Anak-anak sedang pura-pura jadi keluarga dan pura-pura mengisi kartu keluarga. Menantang sekali bukan, serombongan anak umur 7 tahun harus melengkapi 18 kolom dengan data khayalan?
Tantangan pertama adalah menentukan siapa kepala keluarga. Siapa yang boleh jadi kepala keluarga? Saya bilang, tak mesti harus ayah, ibu pun boleh saja.
Tantangan kedua. Ada kelompok-kelompok yang mulai bertengkar berebut jadi ayah dan bertengkar tak mau jadi istrinya ayah. Saya menengahi, coba kamu ingat berbagai bentuk keluarga yang sudah kita bahas. Keluarga tidak selalu sebangun dengan ayah ibu dan dua anak. Satu keluarga memilih jadi ayah dan tiga anak saja. Kalau ditanya ibu kemana, kata mereka pura-puranya sudah meninggal.
Tantangan ketiga. Menentukan umur dan menghitung tanggal lahir. Saya minta setiap anak menentukan sendiri umur dari perannnya. Kalau kamu jadi ibu, berapa umurmu? Kalau kamu jadi anak, berapa umurmu? Anak-anak bereksperimen dengan berbagai kelompok usia. Lumayan juga, mereka ternyata bisa memperkirakan usia dan peran dengan baik.
Menghitung tahun kelahiran berdasarkan umur, itu lebih repot lagi. Anak-anak kelas ini bukan penggemar matematika. Mereka pun baru belajar operasi bilangan sampai 1000. Saya juga tahu kalau mereka cukup tegang saat belajar tentang pengurangan dengan teknik menyimpan. Lucunya, setelah saya beritahu cara menghitung dengan mengurangkan tahun ini dengan usia yang dimaksud, mereka cukup anteng berhitung. Hasilnya pun betul semua!
Tara membuat saya terkesan ketika belakangan ia cukup teliti merunut tahun kelahiran dengan keterangan tentang tahun kepindahan. "Bu, Fia kan disini ceritanya lahir Juni 2003, sedangkan ceritanya kita pindah ke alamat yang ini Maret 2003, berarti di barisnya Fia tidak usah ditulis dong (bahwa dia pindah alamat). Kan dia belum lahir."
Anak-anak terus bertanya tentang ini itu, tentang golongan darah, tentang camat, tentang cap jempol. Sargie bertanya, "Bu, kenapa kalau cap jari harus pakai jari tangan kiri? Kita kan lebih sering pakai tangan kanan? "
Nah, untuk yang ini, tidak terpikir oleh Bu Tia apa jawabannya.
Kolom pekerjaan juga cukup seru. Anak-anak mau menentukan sendiri pekerjaan mereka apa. Saya ikut-ikutan brainstorming dan menyebutkan berbagai profesi. Ketika pada Bintang saya bertanya, apakah ia mau jadi wartawan, Bintang langsung terkikik-kikik.
"Enggak ah Bu, aku nggak mau jadi wartawan. Habis kerjanya ngomongin orang."
Teman-teman wartawan, jangan marah pada Bintang. Mungkin itu karena ia senang nonton tv dan tv kita penuh sesak oleh infotainment. Marahlah pada pemodal infotainment.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment