Wednesday, June 08, 2005

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Saya sungguh-sungguh berharap kejadian seperti ini tidak pernah terjadi di kelas manapun yang saya ajar.

Tanpa sengaja saya menarik keluar sebuah brosur tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga dari tas saya. Tanpa maksud apa-apa pula saya memberikan brosur itu untuk dilihat teman saya. Siang tadi teman saya menghampiri saya dengan wajah setengah sedih setengah tak percaya dan bercerita.

Kata teman saya, Ti... tadi brosur itu dilihat Baby. Dia tertarik sekali, dan langsung bilang begini, 'Wah Bu. Kalau ini sih sering. Papaku sering mukul mamaku. Ngusir juga pernah. Ini buat aku ya Bu ya? Tapi jangan bilang siapa-siapa."

Teman saya bercerita kalau dia tidak tahu harus berkomentar apa dan membiarkan anak itu mengambil brosurnya. Teman saya lalu meminta kembali brosurnya dan menjanjikan, ia boleh melihat kapan saja ia ingin, tapi di sekolah. Baby keberatan. Ia ngotot, minta dicatatkan nomor telepon yang ada di brosur itu.

Mendengarnya, hati saya mencelos. Personally, I do not like the parents. Saya pernah hampir bilang pada si ibu, boleh tidak anaknya saya ambil saja, daripada setengah tidak terurus seperti itu. Tapi tetap saja, saya hanya seekor orang dewasa di sebuah tempat di mana anak itu menghabiskan setengah hari setiap hari dengan rutin. Tidak lebih.

Idealnya, apa yang harus saya lakukan? Melaporkan keluarga itu pada polisi? Tidak mungkin kan? Dengan hukum yang selalu meminta bukti kasat mata... apa yang bisa saya berikan? Laporan bahwa si anak melihat ibunya dipukul atau diusir? Laporan bahwa si anak selalu dijemput 2 jam lebih lambat dari seharusnya? Mengeluhkan bahwa si anak sepertinya ditelantarkan? Halo?

In many cases, we, teachers, decide to stay behind the line while dealing with this domestic matters. Bukan apa-apa, profesi kami yang hebat ini sempurna sekali untuk meletakkan kami tepat di tengah-tengah masalah.


Diam memang bukan tindakan paling ideal. Diam juga tidak membantu mengurangi (atau justru membiarkan) KDRT terjadi. Hal minimal yang bisa kami lakukan adalah tetap awas dengan luka, lebam, dan rasa sakit yang tidak wajar. Ke 'awas' an yang memuakkan karena luka itu sebenarnya terlihat nyata di depan mata.

Ya, orang tua-orang tua yang tidak peduli, setiap hari kami bertemu anakmu.
Anakmu yang pencemas dan mudah marah.
Anakmu yang membeku diam tidak berani bergerak sesentipun.
Anakmu yang tidak bisa konsentrasi sama sekali bahkan pada hal yang paling dia sukai.
Anakmu yang membaca puisi-puisi sedih diam-diam, mengidentifikasikan diri dengan si 'aku'.
Anakmu yang sembunyi di bawah perosotan dan bercerita lirih pada temannya, tidak mau dipindah ke sekolah lain di kota antah berantah.

3 comments:

CaTLio said...

Pernah baca Matilda khan ti? Remember at the end of the story, matilda stay with her teacher. Well, wondering whether it might happened to you one day.

Kira2, kalo loe jadi gurunya matilda, loe akan ngambil gak?

Tia said...

Wah, gue nggak kepikiran sampai situ.
Nanti gue cari bapaknya dulu ya, baru gue adopsi... huahahaha...

Tia said...

Mungkin gue nggak perlu cari bapaknya dulu kalau gue dapet warisan banyak seperti Ms.Honey.

Coba gue pikir-pikir lagi... kalau gue ambil salah satu murid gue berarti Sabtu/Minggu gue nggak libur dong?

Berat juga ya..