Friday, August 08, 2008

Pendidikan Seks

Anak-anak kelas 6 sedang belajar tentang reproduksi makhluk hidup. Berbekal pengetahuan mereka tentang sistem reproduksi manusia tahun lalu, anak-anak pun mulai bertanya tentang bagaimana pembuahan terjadi. Lebih tepatnya, bagaimana pembuahan dapat terjadi pada manusia?

Dalam bungkus apapun, pertanyaan mengenai seks selalu membuat jantung orang tua mau copot. Pertanyaan-pertanyaan mengenai seks adalah pertanyaan yang didoakan tak pernah muncul. Inilah saat orang tua berharap anaknya tak cerdas-cerdas amat jadi tidak tanya macam-macam.

Inilah hari di mana ayah dan ibu saling pandang, saling melirik memberi kesempatan kalau bisa suit sekalian.

*grin*

Pendidikan seks selalu jadi topik yang kontradiktif. Ada yang menganggap perlu untuk pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang tepat sekaligus menumbuhkan sikap terhadap seksualitas yang tepat. Ada yang menganggap pendidikan seks terlalu berlebihan, kebarat-baratan, berbahaya dan menggiring anak pada pengetahuan yang “belum waktunya” lalu membuat anak-anak jadi lebih permisif.

I never think that way. Sejak kira-kira 20 tahun yang lalu, ibu saya ternyata sudah cukup advance dengan memberi pembekalan dasar tentang pubertas kepada saya. Ia menjelaskan dengan baik (dan komprehensif) tentang apa yang akan terjadi saat tubuh saya menjadi dewasa. Tentang menstruasi saya mengerti, tentang roller coaster emosi, saya tak percaya. I was ten, I was happy and I didn’t believe that my life could be miserable. She was right, and I was wrong.

Bagaimanapun, pengalaman bersama ibu ini membuat saya yakin bahwa pendidikan seks itu perlu. Bayi pun sudah belajar anatomi ayah dan ibu yang berbeda. Beranjak besar, saat mandi dengan kakak dan adik anak juga belajar bahwa laki-laki dan perempuan punya tubuh yang berbeda. Kelak akan jadi seperti ayah atau seperti ibu.

Pendidikan seks menurut saya adalah bagian dari perkenalan pada identitas diri. Semakin baik pemahaman kita terhadap diri sendiri; termasuk tentang anatomi kita, lebih besar kesempatan kita memiliki konsep diri yang sehat. Orang dengan konsep diri yang baik bisa menghargai dirinya sendiri, dan kemudian menghargai orang lain.

Alasan lain yang menguatkan adalah saya berpendapat bahwa orang tua (dan guru) mestinya bisa menjadi sumber terdekat dan terpercaya bagi anak-anak untuk memenuhi rasa ingin tahu mereka tentang apa saja. Termasuk tentang seks. Lagipula, ini adalah kesempatan bagi orang tua (dan guru) untuk berbagi nilai keluarga yang berkaitan dengan agama, tradisi, keluarga, kasih sayang, keragaman, dan kesehatan tentunya.

Bagaimanapun mencemaskannya bicara tentang seks pada anak-anak, saya yakin bahwa ayah dan ibu akan memilih untuk jadi sumber informasi yang benar bagi anak-anaknya daripada membiarkan anak-anaknya mendapat informasi dan mitos-mitos aneh dari entah siapa di luar sana.

Saya memilih untuk jadi sumber informasi yang benar itu.

Sadar bahwa sebagai guru saya juga akan mentransfer tentang beragam nilai, maka saya tahu pula bahwa nilai yang saya miliki tentang kesetaraan jender akan tercermin dalam perilaku saya.

Pada anak-anak yang lebih kecil, ini saya mulai dengan hal-hal sederhana. Saya tak suka anak-anak bermain di sekitar kamar kecil, karena itu adalah tempat privacy dibutuhkan. Anak laki-laki dan perempuan berganti pakaian di tempat terpisah, dan tidak ada acara saling menakuti bahwa temannya sedang mengintip. Saya menekankan semua orang di sekolah harus memperlakukan semua orang dengan rasa hormat. Tak ada perilaku atau kata-kata yang membuat rasa tidak nyaman bisa ditolerir. Saya juga mendorong anak-anak mau bercerita tentang apa saja dan menunjukkan sikap mau percaya serta bisa dipercaya. Memeluk dan mencium adalah ekspresi kasih sayang yang baik, tapi mari kita lakukan dengan keluarga saja di rumah.

Anak laki-laki dan perempuan harus saling menghargai, itu saja dulu.

Di kelas yang lebih besar, saya merasa bahwa saya harus mempersiapkan diri lebih baik. Situs ini amat membantu. Situs ini memberi informasi yang lengkap tentang bagaimana dan apa yang harus saya sampaikan pada anak-anak di jelang waktu remaja ini dengan benar.

Salah satu hal kunci adalah mengajari anak bahwa orang tua, guru dan dokter seharusnya menjadi sumber utama dalam pengetahuan mereka tentang kesehatan reproduksinya. Dari situs ini saya banyak belajar tentang kegiatan yang melibatkan orang tua, sehingga mereka tahu apa yang sedang kami bahas di kelas. Di sisi lain, anak-anak pun terdorong untuk berdiskusi pula dengan orang tua tentang apa yang sedang kami bahas di kelas. Saya pun akan cepat tahu apakah topik yang kami bahas masih ada dalam jalur nilai masing-masing keluarga, atau ternyata sudah tak bisa diterima.

Beban terberat untuk bicara tentang seks adalah karena topik ini sering diselimuti mitos dan dipercaya selalu berhubungan dengan afeksi-afeksi dewasa tertentu. Nih, saya saja ngomongnya sampai ngumpet-ngumpet. Ini menghindari search di goggle yang tidak perlu.

Maka, hal berikut yang saya tetapkan sejak awal adalah, kami akan membicarakan seks secara ilmiah. Hanya secara ilmiah. Itu berarti kami akan memakai kata-kata yang ilmiah, dan tidak memakai bahasa bayi. Kami akan memakai kata vagina, penis dan payudara seperti kami memakai kata tangan kaki, hidung dan mata. Karena ini adalah hal yang ilmiah, saya pun bersikap selaras dengan berbicara dengan tenang dan intonasi yang wajar, sehingga tidak bisa dipersepsi ambigu.

Sejak awal ini adalah salah satu aturan dasar yang saya kemukakan di awal pembahasan tema pubertas. Saya juga menegaskan bahwa kami akan bicara secara ilmiah, itu berarti tidak ada yang lucu, tak ada yang tertawa, menertawakan, dan ditertawakan. Apa yang kami bahas adalah confidential; itu berarti tidak membicarakan pengalaman orang lain di luar diskusi. Itu berarti tidak mempermalukan siapapun. Ada kegiatan yang membutuhkan wawancara, misalnya, tapi saya hanya akan meminta slip bahwa anak sudah melakukan wawancara, lalu hasilnya akan kami bahas secara lisan saja.

Untuk menjembatani rasa enggan atau malu yang mungkin masih ada, saya membuka kotak pertanyaan. Anak-anak boleh memasukkan pertanyaan, anonim atau tidak, dan kami akan menyisihkan waktu untuk membahasnya di akhir sesi pelajaran. Anak-anak saya beritahu bahwa ada pertanyaan yang bisa saya bahas di dalam diskusi kelas, ada yang mungkin akan saya jawab secara pribadi, atau ada juga yang tidak akan saya jawab, atau mungkin saya anjurkan untuk ditanyakan pada orang tua atau ahlinya (dokter, misalnya). Saya tak pernah khawatir anak-anak bertanya terlalu jauh sebab saya tahu mereka akan bertanya sesuai kapasitas pemahaman mereka. Kalau mereka tanya, berati mereka sudah siap untuk tahu atau sudah mulai berpikir sampai situ.

Mengingat salah satu misi pendidikan seks bagi saya adalah mendorong sikap saling menghormati, maka saya membicarakan organ reproduksi dan pubertas pada laki-laki dan perempuan bersama semua anak laki-laki dan perempuan. Tujuan ini saya nyatakan dengan eksplisit sejak awal. Pada akhirnya saya memperhatikan bahwa anak laki-laki lebih tertarik pada bahasan tentang laki-laki, begitu juga anak perempuan. Beberapa bulan setelah itu, anak-anak masih saling mengingatkan bahwa menstruasi dan mimpi basah bukanlah mainan untuk ditertawakan dan untuk mengejek teman. Kita mempelajari semua itu agar saling menghormati satu sama lain.

Bagaimana hasilnya? Barangkali orang tua bisa bercerita lebih jauh. Guru kelas 6 melaporkan anak-anak masih ingat dan bisa bercerita dengan baik tentang sistem reproduksi manusia. Anak-anak pun bicara tentang sistem reproduksi dengan bahasa yang tepat, tidak pakai malu-malu atau salah tingkah, seperti mereka bicara tentang sistem pernafasan dan pencernaan.

Anak-anak jadi tahu banyak, dong, Bu? Tentu saja. Mereka pun mengajukan banyak pertanyaan sebagai hasil dari “insight” selama belajar. Jadi kalau aku sudah menstruasi, tandanya aku sudah bisa hamil? Apakah sperma dan ovum bisa bertemu lewat berciuman? Tentu tidak, jawab mereka sendiri. Mengapa? Karena jalurnya berbeda, bu. Hidung dan mulut tidak termasuk sistem reproduksi.

Kalau mereka bertanya macam-macam, apa yang bu tia lakukan? Saya jawab baik-baik. Mereka bertanya karena mereka ingin tahu. Mereka bertanya pada saya sebab mereka percaya saya akan memberi tahu mereka informasi yang benar, tidak bohong, dan tidak menyesatkan. Saya memilih untuk menghargai rasa percaya mereka.

Maka ayah dan ibu, daripada khawatir, mungkin lebih tepat bersyukur jika anak-anak bertanya tentang seks. Anak-anak percaya pada anda untuk membicarakan hal-hal yang disebut orang tabu atau sensitif. Anda sudah pegang kuncinya; rasa percaya itu. Anda bisa menggunakannya untuk membawa mereka masuk ke dalam nilai-nilai keluarga yang ingin anda teruskan pada mereka.

Selamat berbagi.


2 comments:

Anonymous said...

Ini topik yang bikin guru mau copot juga jantungnya bu Tia. Trimakasih ya atas linknya, pas banget sih saya lagi nyari. Dan sedang mengumpulkan keberanian juga..rada gentar juga.

Tia said...

good luck alifia.

seingat saya tahun lalu saya terus berhubungan dengan para orang tua, menceritakan apa yang kami kerjakan di kelas.

saya cukup beruntung bahwa (rasanya, mengingat tidak ada keluhan) saya dan orang tua cukup sepaham tentang pendidikan seks ini.

pendidikan seks tetap isu yang sensitif. nilai di tiap keluarga murid kita berbeda-beda. ini tantangan yang... menarik.

:)