Saturday, April 01, 2006

Berbeda Bahasa

Ada dua hal beriringan yang ada di kelas saya. Dua hal ini tidak pernah berhenti saya pikirkan secara terpisah. Hal yang pertama adalah bagaimana saya berinteraksi dengan setiap murid saya. Apa yang bisa saya lakukan untuk membantu mereka, apa yang bisa saya lakukan untuk membentuk mereka, dan apa yang bisa saya lakukan untuk mengajari mereka hal-hal baru.
Hal yang kedua adalah bagaimana materi yang saya siapkan untuk seluruh kelas dapat mempengaruhi cara berpikir dan sikap mereka.

Meskipun saya tahu keduanya (sebenarnya) berhubungan erat, saya belum pernah melihat kedua hal itu bersilang jalan seperti kali ini.

Berawal dari tema komunikasi sepanjang kuartal yang lalu. Meski anak-anak belum mengerti benar seluk beluk setiap segi komunikasi, saya ngotot untuk menunjukkan pada mereka bahwa setiap orang dapat berkomunikasi dengan berbagai cara. Ini hanya sebuah awal dari keterbukaan pikiran dan toleransi.

Rabu lalu kami kedatangan seorang guru dan ayah dari anak tuna rungu. Ia memperkenalkan anak-anak pada bahasa isyarat. Acara yang berlangsung enam puluh menit itu berlangsung tenang dan damai. Anak-anak tidak banyak bertanya tapi mata bening mereka tak lepas dari si ayah yang terus menggunakan bahasa isyarat selama bicara. Mereka berusaha keras menirukan setiap gerak isyarat apapun artinya.

Setelah tamu itu pulang, saya membagikan jurnal dan meminta mereka bercerita tentang kunjungan tamu barusan. Sambil menemani mereka menulis, saya duduk di antara mereka dan mengobrol sedikit. Saya lupa bagaimana tepatnya obrolan kami, tapi saya terkesan dengan komentar Dhiadri.

"Aku suka bahasa Inggris bu. Aku juga suka bahasa Indonesia. Bahkan aku suka bahasanya Zaky."

Tiga puluh menit kemudian, saya duduk diam di meja saya mengamati anak-anak makan sambil memikirkan ucapan Dhiadri tentang bahasanya Zaky. Setelah sekian bulan bersama mereka, saya baru tahu kalau ternyata teman-teman sekelas Zaky menganggap Zaky punya bahasa berbeda. *

Kata-kata Dhiadri memberi saya pencerahan. Tampaknya Dhiadri benar, selama ini saya (dan mungkin guru-guru lainnya) bicara dalam bahasa yang berbeda dengan Zaky. Itu sebabnya kami tidak berhasil membantunya beradaptasi dengan kelas-kelasnya. Itu sebabnya Zaky dan saya gurunya sama-sama frustrasi ketika kami saling berhadapan.

Sampai kami menggunakan bahasa yang sama dengan Zaky (dengan kata lain mengerti apa kebutuhan khususnya), kami tidak akan pernah berdamai dan melihatnya berkembang pesat.

Satu hal yang mengusik saya, betulkah anak-anak sekecil Dhiadri dan teman-temannya sudah mengerti bahwa bahasa adalah sesuatu yang lebih rumit dari sekedar berkata-kata? Bahwa bahasa yang digunakan seseorang merepresentasikan segala sikap, kemampuan, cara berpikir, cara merasa, (dan bahkan barangkali latar belakang sosial ekonomi atau yang lebih rumit lagi dari itu)?
Benarkah pelan-pelan mereka sudah membuka hati dan pikirannya untuk orang-orang yang berbeda dari mereka?

Saya mengingat bagaimana anak-anak memperlakukan Zaky sehari-hari. Bagaimana mereka sering marah tapi tetap berusaha menjadikannya anggota kelas kami. Bagaimana mereka selalu bertepuk tangan keras-keras setiap Zaky(atau teman-teman istimewa lain) membuat prestasi kecil, meskipun prestasi itu adalah hal lumrah bagi mereka. Bagaimana mereka berinteraksi dengan teman-teman baru yang tunanetra.

Yah, seperti saya selalu bilang, di kelas ini saya tidak mengajar. Saya belajar.



*Ya, Zaky memang istimewa. Kami guru-gurunya sudah sering kehilangan akal bagaimana menghadapi sikapnya sehari-hari dan prestasi belajarnya. Semua rasa tumpah ruah diantara Zaky, teman-teman, dan gurunya. Kami kesal sekaligus sayang. Kami sering putus asa sekaligus tak bisa berhenti berharap bahwa ia akan membuat kemajuan berarti.

Saya menduga ia punya kebutuhan khusus, tapi saya tidak punya kemampuan untuk menentukan diagnosa yang tepat. Urusan dengan orang tua dan psikolog ternyata memakan waktu berbulan-bulan dan sampai saat ini saya masih belum tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Zaky.

No comments: