Demi kesehatan mental bersama, saya dan teman-teman punya teachers-thursday-meeting-for-fun. Kami pergi ke tempat-tempat makan terdekat, atau delivery McD kalau sudah tanggal tua, lalu mengobrol tentang apa saja.
Sebenarnya kami berusaha mengobrol tentang dunia di luar gerbang sekolah, tapi lebih sering tidak kuat menahan godaan untuk bicara tentang anak-anak tercinta. Mereka benar-benar perangkap.
Kamis kemarin pun sama saja keadaannya. Lalu teman saya yang akan menikah bertanya-tanya apa jadinya kalau kelak ia punya anak sendiri. Kami pun jadi ikut bertanya-tanya. bagaimana caranya menjadi orang tua yang tidak menganggap anak sendiri adalah barang dengan hak milik.
Saya bilang, saya ingin merasa seperti ini kelak, seperti ketika saya menerima kehadiran murid-murid saya setiap Juli dengan gembira, dan tidak merasa sedih-sedih amat ketika mereka harus pergi bulan Juni tahun berikutnya.
Saya ingin punya rasa seperti ini juga sebagai orang tua kelak, rasa ingin memberi sepenuh-penuhnya tanpa berpikir apakah mereka akan membalas saya dengan rasa sayang yang besar, rasa terimakasih yang tak putus-putus, dan seterusnya.
Saya ingin tetap tidak sakit hati seperti ketika anak-anak yang sudah naik kelas sekarang tidak lagi mau dekat-dekat, manja-manja, atau cerita-cerita.
Saya ingin tetap seperti ini. Berpikir melakukan sesuatu demi mereka, bukan demi saya.
Teman-teman saya setuju tapi menurut mereka itu susah.
Mengapa?
Karena kita akan bertemu dengan anak-anak sendiri lebih sering dan lebih lama dari 800 jam setahun.
Benar juga.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment