Sunday, April 27, 2008

Topik Kontroversial

Kelas lima sedang belajar membuat laporan berimbang. Satu tulisan yang mencakup dua sisi pendapat dari sebuah topik. Saya meminta anak-anak mencari topik kontroversial sendiri, karena contoh topik yang kami dapat dari buku sama sekali tidak seru.

Hm, ternyata cukup menantang juga, mencari topik yang kontroversial itu. Beberapa kali, anak-anak mengusulkan topik yang cenderung disetujui semua orang. Ah, contoh dari mereka saya lupa, tapi kurang lebih seperti "Semua orang harus makan."

Setelah berdebat satu jam pelajaran, kami menyepakati 10 topik kontroversial ala SD 5 sebagai bahan tulisan. Perlukah homeschooling? Apakah sekolah harus pakai sepatu? Apakah anak-anak perlu dibatasi menonton televisi? Apakah lulus SD harus melalui UN? Apakah boleh memelihara unggas di Jakarta? Apakah anak-anak sudah perlu berdiet? Apakah sebaiknya setiap anak di Indonesia belajar 1 tarian daerah? Apakah anak-anak boleh dibebaskan pulang ke rumah jam berapa saja?

Karena semua anak harus saling mewawancara satu sama lain, saya membuat dua barisan dan meminta anak-anak bergerak berputar secara bergiliran. "Jadi, tanyakan apa pendapat temanmu, berikut alasannya."

"Kalau ada yang jawabannya kurang jelas, boleh aku tanyakan lagi, Bu?"

"Ya, boleh saja, Nak. Itu namanya probing."

Setelah saya bercerita pada Alexander The Great, dia ngomel-ngomel lagi. Sebab cara melakukan wawancara berikut probing baru kami pelajari semester tiga. Kalau anak-anak yang bertanya, tentu saja saya jawab sepatutnya, bukan?

Saya duduk di salah satu bangku kosong dan menjadi timer. Anak-anak terlihat antusias bertanya dan menjawab. Adam misalnya, dia selalu menjawab dengan kalimat formal, dan menutupnya dengan ucapan seperti, "Terima kasih kembali, Bapak Bram."

Dito selalu melongok-longok temannya untuk mengetahui jawaban apa yang harus ia persiapkan berikutnya. "Haduh, aku setuju atau tidak ya?" begitu gumamnya.

Sambil mengamati, saya baru sadar betapa kompleksnya kegiatan ini. Tentu tidak mudah bagi anak-anak berbicara mengungkapkan pendapat sekaligus alasannya dengan meyakinkan. Si pewawancara pun punya tugas sulit untuk tetap netral, mendengarkan penjelasan temannya (yang belum tentu bicara runtut) lalu mencatat dalam waktu singkat.

Tetapi yang paling menarik adalah, di kesempatan ini saya benar-benar melihat apa yang disebut dengan bisa menerima pendapat orang lain yang berbeda. Tak hanya bisa menerima, bahkan mereka menikmatinya! Setuju atau tak setuju tidaklah penting. Alasan di balik setuju dan tidak setuju itu menarik untuk didengarkan.

Bahkan ada kalanya, anak-anak memilih untuk mengambil sikap yang berseberangan, "Wah, kalau semua setuju, aku tidak setuju deh Bu. Soalnya..." sekedar untuk membuktikan bahwa ada sudut pandang lain untuk mendekati masalah yang sama.

Setiap kali sampai di depan bangku saya (bangku istirahat, kata mereka) mereka lantas membuat laporan.

"Aku sudah wawancara 4 orang, kurang enam lagi."

"Bu, ini sudah ada yang setuju dan tidak setuju, tapi belum ada yang membicarakan hal yang sama. Susah juga ya dapatnya."

Maksudnya begini, anak-anak ini sudah belajar bahwa kalau membuat laporan berimbang, sebaiknya membahas hal yang sama dari dua sisi yang berbeda. Contohnya, kalau kami berbicara tentang tambahan jam olahraga, ada yang setuju untuk mencegah kegemukan, maka yang tidak setuju bisa berkata bahwa kegemukan bisa diatasi dengan mengatur pola makan.

Maka saya bilang, tidak apa-apa. Coba saja sebisamu dulu.

Ketika Mita ada di sepan saya, dia bilang begini, "Kegiatan ini asyik, ya Bu. Waktu Bu Tia SD pasti tidak pernah seperti ini."

"Iya, tidak pernah. "

Mini menyambut dari sebelahnya, "Mungkin sudah takdirnya Bu. Tuhan tahu anak sekarang perlu belajar dengan lebih menyenangkan."

Hahahaha.


Lama-lama saya jadi ingin ikut kegiatan mereka. Saya memilih topik, "Apakah sebaiknya PR dihapuskan?"

Putu setuju, ia jadi punya lebih banyak waktu untuk membaca novel.

Kebanyakan anak tidak setuju, alasan mereka PR adalah kesempatan untuk mempelajari lagi apa yang mereka belum mengerti di kelas. Kalau tidak ada, nanti mereka repot sendiri. Atau, salah satu dari mereka bilang, Bu Tia yang akan repot, sebab anak-anak akan terlalu santai di kelas dan tidak peduli pada apa yang terjadi.

Jawaban paling mengejutkan datang dari Leo, "Aku tidak setuju Bu. Kalau tidak ada PR tidak ada kegiatan menarik yang bisa dilakukan anak-anak selain menonton TV dan main game. "

Anak terakhir yang belum menjawab survei saya adalah Adam.

"Ayo Adam, apa pendapatmu?"

Adam melirik ke kanan dan ke kiri. "Semua pasti tidak setuju, ya, Bu?"

"Lho, Bu Tia kan tanya pendapatmu, bukan pendapat temanmu. "

"Kalau aku, aku setuju PR dihapuskan. Kadang-kadang, anak-anak juga ada acara lain sepulang sekolah, misalnya les. Kalau sampai malam, kan sudah capek. Ditambah lagi membuat PR, tambah capek. "

Ah, sayang sekali hanya dua orang yang setuju. Kalau semua setuju PR dihapuskan, mungkin saya berpikir untuk meniadakan PR. Bagaimana?

No comments: