Monday, March 14, 2005

Seiring Waktu

Kemarin saya membuka-buka file email lama. Lalu saya menemukan email yang pernah saya tulis untuk The Great Alexander waktu saya masih super pemula. (Sekarang saja pemula saja.)

what i hate about myself being a teacher is that i am not able to see from my child's perspective as a child. i keep myself busy walking around the class making sure everything is going right, that my lesson plan is working like it should work and worry about this boy finishing his worksheet or not. Do i ever listen to them, really listen to them? They no need to talk all the time because they cannot. it shouldn't make me ignorant to what they need. Why do i only care about what they SHOULD do? i was angry to cherie because she refused to wash her hand. later on i knew that she didn't want to loose two stickers on his palm. Stickers that she got with a very hard work. i was upset to rubens hugging me too hard that my ribs got hurt. didn't he just want to express his love? why couldn't i appreciate his patience to share me with six friends this whole morning? i am not able to love a newcomer showing huge tantrum everyday. i feel hurt when a mother insist something i thought wrong. and then i become ignorant and frustrated to the child, even to the class. i am putting on prejudice here and there. i perhaps labeling them 'pampered', 'smart' and 'well behaved'.

i reads and judge books of children, curriculum, play, activity, literacy, bilingualism, classroom, ... mention it. i almost forget that it only needs a heart to be fully with my children. not thousands of books.

how many years should i stay in my classes to befriends with these children?


Saya jadi tersenyum sendiri. Ternyata surga tempat saja bekerja ini tidak pop up begitu saja di depan saya. Ternyata, ya, ternyata, saya juga melewati hari-hari yang menyebalkan, bikin sedih, bikin nangis, dan sebagainya.

I just looked back further. Saya sudah mulai mengajar sejak saja semester 2. Mungkin kira-kira umur saya... 19 tahun. Tidak ada yang sukses, percayalah. Saya meninggalkan satu kelas anak-anak pinggir kali di sebuah sekolah informal dalam 4 bulan. Rasa cinta saya sudah tumbuh, tapi komitmen saya belum.

Lalu saya punya Michelle, murid pertama saya. Privat. Umurnya 5 tahun (waktu itu), TK, dan belum bisa membaca. Ayahnya yang single parent pusing berat dan meminta saya jadi guru privat anaknya. Saya cuma tahan enam bulan. Habis sepertinya tidak ada kemajuan. Hehe. Ketertarikan saya belum full time. Jadi saya cepat mati gaya dan kehabisan ide untuk memecahkan permasalahan saya di 'kelas' Michelle.

Kemudian, saya buzzing around di Busy Bee. Apa ya? Sejenis kelas bahasa inggris untuk anak-anak usia dini (aduh bahasa Indonesia itu; maksud saya early years children, about 2 - 8 years old children). Saya belajar dan berlatih banyak tentang merencanakan kelas dan conducting lessons di tempat ini. Saya sudah lupa siapa saja murid-murid saya di sini. Seingat saya, saya sudah jauh lebih senang dan lebih bisa commited. Saya berhenti hanya karena saya ingin mengajar full time, itu berarti saya harus cari tempat lain. Sayang sekali, tempat ini sudah bubar sekarang.

Selanjutnya saya kebagian sebuah kelas kelompok bermain. Usia murid-murid saya sekitar 3 tahun. Kali ini saya serius setengah mati. Saya membaca banyak, saya beli buku dari seluruh penjuru dunia rasanya, browsing aneka bahan, protes soal kurikulum, doing a lot of paperworks, et cetera, et cetera, et cetera. Saya perfeksionis. Full of plan. I was happy, but frustrated. Seperti isi email tadi, saya merasa nggak nyambung sama anak-anak. Cinta saya seperti tidak terbalas. Saya putus asa karena merasa sangat sayang tapi sulit mengerti mereka. Saya memang belum berpengalaman! Siapa yang tidak panik kalau 5 dari 8 anak di kelas menangis jejeritan sampai muntah-muntah? Saya dulu nervous berat kalau ada anak yang temper tantrum. Anehnya, kali ini saya tidak ingin berhenti. Saya juga bisa banting setir hanya karena ada orang tua yang 'request' kepingin anaknya bisa ini dan bisa itu. Padahal dalam hati saya kesal setengah mati. Masa anak segini mau disuruh macam-macam?

Sebenarnya, buat saya sendiri, memperhatikan anak-anak dari sudut pandang mereka juga butuh waktu belajar yang ... lama sekali! Dulu saya lebih mirip ketua panitia atau manajer produksi. Belajar memperhatikan anak-anak saya punya ritme sendiri, punya reaksi yang berbeda dengan orang dewasa, dan lain-lain itu tidak mendadak bisa atau terberi begitu saja.

As time goes by, saya terus berubah. Yang paling saya rasakan, dulu saya malu untuk bilang saya suka mengajar dan saya adalah guru. (Sama sekali tidak keren. Lulusan psikologi UI kok jadi guru). Heheh. Seperti orang yang punya kecenderungan bunuh diri, saya juga punya kecenderungan membunuh minat saya di bidang ini. Kadang-kadang saya berpikir, kenapa saya tidak tertarik ke hal lain yang lebih bisa dibanggakan ya? Kenapa saya tidak tetap ingin jadi psikolog seperti waktu saya masih kecil? Itu sepertinya mendingan. Hari-hari di dalam kelas mengevolusi keinginan bunuh minat itu tadi. The Great Alexander yang selalu pamer dan bangga kalau saya adalah guru SD membuat saya bisa mengangkat dagu dan juga berkata, saya memang guru SD. Teman-teman saya yang selalu ketawa kalau saya ceritakan kelucuan kelas saya, juga membuat saya merasa diterima. Orang tua saya yang punya full pressure karena anak-anaknya jadi bahan perbandingan dan percontohan juga bisa bilang pada orang lain, "Tia memang sukanya seperti itu. Persis Eyang Kakungnya.." - ini membuat saya merasa setidaknya saya tidak mengecewakan mereka. Pelan-pelan saya bisa merasa nyaman dan senang dengan identitas saya yang itu; guru.

This helps me a lot. Keringat dingin yang mengalir di punggung selama saya ada di depan kelas sudah lama menguap.Saya bisa lebih rileks. Saya juga bisa lebih fokus pada anak-anak, bukan pada apa yang saja bawakan ke depan kelas. Saya bisa menangkap kelucuan mereka. Saya cenderung lebih tepat merespon mereka. Saya bisa tersenyum, bisa tertawa, bisa nyengir, bisa cuek, bisa marah, bisa apa saja di depan kelas. Saya sengaja tidak jaga citra, saya ingin tampil apa adanya di depan murid-murid saya. Ini lho, saya. Ini lho, Bu Tia.

Saya tidak lagi terlalu sering mempertanyakan diri mengapa saya melakukan ini. Apa nggak ada yang lebih penting? Sekarang saya bisa bilang ini penting, somehow. Sekarang saya bisa ngeles, biar saja saya melakukan hal kecil. Hal besar dimulai dari yang kecil. Konsisten pada yang kecil juga bisa jadi besar. Ya kan? Konsisten ngemil juga bisa jadi gendut.

Sekarang, saya guru SD kelas 2. Saya masih pemula. Masih haus pengalaman dan masih ingin melakukan eksplorasi gila. Saya juga sudah ingin melangkah ke depan. Itu sebabnya sekarang saya sering tampak online, sebab saya sedang browsing postgraduate program. Hehehe... ini masih cita-cita. Doakan saja terwujud dalam waktu singkat. Habis itu saya akan kembali ke kelas.

Ralat, saya akan kembali ke kelas-kelas.

1 comment:

Tin said...

yep..needs time to know and find out what we want..li'm happy 4u :)loe tau ga apa yg g suka kalo baca blog loe? g ga usah nulis lagi di blog g soale ampir sama rasanya ama yg g rasain :P..and believe it or not...you're one of those who lead me to who i am now...thanks, ti...