Sudah berhari-hari Adinda melontarkan pertanyaan yang itu itu saja pada saya.
Bu, Bu, jadi guru itu enak tidak? Mana yang Ibu paling suka, mengajar anak-anak, atau melakukan pekerjaan yang pulang sekolah? Apa sih enaknya mengajar? Apa yang ibu suka dari anak-anak?
Lama-lama, ganti saya yang bertanya. Memangnya Adinda ingin jadi guru?
Adinda menggeleng pasti dan melanjutkan dengan suara prihatin, Kalau aku melihat Ibu marah-marah, aku bisa membayangkan betapa repotnya mengurus anak-anak yang berisik seperti ini...
Saya menjawabnya dengan tawa yang panjang sampai saya mengeluarkan air mata.
Adinda bantu dong, supaya Bu Tia tidak repot.
Adinda menggeleng lagi.Tetap saja bu, walaupun aku bisa tenang, yang lain tetap saja berisik.
Saya belum sempat menjelaskan pada Adinda, bahwa sebetulnya tahun ini adalah tahun yang paling penuh senyum dan tawa justru karena mereka berisik, tidak pernah sungkan mengatakan apa yang ada di kepala mereka.
Dari mulut-mulut 'berisik' ini saya bisa melihat mereka berkembang begitu cepat. Saya jadi tahu apa yang mereka pelajari dari sekitar mereka. Saya jadi tahu bahwa mereka pun telah belajar memahami orang lain dan tidak lagi melulu peduli pada dirinya sendiri. Mulut-mulut berisik ini yang membuat saya mengerti bahwa mereka mengenali dunia sekitarnya tidak hanya dengan isi kepala, tapi juga dengan hati.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment