Hanya ada dua hari besar nasional yang kami rayakan di sekolah. Hari Kemerdekaan tanggal 17 Agustus, dan Hari Kartini 21 April. Setiap tahun kami selalu sibuk memikirkan bagaimana perayaan yang akan diselenggarakan menjadi sesuatu yang bermakna bagi anak-anak meskipun sederhana.
Satu hal yang kami sepakati dalam hari Kartini adalah tidak ada parade baju daerah. Pertama kali saya mengetahui kesepakatan itu (maklum, saya datang agak belakangan), saya setuju seratus persen. Menurut saya parade baju daerah lebih cocok dengan hari Sumpah Pemuda daripada Hari Kartini.
Banyak hal yang lebih bisa ditiru dari riwayat hidup Kartini daripada memakaikan sanggul dan rias wajah yang tidak nyaman ke anak-anak kecil lalu menganggap mereka lucu dan menggemaskan.
Dua minggu belakangan ini setiap kelas berusaha menyisipkan lagu dan kisah tentang riwayat hidup Kartini di sela tema pelajaran di kelas yang sedang berjalan. Saya membuat ringkasan dari berbagai sumber dengan bahasa anak-anak. Hal yang ingin kami sampaikan sederhana saja; anak laki-laki dan perempuan adalah teman sejajar.
Mungkin ide ini terdengar kuno di tahun dua ribu sekian. Tapi saya yakin, kami perlu menanamkan hal ini sejak sekarang, sejak mereka dengan polosnya memang masih beranggapan bahwa laki-laki dan perempuan tidak berbeda kecuali tampak luarnya sebelum lingkungan mendidik mereka bahwa perempuan ada di belakang laki-laki untuk banyak hal.
Di kelas 2, saya menambahkan lebih banyak hal. Saya garisbawahi semangat tidak mudah putus asa Kartini yang terus belajar meski tinggal di rumah. Bagaimana ia senang membaca dan selalu menulis pengalaman, perasaan, dan cita-citanya lewat surat. Juga bagaimana dengan surat dan tulisan-tulisannya ide-ide besar itu tidak pernah hilang.
Ketika saya bertanya pada anak-anak, apa yang bisa kita tiru dari Kartini, mereka menjawab
Kita harus banyak membaca.
Kita harus rajin menulis surat.
Mengapa kita harus banyak menulis?
Supaya nanti bisa dibaca lagi.
Iya, supaya nanti orang lain tahu kalau kita sudah mati.
Anak-anak bertanya mengapa perempuan di masa itu harus dipingit. Saya bilang, karena masa itu anak-anak perempuan bangsawan dipersiapkan menjadi istri. Perempuan tidak punya pilihan lain selain menjadi istri. Tidak bisa menjadi yang lain-lain.
Baikkah menurutmu menjadi istri itu?
Anak-anak spontan menjawab tidak. Jawaban yang membuat saya tersenyum.
Lalu, bagaimana dengan ibumu?
Barulah mereka sadar. Bahwa selain menjadi istri, ibu mereka punya restoran. Ibu mereka adalah arsitek. Ibu yang lain adalah guru. Ibuku bekerja di bank. Anak-anak meralat sendiri, menjadi istri dan ibu pun baik.
Ya, saya bilang, menjadi apa saja baik. Asalkan kamu memilihnya sendiri. Yang tidak baik adalah bila orang lain melarangmu punya pilihan. Yang baik adalah jika kamu punya pilihan dan memilih sendiri. Kalau ada orang mengatakan kamu tidak punya pilihan karena kamu laki-laki atau perempuan, orang itu salah.
Jadi ingat itu, kamu punya pilihan dan kamu harus memilih sendiri.
No comments:
Post a Comment