Sunday, March 06, 2005

Saya bangga jadi orang Indonesia

Akhir minggu lalu saya hadir di Educators Conference 2005. Ini adalah sebuah workshop yang diorganisir sebuah badan pelatihan guru dan anak Indonesia serta AECES (Association for Early Childhood Educators Singapore).

Ada empat orang pembicara yang diundang. Tiga orang dari Singapura dengan sederet gelar dan pengalaman di bidangnya. Satu orang lagi adalah Dr. Anggani Soedono, MA; konsultan untuk sebuah sekolah berbasis agama di Jakarta Selatan, dan sekaligus untuk sekolah tempat saya bekerja. Curriculum Vitae beliau sama mengesankannya dengan tiga pembicara lainnya.

Ada sekitar 200 partisipan yang hadir. Kebanyakan guru, kepala sekolah, koordinator, dan pemilik sekolah internasional dan national plus di Jakarta. Ada beberapa guru ekspatriat di sana sini, dan banyak sekali guru Indonesia lincah berbahasa Inggris dengan rekan-rekannya.

Dari sedikit ilustrasi di atas, mudah ditebak bahwa acara berjalan dalam bahasa Inggris, bukan?

Ya, memang demikian dan awalnya saya tidak terlalu memperhatikan (maksud saya, saya sudah tidak memperhatikan lagi bahasa apa yang digunakan karena buat saya rasanya sama saja).

Sampai kemudian pada sesi panel Ibu Anggani. Beliau berdiri, tersenyum, dan "Adakah di antara anda yang tidak mengerti Bahasa Indonesia?" Ia mengulang kalimat tadi dengan bahasa Inggris yang sangat baik.
Beberapa tangan terangkat ke atas.
"Baik, saya butuh bantuan panitia untuk menjadi penerjemah bagi mereka, sebab saya akan menyampaikan materi saya dalam Bahasa Indonesia."

Tiba-tiba saya teringat suara riuh rendah para peserta yang bercakap-cakap in English sebelum acara di mulai. Mungkin, pada saat itu saya lupa saya sedang ada di Indonesia sampai bu Anggani membuat saya sadar tentang itu.

Hm, saya tidak pandai menuliskan dengan baik apa yang saya rasakan saat itu.
Ada sekelumit rasa bangga waktu melihat beberapa partisipan yang butuh mendengarkan apa yang dikatakan Ibu Anggani tadi beringsut mencari penerjemahnya. Sesaat saya merasa menang dari arogansi 'barat yang hebat'.

Seandainya saya adalah seorang PhD dari Michigan State University, fasih berbahasa Inggris dan Belanda, kenyang dengan puluhan tahun pengalaman menangani pendidikan anak usia dini, cerdas, dan dipercaya menjadi pembicara di depan ratusan partisipan berbagai kewarganegaraaan di Indonesia, saya juga akan berbicara dalam bahasa Indonesia.

Saya tidak perlu, kan, menutupi identitas saya sebagai orang Indonesia. Apakah saja jadi kurang hebat, kurang mengesankan, dan kampungan kalau dengan kompetensi seperti yang saya sebutkan tadi saya berbicara dalam bahasa Indonesia? Saya rasa tidak.

Sudahlah cukup saya tahu bobroknya negara ini. Saya sudah kenyang merasa putus asa dan hilang harapan tentang kemajuan negara ini. Tapi, bagaimanapun, saya tidak bisa menutupi identitas saya yang sebenarnya sebagai orang Jawa, orang Indonesia. Kita memang tidak akan pernah pergi ke mana-mana dan jadi bangsa yang punya harga diri kalau kita tidak pernah belajar bangga menjadi diri sendiri; mengakui identitas sendiri.



No comments: