Sunday, October 23, 2005

Siapa Saya?

Anak seusia penghuni kelas saya sedang senang-senangnya mengulik pertanyaan "Siapa saya?". Mereka sedang tumbuh menjadi bagian dari lingkaran sosial yang makin hari makin besar. Mereka makin perlu tahu dan bisa menyatakan siapa diri mereka sebenarnya.

Hal yang paling sederhana dari acara eksplorasi identitas diri ini adalah dengan mengelompokkan diri dengan orang lain yang (menurut mereka) sama dengan dirinya. Tiba-tiba saja Bu Tia jadi orang dewasa yang tidak boleh tahu urusan anak-anak.

Anak-anak perempuan jadi lebih senang berkumpul dan membuat permainan versi mereka sendiri. Mereka juga mulai senang duduk-duduk di tempat yang teduh dang ngobrol kian kemari. Anak-anak laki-laki juga memilih untuk berpisah dan main bola tak habis-habis.Sekali waktu mereka masih bermain bersama dan tidak peduli pada perbedaan jender (yang mana saya amat bangga pada mereka tentang ini), tapi saya tidak bisa mungkir bahwa memahami jender juga harus melalui proses membedakan anak laki-laki dan perempuan. Tahun ini saya bisa melihat perbedaan jender ini lebih jelas karena saya punya lima anak laki-laki dan lima anak perempuan. Tahun lalu anak laki-laki harus mengalah dibawah dominasi perempuan karena perbandingannya adalah 1:4.

Mengintip mereka bermain, saya sempat melihat bagaimana anak-anak kelas 2 ini tiba-tiba bersikeras tidak mau bergabung dengan anak kelas 3 untuk bermain lempar bola. Mereka ngotot memakai dua bola sehingga bisa memisahkan kelompok kelas 3 dan kelas 2 .

Setelah atribut-atribut umur, jender, dan kelas, identitas berikutnya yang sedang asyik mereka pertanyakan adalah agama. Jangan lupa bahwa anak-anak ini juga sedang mengembangkan batas-batas untuk diri mereka sendiri. Boleh dan tidak boleh, baik dan buruk, jadi penting untuk mereka mengukur tingkah lakunya sendiri. Tampak luar institusi agama yang jelas berisi tokoh otoritas berikut batas-batas, hadiah, dan hukuman mudah dicerna anak-anak, karena tidak jauh berbeda dengan rumah dan sekolah beserta isinya. Menariknya lagi, di lingkup bermain pun mereka bisa melihat persamaan dan perbedaan.

Karena di sekolah kami tidak ada pelajaran agama secara resmi di kelas, saya justru bisa mengamati perkembangan identitas agama ini dengan lebih alamiah. Semua pelajaran dari rumah masing-masing lebur dalam kelas kami yang beragam. Anak-anak mulai bertanya mengapa Musa tidak puasa, dan menyimpulkan sendiri karena Musa beragama Kristen. Tapi mengapa Mini yang Katolik, atau Chandra dan Agung yang Hindu juga puasa?

Mereka mulai menamai fakta-fakta dasar yang berbeda tentang hari raya, tempat ibadah dan kitab suci. Sampai di sini biasanya saya hanya membantu menjawab pertanyaan, atau membiarkan mereka menjawabnya sendiri. Saya hanya bagian monitoring, sampai mana sih mereka ingin tahu dan sudah tahu.


Riri selalu ingin tahu lebih jauh dan lebih dalam dari teman-teman lainnya. Kemarin kami menonton film tentang seorang anak yang tinggal di Manadotua, dekat Taman Laut Bunaken. Diceritakan dalam film itu bahwa masyarakat Manadotua kebanyakan beragama Kristen (digambarkan dengan sekelompok anak-anak bernyanyi di gereja). Riri bertanya pada saya.

Bu, mengapa mereka pergi ke Gereja, tidak ke Masjid?
Karena kebanyakan beragama Kristen, Ri.

Mengapa di sana agamanya Kristen? Ada Masjid tidak, Bu?
Ada. Memang kebanyakan agamanya Kristen, tapi ada juga yang beragama Islam.

Mengapa begitu, Bu? Mengapa di sana banyak yang agamanya Kristen dan di sini banyak yang agamanya Islam?

Di titik ini saya hanya mampu menunjukkan fakta bahwa di banyak tempat ada kecenderungan mayoritas dan minoritas agama yang berbeda-beda. Saya belum mampu menjelaskan dengan sederhana pada Riri bahwa ini semua terkait dengan sejarah masing-masing daerah. Untung anak saya yang super kritis seperti ini hanya satu.

Pada beberapa kesempatan, saya hanya bisa nguping ketika anak-anak sibuk bicara tentang kegiatan mengaji mereka di luar sekolah. Lain kali mereka berdiskusi apa saja yang bisa dibicarakan dengan Tuhan ketika berdoa. Seperti kata Adinda, "Sebelum tidur aku berdoa lho, aku selalu minta maaf sama Tuhan kalau aku salah hari ini. Kayak gini nih, 'Tuhan... maafin Adinda ya hari ini.." Saya tidak bisa mengikuti pembicaraan selanjutnya sampai ketika Dila menimpali, "Iya tapi waktu aku nonton Takdir Ilahi... katanya gini ..."

INI DIA YANG MEMBUAT PROSES MENCARI IDENTITAS BISA KACAU BALAU! 2)

Selagi anak-anak mengumpulkan potongan-potongan identitasnya, saya sengaja tidak mau melakukan intervensi terlalu banyak. Saya tidak mau membuat mereka memiliki identitas seragam, atau bahkan memaksakan idealisme terlalu awal. Biar saja mereka memahami perbedaan jender mereka dengan alamiah, tanpa buru-buru saja jejali dengan pemahaman tentang feminisme. Toh anak-anak perempuan itu tidak pernah merasa rendah diri dari rekan laki-lakinya. Kadang-kadang saya biarkan saja mereka menolak bermain bersama teman-teman lain kelas. Kami tetap punya kegiatan yang melibatkan semua kelas dalam waktu yang sama sehingga mau tak mau mereka tetap berinteraksi. Ketika Ibu Tia tidak boleh tahu urusan anak-anak, ini justru saat yang baik untuk mengenalkan apa itu menghargai urusan orang lain. Ketika isu agama muncul, saya jadikan perbedaan agama tidak ubahnya dengan perbedaan jenis kelamin, usia, warna kulit, keriting lurusnya rambut, tanpa membuatnya jadi berlebih-lebihan.

Saya jadi ingin tahu, gambar apa yang terbentuk dari potongan-potongan puzzle identitas mereka, nanti ya?


1)
Para orang tua muda, tolong, tolong, tolong, jauhkan anak-anak anda dari televisi. Terutama stasiun televisi Indonesia, sampai suatu hari kelak ada kekuatan gaib atau penerima hadiah Nobel yang bisa mengubah mereka. Otherwise, your children will have a non-sense identity.

No comments: