Monday, November 19, 2007
Tantangan dari Sekitarmu
Semula, saya memilih tema Ruang Hijau untuk salah satu pelajaran tentang lingkungan Jakarta. Di minggu ke dua, anak-anak tampak lebih tertarik pada sampah, maka saya menuruti kemauan mereka. Lupakan Ruang Hijau, mari fokuskan diri ke sampah!
Pada suatu pertemuan, anak-anak saya minta menulis lima cara sederhana yang bisa mereka lakukan untuk 3R, Reduce, Reuse, and Recycle.
Di kelas kami ada kotak berisi kertas-kertas bekas, "Kita buat jurnal dari kertas ini saja ya?"
"THAT'S THE POINT, Bu..," Mita jadi heran dengan pertanyaan apologi saya.
Selama dua minggu berikutnya anak-anak membawa pulang jurnal itu. Setiap hari, saya minta mereka mencatat apa saja yang sudah mereka lakukan untuk mengurangi sampah. Lima cara sederhana yang mereka tulis bisa diterapkan. Saya bilang, tak penting jurnalmu penuh. Kalau ada hari-hari di mana kamu tak sempat mengurusi sampah, biarkan saja.
Satu yang saya inginkan, anak-anak membawa urusan sampah ini ke alam sadar mereka.
Dua minggu kemudian, anak-anak mengumpulkan jurnal itu dan mulai bercerita,
"Susah lho Bu, minta agar tidak diberi kantong plastik. Mbaknya keras kepala sekali."
"Kemarin kami pesta Haloween, tahu tidak bu, semua makanannya pakai styrofoam. Urgh, sampahnya masih akan ada sampai 500 haloween lagi!"
"Kemarin waktu aku belanja beli mainan kecil, boleh kok bu dimasukin kantongku!"
"Aku ajak kakakku membawa kantong sendiri waktu ke warung, aku malah ditertawakan,"
Anak-anak sudah melalui fase buang sampah di tempatnya.
Saya melanjutkan lebih jauh lagi. Mengapa orang lain tidak melakukan hal yang sama? Karena mereka tidak tahu? Tidak peduli? Apa yang bisa kita lakukan?
Hasil brainstorming anak-anak melesat hingga ke langit. Mereka ingin membuat kegiatan berkala untuk adik-adik kelasnya, mereka ingin menulis surat untuk produsen-produsen makanan yang boros membekali plastik pada pelanggannya, dan mereka ingin membuatkan tempat sampah organik dan anorganik untuk setiap kelas. Ketika saya (ikut brainstorming) dan mengatakan kemungkinan untuk mengirim surat-surat itu ke surat kabar, mereka pikir mereka akan terkenal. Hehehe.
Hari ini, keluhan mulai datang, "Bu, ibuku bilang hasil brainstormingnya keterlaluan. Di sekolah saja kampanyenya."
Saya tertawa. Itulah tujuannya brainstorming, melepaskan diri melihat semua kemungkinan. Kalau tidak masuk akal, bisa kita coret belakangan. Dan menurut saya, tak ada salahnya betulan mengirim surat-surat itu.
Apalah gunanya saya menyuruh anak-anak menulis surat berisi saran, kalau berakhir di kotak penilaian saja?
It's the spirit i love. Memulai kebiasaan baru, mengajak orang melakukan sesuatu yang baru dan "aneh" memang tidak mudah. Tantangannya banyak. Galileo Galilei dibunuh karena bilang bumi itu bulat, apakah kita harus berhenti hanya karena ditertawakan?
Anak-anak ingin bersuara, maka biarlah. Didengar atau tidak, kini tak lagi masalah besar. Berani bicara saja sudah besar. Lebih jauh lagi, saya sudah senang kalau anak-anak bisa menuliskan "suara" mereka.
Boy, we are really into this theme.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment