Tamu terakhir untuk tahun ajaran ini adalah Naoko. Saya lupa nama belakangnya. Naoko adalah ibu dari dua balita yang sekolah di playgroup sekolah kami. Naoko baru enam bulan tinggal di Indonesia. Ia datang dari Tokyo. Saya memintanya untuk berkunjung ke kelas kami dan berbagi tentang Jepang.
Ya, ya, kami sedang belajar tentang Jepang dan Indonesia.
Naoko datang dengan poster tentang Jepang. Ia bercerita banyak tentang iklim Jepang dan sakura yang hanya berkembang satu minggu di musim semi.
Naoko juga membawa satu kantong besar peralatan untuk menulis huruf Jepang dengan kuas. Seperti kaligrafi begitu, tapi saya tidak sukses menanyakan istilah yang benar karena kendala bahasa. Satu yang saya tahu namanya, shodo, sejenis benda yang menghasilkan tinta hitam untuk menulis.
Naoko "menggelar" dagangannya, berupa alas, pemberat kertas, kuas, tempat tinta, shodo, dan berlembar lembar koran. Ia menunjukkan cara mencairkan shodo menjadi tinta. Dengan penuh perhatian anak-anak memperhatikan dan mencoba membuat tinta.
Setelah semua siap, Naoko menunjukkan cara menulis kata umi dalam huruf hiragana yang artinya laut menggunakan tinta dan kuas. Tulisannya bagus sekali. Anak-anak bertepuk tangan dengan kagum.
Anak-anak mau mencoba. Semua antri untuk duduk dengan posisi yang betul, memeriksa kuas dengan teliti agar tidak ada tinta yang menetes, dan menulis dengan sekali tarikan. Anak-anak mencoba tidak hanya sekali, tetapi tiga kali.
Kegiatan menulis itu melatih banyak hal. Untuk bisa menulis huruf dengan baik, harus teliti, sabar, telaten, fokus, dan jelas disiplin. Duduknya saja harus betul. Belum lagi tidak boleh cepat menyerah, karena sering kali diulang puluhan kali baru hasilnya baik.
Teman saya yang bertugas membuat dokumentasi di kelas, menepuk lembut bahu saya,
"Hebat ya, orang Jepang. Sudah modern pun tetap setia menjaga tradisinya. "
Saya hanya bisa mengangguk dengan miris.
Rencana Naoko untuk ada di kelas selama setengah jam mundur berkepanjangan menjadi satu setengah jam. Ketika Naoko pamit pulang pun mereka masih sibuk melambaikan tangan sampai di depan kelompok bermain. Anak-anak ingin hasil karyanya dibawa pulang ke rumah hari itu juga.
Saya cuma berharap hari ini mereka tidak hanya belajar menulis huruf hiragana dengan kuas, tetapi juga punya contoh tentang bagaimana menyukai dan bangga pada bagian dari identitas mereka sendiri.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment