Friday, June 23, 2006

Pergilah cemas

Ini adalah hal yang paling saya cemaskan saat ini.

Bahwa ada kemungkinan besar anak-anak ini akan pergi keluar Indonesia dan memutuskan untuk tidak pernah kembali lagi.

Pada akhirnya saya harus memilih untuk menganut pikiran bahwa

a. Pilihan saya untuk teguh tinggal di sini dan mengajar anak-anak ini sia-sia sudah. Agenda menyisipkan sedikit rasa cinta pada bangsa ini hangus menguap sia sia. (Ataukah sebenarnya tidak pernah saya lakukan?)

b. Saya harus berpikiran bahwa kemanusiaan barangkali lebih luas dari sebuah bangsa atau negara. Jadi biarkan saja mereka memiliki arti untuk dunia yang lebih luas dari Indonesia

6 comments:

Tin said...

pergi dan tak kembali itu ga berarti melupakan negara dan bangsanya, ti. they may have their own way to show and be proud of their country.

Anonymous said...

hehe...
saya kurang setuju sama tanggapan anda, Ibitin...

Menurut saya, perilaku nasionalis itu bisa terukur kok. Nasionalis bukan nasionalisme. Proud dalam konteks nasionalis itu bukan pada skala emosi tapi keterlibatan. Keterlibatan dapat terlihat pada perilaku dan bagaimana seseorang memberikan sesuatu bagi negara dan bangsanya.
Sangat mungkin seseorang bisa jadi sangat nasionalis meskipun tidak berada di negerinya sendiri. Tapi itu bukan kecenderungan umum.

Yang umum terjadi adalah kawan-kawan 'kabur' dari Indonesia hanya karena merasa dirinya atau keahliannya tidak dihargai dengan layak di Indonesia. Merasa bahwa dirinya akan 'mendapat' kesempatan lebih baik dan lebih menjanjikan bila tidak di negaranya sendiri. Hahaha.. Itu sih bukan nasionalis... dan sama sekali tidak proud. Kesempatan itu tidak pernah 'didapat'. Kesempatan itu 'dibuat'.

Yang lebih banyak lagi adalah kasus teman-teman yang 'kabur' karena merasa dapat gaji lebih besar di legara lain.
Itu lebih parah lagi. Untuk kasus-kasus seperti ini, Sobron Aidit jadi jauh-jauh-jauh lebih nasionalis dari pada teman-teman itu.

Jadi sebenarnya teman-teman itu 'merasa tidak dihargai' atau hanya sekedar egosentris dan tidak mampu survive di negaranya sendiri?
Kalau memang 'tidak mampu survive' ya sudah... negara ini saat ini tidak butuh orang yang mudah frustasi dan gampang merengek... Mungkin negara-negara lain yang dirasa lebih berstruktur rapih lebih cocok untuk teman-teman bertipe manja ini.

Pertanyaan lebih lanjut:
Kalau semua orang yang cerdas dan pintar kemudian pergi... lalu gimana negara ini bisa berkembang? Kok sisanya tinggal yang mediocre... Yang pinter-pinter semuanya mikirin diri sendiri. Itukah 'proud in their own way' yang anda maksud, Ibitin?

Saya harap tidak ada yang tersinggung dengan pernyataan saya.

Tia said...

well, i think we (this country) need excellent leaders. No leaders could lead a country from another country, am i right?

Tin said...

makasih buat tanggapannya.

saya ngerti situasi seperti itu. tidak semua hal" yg umum juga terjadi pada umumnya, bukan?

bagaimana pula kalo misalnya ada yang mencoba untuk berusaha di luar negri dan kemudian mendapat pengalaman dan baru dikontribusikan utk negeri sendiri?

tanggapan anda mengenai yg pinter" mikirin diri sendiri tidak sepenuhnya benar.

tidak semua yg bisa membantu negaranya mesti di dalam negri bukan? kalo misalnya anda menggeneralisasi "Kalau semua orang yang cerdas dan pintar kemudian pergi... lalu gimana negara ini bisa berkembang? Kok sisanya tinggal yang mediocre..."

apa artinya yg ada di dalam negri tidak berkualitas? tentu saja tidak seperti itu bukan, lex? banyak yg berpotensi di negri sendiri.

tidak sepenuhnya yg mencoba kerja di luar negri hanya tergiur dengan gaji gede, sistem yg rapi, ato manja.

semoga pernyataan ini juga tidak ada yg merasa dirugikan.

makasih buat sharingnya.

Anonymous said...

Bener deductive reasoning-nya begitu?
hehehe...

Anonymous said...

alex yang baik,

pendapat anda mengusik saya. apakah ada data statistik yang mengatakan kalau kebanyakan dari mereka yang 'kabur' itu beralasan tidak dihargai di indonesia? atau semata-mata karena gaji yang lebih besar? dapatkah digeneralisasi bahwa hidup di luar negeri itu lebih enak dan memanjakan?

intuisi saya mengatakan bahwa kebanyakan dari mereka yang memiliki pilihan untuk tinggal di luar negeri adalah mereka yang berada, yang tentunya sudah memiliki kehidupan sangat nyaman di indonesia: dengan satpam, pembantu, dan supir setiap saatnya. tinggal di luar negeri, alex, adalah pilihan yang tidak mesti berhubungan dengan sikap nasionalis. mereka yang manja di luar negeri adalah mereka yang sudah manja di dalam negeri -- yang kalaupun tetap tinggal di indonesia tidak akan banyak berguna.

lebih lanjut lagi, saya tertarik dengan pernyataan anda bahwa perilaku nasionalis dapat terukur: boleh saya tahu dengan apa dan bagaimana caranya? latar belakang saya psikologi kognitif, sehingga sangat menarik bagi saya jika letak geografis seseorang dapat digunakan untuk memprediksi nasionalis tidaknya yang bersangkutan. jika ukurannya adalah keterlibatan, seperti yang anda uraikan, maka referensinya mesti dari intensi, bukan sekedar tindakan. terlalu banyak orang yang secara tidak langsung dan tidak sengaja berbuat dan menghasilkan sesuatu untuk indonesia. menilai bahwa mereka nasionalis adalah keliru besar.

saya pikir, masalah nasionalis tidaknya seseorang adalah masalah yang sangat pelik, yang tidak bisa dianalisa dengan sekedar kisah anekdotal, pengalaman pribadi, maupun pengamatan mata telanjang. manusia adalah mahluk kompleks, dimana sikap nasionalis hanyalah salah satu dari sekian banyak nilai kemanusiaan lainnya yang selalu tumpang tindih dan seringkali berseberangan.

salam,
tirta