Setelah diskusi-diskusi panjang dengan banyak sekali orang dan literatur, saya harus menetapkan hati untuk memutuskan bahwa Zaky harus mengulang kelas 2. Ini bukan keputusan yang mudah bahkan bagi saya. Banyak hal yang harus saya pertimbangkan dengan sangat hati-hati. Saya tahu keputusan ini mengandung konsekuensi yang tidak ringan dan saya harus memastikan bahwa Zaky memiliki support system yang baik untuk mengatasi keadaan yang tidak enak ini.
Saat yang paling sulit adalah ketika saya harus menyampaikannya pada Zaky, dan pada teman-temannya. Saya memilih waktu yang tepat untuk bicara secara terpisah pada Zaky dan teman-temannya.
Pagi ini, saya meminta Zaky membantu Bu Novi membereskan perpustakaan, dan saya duduk bersama anak-anak lain untuk menjelaskan keadaannya. Hal pertama yang saya katakan adalah, selama ini saya sangat terbantu dengan sikap mereka pada Zaky. Saya sangat menghargai ketika mereka mau bermain dengannya, mau bekerja satu kelompok dengannya, mau membacakan soal untuknya, mau mengajarinya menulis dan menunggunya sampai selesai, mau bersabar ketika saya harus mencurahkan banyak waktu saya (yang sebenarnya juga milik mereka) untuk Zaky.
Saya sampaikan bahwa tahun depan Zaky akan tetap tinggal di kelas 2. Ada anak-anak yang perlu waktu lebih lama dan bantuan lebih banyak untuk belajar. Zaky adalah salah satunya. Bu Tia tidak ingin Zaky makin jauh tertinggal dan lebih putus asa di kelas 3 nanti.
Anak-anak menatap saya dan membisu. Saya jelaskan bahwa ini bukan hukuman, dan kami semua sudah memikirkannya matang-matang. Komentar pertama yang muncul datang dari Dila, "Ibu, Ibu jangan marahi Zaky ya..."
Anak-anak lain mulai mencemaskan bahwa Zaky mungkin akan sangat sedih dan menangis. Saya katakan, itu mungkin saja. Saya tanyakan bagaimana kita dapat membantunya? Karena Ibu rasa Bu Tia akan butuh lebih banyak bantuan kalian tahun untuk Zaky tahun depan. Bu Tia dan Zaky butuh bantuan dukungan. Tetap mengobrol, bermain, dan tidak mengejek Zaky adalah dukungan yang sangat besar.
Di luar dugaan saya anak-anak berbagi kata-kata yang empatik. Mereka bahkan sepakat akan membela Zaky kalau anak-anak kelas lain berkomentar yang tidak enak.
Saya minta mereka tidak membahasnya lagi hari ini, dan tidak perlu bercerita pada anak-anak di kelas lain. Tidak juga membicarakannya dengan Zaky karena saya akan bicara padanya sendiri. Anak-anak memenuhi permintaan saya.
Sampai siang hari ketika saya memilih waktu untuk bicara dengan Zaky tak seorang pun mengungkit masalah itu. Semua bersikap ramah dan wajar. Hanya saja di antara waktu bicara dengan mereka dan Zaky, Adinda dan Riri menghampiri saya. Dengan wajah serius mereka memperingatkan agar saya tidak membuat Zaky makin sedih.
"Bu Tia hati-hati ya kalau bicara dengan Zaky. Jangan membuat Zaky tambah menangis. Jangan sampai ketahuan sebelum Bu Tia bicara. Bu Tia kan suka begitu, sebelum bicara sudah kelihatan dari mukanya..."
Pun ketika mereka tahu saya sudah bicara dengan Zaky, anak-anak sama sekali tidak berkomentar dan tidak bertanya padanya.
Bicara dengan Zaky sendiri juga tidak mudah. Saya sendiri hampir menangis. Saya jelaskan sesederhana mungkin dan saya katakan bahwa saya sayang sekali padanya. Semua sayang padanya dan ini sama sekali bukan hukuman. Kami semua sedang membantunya. Saya bisa merasa bahwa hatinya kacau dan ia tidak tahu harus menolak atau menerima kata-kata saya.
Beberapa saat setelahnya Zaky sudah terlihat biasa. Saya tidak tahu apa yang akan menanti kami tahun depan. Tetapi melihat Zaky tetap datang pada saya ketika ia perlu bantuan kecil, dan mau menggandeng saya, saya melihat setidaknya kami masih terikat rasa saling percaya.
Ketika tiba saat saya harus menjelaskan dan merundingkan segala sesuatu dengan orangtuanya, saya pun menegaskan satu hal. Saya tidak membenci Zaky dan saya senang sekali bekerja dengannnya. Saya percaya Zaky akan baik-baik saja jika ia mendapat dukungan yang tepat. Ia cerdas dan baik hati. Ia hanya belajar dengan cara yang berbeda dan kita harus memahaminya.
Dalam semua situasi sulit ini saya bersyukur ada anak-anak lain. Mereka lah yang membuat saya sadar apa masalah Zaky dan bagaimana saya harus mendekatinya. Dari anak-anak lain saya belajar memiliki rasa maklum.
"Aduh Bu, kadang-kadang aku jera main dengan Zaky. Dia nakal sekali. Tapi menurutku kalau tidak ada dia rasanya sepi. Lagian Zaky mau diajak bermain apa saja."
Di belakang hari mereka juga yang meyakinkan saya bahwa Zaky sama seperti anak-anak lain. Ia istimewa, pantas disayangi dan dibantu sepenuh hati. Ia pantas diberi kesempatan, bukan disingkirkan dengan label yang membebaninya sepanjang hidup.
Itu yang akan saya berikan pada Zaky tahun depan, sekuat yang dapat saya lakukan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment