Thursday, September 15, 2005

Untung Rugi


Sekolah kami adalah sekolah yang tidak berdasarkan agama apapun, dan memutuskan untuk tidak mengajarkan agama apapun sampai kelas tiga.

Kebijakan seperti ini memang disetujui oleh semua yang memasukkan anaknya ke sekolah ini. Tapi, tetap saja kadang-kadang terdengar keluh kesah. Saya sih tidak heran kalau ada orangtua yang bangga karena anaknya pandai menghafal serentetan doa sejak batita. Barangkali berkerut muka mereka melihat anak-anak di sekolah kami tidak ada pelajaran agama di kelasnya.

Apa ruginya mengajarkan agama sejak awal di sekolah? Tidak ada kan?


Ya, tidak rugi. Saya tahu banyak orang tua yang ingin menanamkan segala sesuatu sejak dini pada anak-anak mereka, termasuk agama dan tiga bahasa asing sekaligus. Tidak rugi memang.

Hanya saja kami berpikir dengan cara yang berbeda. Kami berpendapat bahwa hal pertama yang harus diketahui anak-anak adalah bahwa setiap orang adalah sama. You have to respect each and every person you meet today. You have to love your friends, your pet, your tree and yourself.

Kami beranggapan anak-anak usia TK dan SD awal belum perlu menyisihkan waktu istirahat dan bermain mereka untuk antri wudhu dan sholat. Makan sendiri saja masih susah payah.

Kami tidak menggiring anak-anak menyadari perbedaan jendernya dengan memisahkan barisan sholat mereka di depan dan belakang. Kami lebih dulu mengajari mereka sama berani, sama pintar dan sama penyayangnya, laki-laki atau perempuan.

Kami memberi mereka jurnal untuk mencatat serba-serbi hari yang mereka lewati, senang, sedih, kesal, cemas, ide baru yang muncul dan impian-impian mereka. Kami tidak memberi mereka jurnal untuk mencatat berapa sholat yang mereka lakukan atau tinggalkan hari ini, juga berapa ayat yang mereka baca hari ini.

Kami tidak merasa perlu membebani pikiran-pikiran segar mereka dengan rentetan doa dan arti yang harus mereka hafalkan. Kami lebih merasa perlu mendampingi mereka menggunakan kesegaran itu untuk mengeksplorasi dunia tempat mereka tinggal. Biar mereka menikmati dan mengagumi setiap keajaiban baru yang mereka temui. Saat itu mereka sedang mengagumi Tuhannya.

Kami tidak mengenalkan perbedaan agama dengan membuat kelompok dan memisahkan anak-anak yang tidak beragama A dengan yang beragama A ketika di kelas ada pelajaran agama A. Kami tidak ingin kelompok anak yang jumlahnya lebih sedikit merasa dikecilkan artinya dibanding kelompok beranggota besar.

Mari hidup bersama-sama. Seperti ketika bulan puasa tiba dan setiap anak di sekolah sama antusiasnya, apapun agama mereka. Jika anak-anak yang tidak diharuskan puasa dalam agamanya ikut puasa, bukan karena ada islamisasi atau karena mereka mengkhianati agamanya. Coba lihat lebih dekat, anak-anak itu hanya ingin berempati pada temannya, ikut merasakan pengalaman temannya.

Kami tidak mengajar mereka bagaimana seluk beluk beribadah sejak dini. Kami belajar pada mereka untuk menerima bahwa setiap orang, apapun agamanya, berhak hidup bersebelahan. Boleh tercatat sebagai satu keluarga dalam kartu keluarga.

Mengapa tidak kita biarkan anak-anak menganggap semuanya indah, semuanya menarik. Jangan dulu menyuruh mereka mengotak-ngotakkan semua dalam surga dan neraka. Biarkan mereka belajar tentang benar atau salah, tanpa takut dosa atau diiming-imingi pahala. Biarkan mereka menggandeng semua temannya, memilih siapapun jadi ketua kelas, tanpa lebih dulu menimbang apa agama dan jendernya.


Saya pikir, itupun tidak rugi.

5 comments:

Anonymous said...

WHO THE HELL ARE YOU?!!
I'M IN LOVE WITH YOU...

Amalia said...

setuju bgt mba!!
sometimes orang tua suka maksa anaknya untuk bisa ini itu dr kecil :(
sometimes they expect too much from us..
two thumbs up for u..

nb:jd penasaran pengen liat kelasnya mba tia dech..hehe :)

Tia said...

the great, i know you you are. i fell for you already. hahah...

lia, memang mostly anak itu dianggap properti sama orang tua. itu gue paling kesel.

Tin said...

seringkali anak dikasih sesuatu yang ORANG TUANYA mau...bukan karena pilihan anak itu sendiri.

jd secara gamblang bisa di liat (not generally sih) apa yang dilakuin anak", yang dipake dan byk hal laen itu adalah refleksi dari apa yang orang tuanya mau.

Anonymous said...

buTi... thanks for reminding me that our kids are not properties... thank you..