Thalia adalah salah satu murid di kelas saya. Ia gesit dan cerdas. Hanya saja suaranya tidak terdengar. Kami, guru-guru dan teman-temannya tidak pernah bosan menyemangati Thalia untuk sedikit mengeraskan suaranya. Tapi, kami juga sudah mulai bisa hidup dengan itu.
Hari ini saya sedang sibuk mengerjakan paperworks ketika Thalia tampaknya ingin bicara pada guru bahasa Inggrisnya. Ibu guru itu sedang sibuk dengan murid yang lain. Adinda melihat Thalia celingukan, dia menyarankan Thalia untuk menemui saya.
Saya memasang bahasa tubuh siap mendengarkan. Thalia mendekati saya, tetapi tidak berkata apa-apa. Saya terus menunggunya, sambil sekali-kali bertanya apa yang ingin ia katakan. Thalia tetap tidak bersuara.
Sudah waktunya istirahat makan siang. Semua teman-teman Thalia sudah bergerak mencuci tangan dan mengambil makan siang masing-masing. Thalia masih berdiri di depan meja saya, tidak mengatakan apa-apa. Saya berusaha menjaga kontak mata dan bersikap menunggu.
Lima belas menit kemudian saya bertanya pada Thalia, apakah ia ingin menceritakan sesuatu atau ingin makan sekarang?
Tidak ada jawaban.
Kepala saya mulai berdenyut-denyut. Saya ingin mengalihkan pandangan tapi tidak berani. Saya ingin menyuruhnya beranjak pergi, tapi saya rasa ia butuh waktu untuk didengarkan. Saya tidak ingin mengusir.
Saya jelaskan padanya saya tidak sedang marah. Kalau Thalia ingin bicara, saya akan menunggu dan mendengar. Kalau Thalia lapar, Thalia boleh makan. Thalia tidak berkata apa-apa. Mulutnya bergerak-gerak, tapi saya bahkan tidak bisa membaca bibirnya. Saya mencoba mengatakan yang lucu-lucu, dan Thalia tersenyum malu. Saya katakan nanti orang lain mengira saya marah padanya. Dia tertawa.
Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan, atau apa yang saya harapkan. Saya merasa tidak sabar sekaligus sedih. Seandainya saja saya bisa membaca pikiran.
Kami duduk berdua saling berpandangan tanpa suara selama 60 menit. Betul! 60 menit. Thalia kehilangan kesempatan makan siang. Saya juga sudah sangat ingin ke toilet.
Terakhir, sebelum teman-teman lain berdatangan untuk pelajaran berikut, saya bertanya pada Thalia, " Thalia, boleh Ibu Tia bergabung dengan teman-teman lain untuk belajar? Atau Thalia masih ingin Ibu Tia di sini untuk mendengarkan apa yang ingin kamu katakan? Kalau Thalia tidak menjawab, ibu Tia akan menunggu di sini."
Dengan sangat perlahan ia menganggukan kepala.
Riri, Adinda, dan Ai masuk ke kelas dan mengerumuni meja saya. Ada apa sih Bu? Lalu saya jelaskan. Saya bertanya pada Adinda, "Tadi sebenarnya Thalia ingin apa sih, Adinda?"
"Itu bu... tadi Thalia ingin tanya, pembatas buku yang sudah selesai harus ditaruh mana.."
Itu saja? Adinda mengangguk dan Thalia tersenyum malu.
Sungguh, kesabaran saya betul-betul diuji hari ini. 60 menit berusaha bicara dari hati ke hati tanpa mulut.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment