Nama saya muncul di sebuah majalah edisi September.
Itu ulah teman saya yang merasa perlu "mendongkrak popularitas" saya. Jujur dan agak malu saya harus mengakui bahwa saya agak termakan kilahnya itu, sampai -sampai saya sengaja memakai baju kesayangan saya di hari pemotretan.
Tiga hari lalu saya berusaha keras mencari majalah edisi September keliling kelurahan hanya untuk dikecewakan agen koran dan majalah. Ketika akhirnya saya berhasil mendapatkan majalah itu, antusiasme saya sudah tinggal sepertiga. Saya sedikit merasa apa yang saya katakan tidak ditulis dan apa yang ditulis tidak saya katakan.
Ibu saya justru sangat antusias. Dipamerkannya artikel sepotong itu pada sepupu-sepupu saya yang cukup lama bekerja di perusahaan-perusahaan multinasional mapan. Selama ini mereka memang tidak pernah menggubris apa yang saya lakukan. Selain mengejar-ngejar saya untuk segera kawin, tidak sekalipun mereka pernah bertanya tentang apa yang saya lakukan sekarang. Selama ini saya pun tidak merasa perlu repot bercerita pada mereka. Saya cukup tahu apa yang mereka anggap penting dan apa yang tidak. Saya bukan dokter, tidak bekerja di perusahaan besar, dan tidak sekolah di luar negeri. Jadi tidak ada yang ingin mereka dengar.
Ibu saya juga bertekad untuk menggunting dan memamerkan artikel itu di sekolah yang dibawahi yayasan tempatnya bekerja. Saya (yang ternyata tidak siap dengan popularitas terdongkrak) segera mempertanyakan dua aksinya itu; untuk apa?
Ibu saya bilang, ia ingin mengatakan pada sepupu-sepupu saya itu betapa miripnya saya dengan kakek saya. Ia ingin bilang keras-keras di depan muka mereka bahwa, bahagia tidak identik dengan banyak duit (huhuhu... dengan kata lain saya masih termasuk kaum dhuafa). Ia juga ingin bilang pada guru-guru di sekolahnya bahwa penghargaan datang dari determinasi, bukan dari job title.
Saya cuma bisa nyengir. Saya bisa memahami antusiasmenya. Saya menghargai dan terharu pada rasa bangganya akan saya.
Sayang sekali saat ini saya tidak merasa antusias apalagi bangga. Artikel itu sedang menampar betapa 'middle class'-nya saya. Saya tidak bangga akan itu.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
Akhirnya Tia bisa juga ngerasa rendah diri :)
Terlepas dari middle classnya kamu, paling tidak teman yang merekomendasi kamu untuk wawancara pasti tidak berpikiran begitu. Juga antusias Ibu kamu. Juga bangganya saya bisa berteman sama kamu. ;)
buTi... dimana saya bisa dapat majalah edisi september itu??.. saya mau lihat boleh?? hehe
Post a Comment