Monday, March 13, 2006

Takut Gagal

Beberapa bulan terakhir ini Adinda sering sekali bertanya-tanya, pelajaran di SMP susah tidak sih, Bu? Di SMA bagaimana? Kuliah itu susah atau tidak? Sekali waktu saya mengobrol dengan mereka tentang apa bedanya SD, SMP, SMA dan kuliah itu.

Adinda : Kata ayahku, kalau mau jadi dokter harus belajar anatomi.
Saya : Iya, betul.
Adinda : Kata ayahku, anatomi itu ssssssuuuuusssaaaaah sekali. Hii... aku tidak mau jadi dokter. Aku mau jadi ibu rumah tangga saja!


Tadi pagi, saya mengingatkan anak-anak bahwa besok saya akan membuat evaluasi untuk IPA. Saya meminta mereka membuka kembali hasil pekerjaan IPA-nya selama kuartal ini. Anak-anak mulai cemberut dan berkeluh kesah.

Dila : Susah tidak, bu?
Saya : Tidak.
Dila : Iya, tidak susah buat Ibu.
Saya : Satu kuartal lagi kalian sudah naik ke kelas 3. Di kelas 3 setiap kuartal ada evaluasi. Jadi sekarang kita berlatih sedikit-sedikit.
Riri : Ah, kalau begini caranya aku tidak usah naik kelas saja.
Saya : Memangnya tidak bosan bertemu Bu Tia lagi?
Adinda : Aku tidak mau sekolah. Aku mau langsung kerja saja.
Bu Novi : Wah, kalau sudah bekerja lebih banyak lagi tugasnya.
Riri : Ya sudah, aku mau langsung jadi nenek-nenek saja. Enak. Di rumah terus.
Saya : Wow, you will miss a lot of things.


Menjadi anak-anak yang cerdas sama sekali tidak mudah. Bukan saja karena panjang akal dan pandai memecahkan masalah, anak-anak yang cerdas sangat awas pada citra dirinya. Anak-anak ini awas pula pendengarannya. Mereka menikmati pembicaraan ayah dan ibu pada orang lain tentang mereka. Mereka pandai memanipulasi situasi karena mereka bisa membaca dan meramalkan reaksi orang-orang di sekitarnya. Anak-anak cerdas ini tahu apa yang menggemparkan dan mengherankan orang lain. Pertanyaan seperti apa, komentar seperti apa, dan seterusnya. Perlahan-lahan mereka pun menikmati pujian, kekaguman, dan harapan untuk berhasil dari orang lain.

Anak-anak cerdas ini menganggap keberhasilan adalah bagian dari identitas mereka. Gagal menjadi satu momok yang menakutkan.

Saya melihat dua sisi wajah itu pada anak-anak saya. Suatu ketika mereka benar-benar tidak kenal gentar dan menerima tantangan apa saja. Saya bisa melihat mereka menikmati proses dan menghargai hasil kerjanya dengan objektif. Mereka bisa menerima kritik dan tidak segan memperbaiki pekerjaannya.

Di saat lain, saya pun melihat mereka mengkritik diri sendiri terlalu keras. Anak-anak jadi uring-uringan pada persoalan yang menurut saya pasti bisa mereka pecahkan dengan mudah. Jika mereka tahu bahwa performa mereka dinilai secara terbuka, anak-anak ini akan langsung meningkatkan kewaspadaan dan mengeluh panjang lebar.

Anak-anak pun punya cara yang khas untuk menghindari kegagalan.

Dhimas selalu mengerjakan segala sesuatunya perlahan-lahan dan menarik garis-garis halus dengan pensil.

Adinda punya satu prinsip dalam mengerjakan segala sesuatunya; CEPAT DAN SELESAI NOMOR SATU.

Dhiadri menghabiskan banyak waktu untuk melamun atau berkoar-koar memprediksi kegagalannya sebelum akhirnya berhasil menyelesaikan tugas dengan nilai A+.

Saya belum tahu bagaimana caranya mencetak anak-anak yang berani mengambil resiko dan tidak takut apa-apa. Saya juga tidak mengisolir mereka dari kegagalan dan hanya memberi pujian dan pengalaman berhasil saja.

Saat ini saya pikir, lebih baik saya biarkan mereka takut gagal dan berusaha mengatasinya daripada tidak pernah tahu apa itu gagal.


1 comment:

Anonymous said...

kira2 anak2nya bu guru bakal nemuin cara buat baca tulisan2 bu guru ga ya?