Setiap hari kita harus mengambil keputusan. Keputusan-keputusan besar yang akan berpengaruh pada masa depan kita, atau keputusan-keputusan kecil yang tidak terelakkan setiap kita melangkahkan kaki.
Apapun keputusan itu, tentu memberi dampak bagi kita. Sebagian dari keputusan itu memberi dampak bagi orang lain. Kalau kita memutuskan untuk nyelonong melewati orang yang sedang mengepel, mungkin kita akan sampai lebih cepat di tujuan, tetapi orang yang sedang mengepel pasti jengkel.
Yang pasti, untuk mengambil keputusan yang benar mau tidak mau kita mesti tahu konsekuensi atau dampak dari keputusan itu.
Mengajarkan, atau memberi pengalaman, tentang konsekuensi pada anak-anak tidak semudah membalikkan tangan. Mengancam atau menjanjikan hadiah itu lebih mudah. Tetapi ancaman, hukuman, dan hadiah adalah konsekuensi semu dari tingkah laku yang ingin dibentuk dari anak-anak itu.
Meskipun kerapkali saya masih terjebak pada metode reward and punishment itu, tahun ini saya berusaha keras untuk mengurangi berbagai bentuk ancaman, stiker, bintang, dan lain-lain untuk membentuk tingkah laku tertentu. Konsekuensi dari pilihan saya adalah punya mulut yang lebih besar karena harus berulang kali menjelaskan alasan untuk anjuran atau larangan ini dan itu. Konsekuensi lainnya adalah saya harus sering bersitegang dengan mereka gara-gara berebut kekuasaan tentang siapa yang berhak menentukan apa dalam keseharian kami.
Melelahkan memang, tapi setelah setengah tahun berlalu saya bisa melihat hasilnya. Seperti bola yang menggelinding, anak-anak menjalankan rutinitas dan peraturan di kelas tanpa banyak diperintah lagi. Sekarang anak-anak sudah mulai mengerti bahwa semakin sembarangan mereka bertingkah, makin sering mereka kehilangan barang, atau merusakkan ini dan itu sehingga makin sedikit privileges yang mereka dapat; makin sering ditegur; makin sering bertengkar, dan lain-lain. Di saat yang bersamaan anak-anak mulai menikmati rasa berhasil, rasa bangga, rasa senang, dan rasa puas yang muncul kalau mereka melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh, atau just play by the rules jika menyangkut keamanan atau manajemen waktu.
Tetapi, tetap saja ada anak-anak yang belajar lebih lama, atau memang matang di hari, bulan, dan tahun yang berbeda dari teman-teman sebayanya.
Saya sudah putus asa melihat Agung hampir tidak pernah mengembalikan tugas-tugas yang saya bawakan ke rumah. Celakanya semua tugas yang saya bawakan ke rumah adalah tugas-tugas yang memiliki kegiatan lanjutan di dalam kelas pada minggu berikutnya. Ohoho, saya tidak pernah memberikan PR seperti jaman baheula; ada tiga pelajaran berarti tiga PR berbeda dari tiga buku ajar yang beda-beda juga. PR apa itu...
Taruhlah dari sepuluh tugas yang saya berikan, Agung hanya mengembalikan dua, itupun tidak lengkap. Ia sudah seringkali tidak bisa ikut kegiatan lanjutan karena memang tidak ada bahannya! Sebenarnya saya sengaja juga agar ia tahu konsekuensi dari kelakuannya.
Beberapa hari yang lalu saya menjelaskan pada anak-anak bagaimana saya menghitung nilai yang tertulis di rapor mereka. Saya juga jelaskan bagaimana saya dan guru kelas 3 menilai kesiapan mereka untuk pindah ke kelas berikutnya. Dengan sederhana saya jelaskan bahwa jika mereka tidak menguasai hal-hal mendasar yang saya harapkan di kelas 2 ini, mereka akan kesulitan di kelas berikutnya. Itu mengapa kadangkala kami memutuskan bahwa anak-anak tertentu harus mengulang di kelas yang sama.
Saya jelaskan bagaimana saya menghargai usaha dan kerja keras lebih dari hasil yang sempurna. Kalau kamu asal-asalan, konsekuensinya hasilnya tidak akan bagus. Saya tidak akan tahu kamu benar-benar bisa atau tidak. Kalau kamu tidak mendengarkan, konsekuensinya kamu tidak tahu ini dan itu lalu jadi ketinggalan. Padahal harusnya kamu bisa.
Saya juga tidak ingat persis bagaimana saya menjelaskan dan memberi perumpamaan yang sederhana.
Amazingly, this explanation touch their heart. Agung berusaha keras untuk melakukan segala sesuatunya sebaik mungkin. Ia bahkan memberi penjelasan rinci ketika saya bertanya kemana map PRnya. Ketika saya duduk di kelompoknya dan membantu salah satu temannya, saya melihat pekerjaan Agung. Saya puji bahwa ia sudah selesai hampir setengahnya. Agung melihat pada saya dan menjawab.
"Of course. Agung kan tidak ngobrol dari tadi. Nulis terus. Makanya sudah mau selesai. Dan Agung tidak perlu dibantu."
Selebihnya ia kembali tenggelam dalam kegiatan tulis menulisnya.
Saya tidak mengganggunya.