Wednesday, September 20, 2006

Video Game

Sudah dua hari ini anak-anak berhenti menjalankan Klub Kerja Bakti. Sepanjang minggu kemarin, mereka sedang senang-senangnya menyapu daun-daun kering di areal kelompok bermain. Dengan tekun mereka memunguti daun-daun satu persatu, atau memakai sapu lidi bertangkai panjang yang panjangnya hampir dua kali tinggi mereka. Entah mengapa kegiatan melelahkan ini jadi permainan yang mengasyikkan. Dalam waktu seminggu saja, kegiatan sapu-sapu iseng sudah berubah menjadi klub dengan mandor, anggota tercatat dan sistem evaluasi khusus. Sudah itu bosan.

Nah, dua hari ini anak-anak minta diajak main video game. Jadilah setiap habis istirahat makan siang kami main video game.

Video game versi sekolah kami tidak butuh listrik dan tidak butuh layar. Video game kami cuma perlu ruang, makin banyak pesertanya, makin luas tempat yang dibutuhkan. Video game kami juga membutuhkan koordinasi yang baik dari seluruh anggota tubuh, bukan hanya mata dan jempol saja.

Salah satu dari kami akan jadi penentu permainan. Saya suka peran ini karena saya bisa berbuat sesuka hati saya. Sebagai penentu permainan saya akan menentukan tantangan-tantangan apa saja yang muncul di setiap babak.

Anak-anak lain biasanya memilih icon jagoan mereka. Mereka harus menyeberangi si tanah lapang dengan tantangan-tantangan kreasi saya (kalau kebetulan saya penentu permainan). Saya bisa asal-asalan bilang, sekarang kita ada di dunia es, dan karena skormu belum cukup kamu tidak punya sepatu khusus es. Lalu anak-anak akan menyeberangi lapangan sambil berjingkat kedinginan atau pura-pura terpeleset.

Ya! Naik ke level 2. Kita masuk terowongan. Anak-anak akan merangkak-rangkak menyeberangi lapangan.

Terus saja menciptakan tantangan-tantangan baru seperti berjalan dengan barbel di kaki, lewat dunia ranjau, naik ke helikopter, terkena angin ribut, masuk ke danau pasir hisap, lewat bengkel yang lantainya tersiram oli, dan seterusnya, dan seterusnya.

Paling seru kalau harus masuk ke laut yang penuh hiu dan terpaksa kehilangan "nyawa" sampai tiga kali. Babak yang ditunggu anak-anak adalah Babak Bom Bola. Nah, biasanya ini perlu beberapa guru untuk jadi sukarelawan melempar bola-bola ketengah lapangan, anak-anak senang sekali karena harus tiarap berulang-ulang.

Saat mereka sibuk melewati babak demi babak sambil berteriak-teriak histeris, saya bisa melihat banyak hal. Ada anak-anak yang begitu penuh penghayatan dan menunjukkan koordinasi gerak yang sangat baik. Ada juga yang tak peduli apapun yang terjadi ia akan lari menerjang segala sesuatu sampai ke seberang. Geraknya cuma itu, lari.

Begitu bel berbunyi, semua tergeletak di karpet dan mengeluh, "Capek buuu...."

Sama, Bu Tia juga capek teriak-teriak di tengah hari.

2 comments:

Anonymous said...

Wah Ti, bagus banget tuh... mengingat anak2 sekarang kebanyakan main videogame...
Gak pernah mau keluar rumah untuk main permainan yang lebih "bermutu" kayak gobak sodor, selamat pagi tuan putri, ular naga panjang... (waduh jadi keingetan masa kecil yang hepi yak)
Boleh aku contoh ya.... :)

My Nymph today is stomache hehehe said...

Salam kk Lesti...

perkenalkan, biasanya saya di panggil Gunar. nah, saya sedang buat skripsi tentang Pengaruh videogame terhadap bahasa inggris anak2... jadi saya butuh buku referensi yang pas untuk skripsi saya. kalau kk tahu, kira2 apa-apa aja judulnya kak? mohon bantuannya nya ya kak...

balas ke e-mail saya ya, please : gunarmr3@yahoo.com