Dua minggu menjelang akhir tahun ajaran membuat saya sakit perut. Saya tidak berhenti-henti bertanya, apakah mereka sudah siap atau belum naik ke kelas tiga.
Siap tidak ya?
Siap tidak ya?
Siap tidak ya?
Siap tidak ya?
Bu Novi, mata kedua saya di kelas, menertawakan saya. Katanya saya selalu seperti itu bahkan setiap akhir kuartal, merepet sendiri.
Saya tidak henti-henti mengedarkan pandangan ke setiap anak di kelas dan mengkhawatirkan mereka. Bahkan saya mengkhawatirkan Riri. Mungkin seperti ini rasanya jadi ibu yang anaknya mau masuk sekolah setelah tergantung sekian lama pada ibu seorang.
Rasa enggan berpisah muncul sesuai jadwal. Lebih tepat waktu daripada tenggat saya menyelesaikan rapor.
Saya masih ingat bagaimana saya malas bangun tidur dan berangkat ke sekolah saking badungnya anak-anak ini awal tahun ajaran lalu. Saya juga belum lupa bagaimana saya harus keluar kelas lima menit untuk menenangkan diri karena 'rasa'nya sudah sampai di ubun-ubun. Dulu saya pikir saya tidak cocok dengan mereka. Kami bertengkar terus setiap hari. Saya sampai malas membuat tulisan di blog ini.
Sekarang kami sudah lumayan berteman baik.
Zaky sudah mau memberi saya bunga kamboja.
Adinda sejak kemarin tidak berhenti bertanya, bu jadi guru enak tidak? Bu enak mana mengajar anak-anak atau melakukan pekerjaan yang pulang sekolah? Apa enaknya jadi guru, bu?
Dhiadri berpikir saya membuat lelucon yang bagus.
Saya sudah merasa nyaman mengungkapkan rasa apapun pada mereka, bahkan cemberut dan tertawa dalam selang detik tanpa takut kehilangan rasa percaya.
Lalu tiba-tiba, anak-anak sudah tumbuh sepuluh senti lebih tinggi. Acara ulang tahun di tahun ajaran ini sudah tamat. Sudah waktunya berpisah lagi.
Saya kembali bertanya-tanya, apakah benar mereka sudah siap naik ke kelas tiga? Jangan-jangan saya tidak memberikan apa yang seharusnya saya berikan, dan mereka kewalahan di kelas berikutnya. Aduuuh....
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment