Friday, August 22, 2008

Masih Agustus

Kira-kira dua bulan terakhir ini sudah tiga orang yang menyuruh saya membaca tentang Tan Malaka. Seorang teman mengirimi buku Tan Malaka dari jauh. Obrolan beberapa malam lalu bersama Alexander The Great tentang Tan Malaka dan anjuran mencari Edisi Khusus Hari Kemerdekaan TEMPO berjudul "Bapak Republik Yang Terlupakan" membuat saya mulai terusik ingin tahunya.

Maklum, sisa-sisa produk lama, kalau ditanya sejarah masih suka bengong. Tapi saya suka membawakan sejarah di kelas, itu artinya saya jadi terpaksa belajar lagi, dan akhirnya malah senang menggoda anak-anak untuk berpikir dan berandai-andai.

Kemarin Bu Andin bercerita tentang bahasan perjanjian Linggarjati dan Renville yang mendapat protes keras dari anak-anak kelas 6. "Kok mau-maunya sih tanda tangan perjanjian yang jelas-jelas merugikan Indonesia. Apa yang dipikirkan Sutan Syahrir waktu itu, sih?"

Dan kemudian mereka menulis panjang lebar tentang apa yang akan mereka lakukan jika mereka Sutan Syahrir. Kecuali Dito, sepertinya semua memilih perang daripada diplomasi yang menurut mereka merugikan.

Saya dan Bu Andin tertawa-tawa saat membahas ini. Bukan, bukan karena jawaban mereka lucu. Tapi karena saat kami menghadapi bahasan yang sama sekian tahun lalu, kami bahkan tidak berpikir untuk bertanya. Apalagi berpikir bahwa pemimpin (di masa lalu) bisa membuat kesalahan dan bisa dibantah atau ditantang pemikirannya. Ini bukan hanya masalah mereka hebat karena kritis dan kami dulu tolol karena hanya mau menghafal.

Seakan dalam kepala mereka kini, semua manusia adalah manusia. Pahlawan atau penjahat bisa benar dan bisa salah. Pada satu titik, ini pemikiran yang mulia. Di ujung yang lain saya mulai ngeri.

Baru tiga halaman membaca Tempo, saya menemukan ini:

".... Tan tak pernah menyerah. Mungkin itulah yang membuatnya sangat kecewa dengan Soekarno Hatta yang memilih berunding dan kemudian ditangkap Belanda. ... Baginya perundingan hanya bisa dilakukan setelah ada pengakuan kemerdekaan Indonesia 100 persen dari Belanda dan Sekutu. Tanpa itu nonsens. "

(Tempo, 17 Agustus 2008, hal. 25)

No comments: