tahu website dan emailnya Pak Bahrudin Ti?
http://qaryah.pendidikansalatiga.net/
ya...
aku juga bisa merasakannya
aku mencoba untuk menjadi sahabat buat mereka
walau aku tidak yakin apakah aku bisa
tapi bersama mereka
adalah sebuah keindahan kehidupan
...
Post a Comment